Oleh : Muhammad Rafli jurusan Ilmu Politik, mahasiswa Universitas Andalas
Ketika surga terakhir di Timur mulai digali, siapa yang sebenarnya menikmati hasilnya? Raja Ampat sering disebut sebagai surga terakhir di Bumi. Namun kini, surga itu sedang digali. Ironisnya, semua dilakukan atas nama ‘ekonomi hijau’ yang seharusnya menyelamatkan bumi, bukan menghancurkannya. Isu pembangunan berkelanjutan kini jadi jargon global yang menjanjikan masa depan hijau, bersih, dan ramah lingkungan. Namun, di balik narasi manis itu, kerap tersembunyi paradoks yang menampar kesadaran ekologis kita: alam dikorbankan atas nama keberlanjutan itu sendiri. Kasus rencana tambang di Raja Ampat adalah cerminan paling terang dari ironi tersebut. Sebuah wilayah yang selama ini dikenal sebagai “surga terakhir di bumi”, justru dihadapkan pada ancaman eksploitasi yang dibungkus dengan dalih pembangunan ekonomi hijau.
Dalam perspektif teori gerakan sosial yang dijelaskan oleh Oman Sukmana (2016), munculnya gerakan sosial bukan sekadar bentuk ekspresi spontan masyarakat, melainkan respons atas ketimpangan dan ketidakadilan struktural. Gerakan sosial lahir ketika ada ketidaksesuaian antara nilai ideal yang dijanjikan penguasa dan realitas yang dialami masyarakat. Dengan kata lain, gerakan sosial adalah “reaksi rasional atas kondisi yang tidak rasional.” Dalam konteks Raja Ampat, masyarakat, aktivis lingkungan, dan komunitas adat tengah menunjukkan perlawanan terhadap proyek tambang yang dianggap mengancam kehidupan ekologis dan sosial mereka.
Oman Sukmana juga menyoroti pentingnya political opportunity structure yang berarti ruang politik yang memungkinkan gerakan sosial menekan kekuasaan. Dalam kasus Raja Ampat, peluang politik itu sangat terbatas. Negara mengontrol akses terhadap izin tambang, dan partisipasi publik seringkali hanya bersifat formalitas. Ketika ruang politik tertutup, gerakan sosial terpaksa beroperasi dalam jalur simbolik: menggalang opini, menekan lewat media, dan berharap pada solidaritas publik. Gerakan ini menjadi refleksi nyata dari lemahnya demokratisasi kebijakan lingkungan di Indonesia yang di mana suara rakyat dan suara bumi sering kali dikalahkan oleh suara investasi.
Jika ditelusuri lebih dalam, konflik ini mencerminkan apa yang disebut Oman sebagai gerakan berbasis identitas dan kepentingan kolektif. Masyarakat Raja Ampat tak hanya memperjuangkan tanah atau sumber daya, tetapi juga identitas mereka sebagai penjaga alam dan pewaris budaya bahari. Alam bagi mereka bukan sekadar aset ekonomi, tetapi bagian dari eksistensi sosial. Karena itu, ketika perusahaan tambang datang dengan janji investasi dan pembangunan, respons yang muncul bukan sekadar penolakan ekonomi, tetapi penegasan eksistensial: “Kami ingin hidup sebagai bagian dari alam, bukan penontonnya.”
Ironinya, proyek tambang tersebut diklaim mendukung green economy, istilah yang sering dipakai untuk menggambarkan pembangunan yang ramah lingkungan. Namun, praktiknya sering kali jauh dari ideal. Di Indonesia, jargon ini kadang menjadi “daun jendela hijau” yang menutupi kerakusan ekonomi ekstraktif. Pemerintah dan investor berbicara tentang lapangan kerja, pertumbuhan, dan energi berkelanjutan, tapi lupa bahwa pembangunan sejati tidak mungkin terjadi di atas kehancuran ekologis.
