Oleh : Nurul Hafiza, jurusan Sastra Minangkabau, fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas
Sumatera Barat, khususnya Kabupaten Tanah Datar, kaya akan tradisi dan budaya yang mencerminkan kehidupan masyarakatnya.
Salah satu tradisi yang masih terjaga adalah Pacu Jawi, lomba sapi yang diadakan di sawah setelah musim panen. Tradisi ini bukan hanya sekadar hiburan, tetapi juga sarat akan nilai sosial, budaya, dan estetika.
Pacu Jawi diwariskan turun-temurun oleh masyarakat Minangkabau, terutama di Tanah Datar, yang merupakan pusat kebudayaan Minangkabau. "Pacu" berarti balapan, sedangkan "jawi" artinya sapi.
Awalnya, kegiatan ini dilakukan petani sebagai bentuk rasa syukur atas panen yang melimpah. Selain itu, sawah berlumpur setelah panen menjadi arena untuk pacu jawi.
Pada Hari Sabtu, 4 November 2025 dilaksanakan alek Pacu Jawi di Nagari Sawah Tangah, dimana pada hari itu merupakan pembukakan alek pacu jawi, pada pembukakan ini Nagari Sawah Tangah mengundang Bapak Bupati Tanah Datar, Datuk-datuk (penghulu) Nagari Sawah Tangah, Ketua dinas pariwisata dan banyak lainnya.
Pada pembukaan alek pacu jawi ini pemuda dan pemudi (Panitia) menyambut para undangan dengan tari pasambahan dengan di iringi dengan musik tradisonal seperti talempong dan tambuah.
Setelah penyambutan, tamu undangan akan duduk di tenda yang sudah di sediakan oleh panitia, duduknya lesehan seperti pepatah minang, “duduak samo randah, tagak samo tinggi” di sana di hidangkan talam yang di bawa oleh para bundo kanduang Nagari Sawah Tangah.
Pada pembukakan ini sapi sapi tuan rumah akan dipakaikan suntiang, dan di arak kesawah pacu dan di iringi oleh bundo kanduang yang menjujung talam.
Pacu jawi dilaksanakan sehabis sholat zuhur, sebelum pacu di mulai di pasang tali plastik di ujung sawah, dimana itu merupakan garis finis untuk sapi yang akan di pacu namanya pacu pita, pacu pita ini hanya ada pada alek pembukaan saja.Pada pacu pita ini sapi yang di pacu ada 3 pasang yang dilakukan di sawah berlumpur dengan panjang lintasan 100–200 meter.Setalah selesai pacu pita, maka akan beransur-ansur orang membawa sapinya ke dalam sawah dan memasang kayu di punggung sapi atau di sebut dengan papik, setelah itu pemilik sapi akan memintak anak joki berdiri di belakang sapi, memegang ekor untuk mengarahkan mereka berlari lurus di lintasan. Keunikan Pacu Jawi terletak pada keindahan gerak dan keseimbangan joki, menjadikannya lebih dari sekadar olahraga, tetapi juga seni gerak tradisional yang menunjukkan kekuatan, kerja sama, dan ketangkasan.
Alek Pacu jawi ini memiliki berbagai fungsi dan nilai penting seperti fungsi sosial dimana pacu Jawi menjadi ajang silaturahmi antar warga dan daerah. Partisipasi gotong royong tampak dalam persiapan arena hingga penyediaan makanan dan hiburan penonton, fungsi ekonomi pada Alek pacu jawi ini juga menjadi kesempatan bagi peternak menjual sapi terbaik. Sapi yang mampu berlari lurus dihargai tinggi dan menarik minat pembeli dari luar daerah, juga dapat mengangkat perekonomian di tempat alek pacu jawi di adakan, karena disana bisa menjual makanan dan berbagai lainnya, fungsi estetis gerak dinamis sapi, teriakan penonton, dan semangat joki menciptakan tontonan visual yang menarik. Musik tradisional seperti talempong, gandang, dan saluang sering menyertai acara, menambah suasana meriah, fungsi ritual dan Simbolik dimana pacu jawi dianggap simbol syukur dan keselarasan manusia dengan alam, sesuai falsafah Minangkabau “alam takambang jadi guru”.
Seiring perkembangan zaman, Alek Pacu Jawi kini menarik perhatian wisatawan nasional dan internasional. Pemerintah daerah dan masyarakat menjadikannya agenda wisata tahunan.Upaya pelestarian dilakukan dengan melibatkan generasi muda dalam setiap kegiatan pacu, melakukan dokumentasi dan promosi budaya melalui media digital, menjaga nilai adat dan etika pertunjukan agar tidak kehilangan makna asli.
Alek Pacu Jawi bukan sekadar lomba sapi, tetapi seni pertunjukan tradisional yang mengandung nilai sosial, estetika, dan spiritual. Tradisi ini mencerminkan kearifan lokal yang memadukan hiburan, ekonomi, dan syukur kepada Tuhan atas rezeki panen. Melalui pelestarian berkelanjutan,
Pacu Jawi tetap hidup sebagai warisan budaya yang memperkaya identitas Tanah Datar dan Minangkabau.
0 Comments