Dalam logika ekonomi hijau versi kapitalis, alam dilihat sebagai komoditas hijau yang boleh dieksploitasi selama dibungkus dengan bahasa keberlanjutan. Padahal, sebagaimana ditegaskan Oman Sukmana, gerakan sosial ekologis justru berangkat dari kesadaran akan pentingnya transformasi struktural dalam cara manusia memandang alam. Alam bukan alat produksi, melainkan rumah bersama. Ketika struktur ekonomi dan politik masih bertumpu pada eksploitasi sumber daya tanpa perubahan paradigma, maka yang disebut green economy hanyalah pewarnaan ulang dari ekonomi lama yang rakus.
Gerakan perlawanan terhadap tambang di Raja Ampat kini mencerminkan babak baru dalam aktivisme lingkungan di Indonesia. Ia bukan hanya gerakan moral, tetapi juga politis. Oman Sukmana menyebut bahwa gerakan sosial modern sering kali bersifat new social movements bermakna gerakan yang tidak lagi fokus pada isu kelas, tetapi pada nilai-nilai seperti identitas, lingkungan, dan hak asasi manusia. Dengan kata lain, masyarakat Raja Ampat sedang memainkan peran sebagai aktor politik baru dalam lanskap demokrasi ekologis.
Di era digital, gerakan ini menemukan momentum baru. Narasi penolakan tambang diangkat di media sosial, diubah menjadi kampanye visual dan digital storytelling yang viral. Muncul tagar-tagar dukungan dari berbagai daerah, menandakan bahwa gerakan ini sudah melampaui batas geografis dan berubah menjadi solidaritas nasional. Inilah bentuk nyata dari apa yang disebut Oman sebagai mobilisasi sumber daya kultural, di mana media, teknologi, dan narasi moral menjadi kekuatan strategis untuk menantang hegemoni ekonomi.
Namun, tantangannya masih besar. Dalam praktik politik Indonesia, kekuasaan sering kali berpihak pada kepentingan investasi. Pemerintah daerah dan pusat masih menilai keberhasilan dari angka pertumbuhan ekonomi, bukan dari indeks keberlanjutan ekologis. Ketika paradigma pembangunan belum berubah, gerakan sosial seperti di Raja Ampat akan terus berhadapan dengan kekuatan struktural yang jauh lebih besar. Tetapi di sinilah nilai penting gerakan sosial, ia bukan soal menang atau kalah, melainkan tentang menjaga agar suara nalar ekologis tetap hidup.
Kita perlu jujur: green economy tidak salah sebagai konsep, tapi cara penerapannya yang kerap diselewengkan. Jika green economy dimaknai sekadar untuk memperhalus wajah industri ekstraktif, maka ia tidak lebih dari greenwashing atau pemolesan hijau yang menipu publik. Pembangunan sejati semestinya berangkat dari prinsip keberlanjutan yang memanusiakan manusia dan memuliakan alam. Artinya, pembangunan harus melihat masyarakat adat bukan sebagai hambatan, tapi mitra pengetahuan lokal yang menjaga keseimbangan ekologis selama berabad-abad.
Gerakan sosial di Raja Ampat memberi kita pelajaran penting tentang relasi kuasa antara negara, pasar, dan rakyat. Ia menunjukkan bahwa narasi keberlanjutan tanpa keadilan hanyalah mitos. Gerakan ini menegaskan kembali bahwa pembangunan yang sesungguhnya tidak lahir dari eksploitasi, melainkan dari harmoni. Alam bukan sumber daya tak terbatas, dan masyarakat bukan objek pembangunan, melainkan subjek yang berhak menentukan masa depannya sendiri.
Raja Ampat mungkin hanyalah satu titik kecil di peta Indonesia, tapi gema perjuangannya menembus batas ruang dan waktu. Gerakan ini menjadi simbol perlawanan terhadap ironi global yang terus berulang: ketika manusia membicarakan masa depan hijau, tapi lupa menjaga hijau yang sudah ada. Jika teori Oman Sukmana menyebut gerakan sosial sebagai “upaya kolektif untuk mengubah arah sejarah”, maka masyarakat Raja Ampat hari ini sedang menulis bab sejarah baru, opportunity bab tentang keberanian mempertahankan kehidupan dari kerakusan yang dibungkus keberlanjutan.
0 Comments