Oleh: Salwa Hanifah ilmu politik universitas Andalas Padang
Generasi Z merupakan kelompok masyarakat yang lahir dan tumbuh di tengah pesatnya perkembangan teknologi digital. Generasi ini memiliki karakteristik yang berbeda dengan generasi sebelumnya, baik dalam cara berpikir, berinteraksi, maupun dalam memandang isu-isu sosial dan politik. Mereka dikenal sebagai digital natives—individu yang terbiasa berinteraksi dengan teknologi sejak usia dini dan menjadikan media sosial sebagai ruang utama untuk memperoleh informasi serta mengekspresikan pandangan. Dalam konteks politik, karakteristik ini membawa konsekuensi penting terhadap cara generasi muda memahami dan berpartisipasi dalam proses demokrasi. Oleh karena itu, sosialisasi politik bagi Generasi Z perlu dirancang dengan pendekatan yang lebih adaptif, partisipatif, dan kontekstual agar mampu membangun kesadaran politik yang kuat serta mendorong keterlibatan aktif mereka dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Secara konseptual, sosialisasi politik dapat dipahami sebagai proses di mana individu memperoleh nilai, norma, pengetahuan, dan sikap politik yang diperlukan untuk berpartisipasi dalam sistem politik. Dalam perspektif klasik yang dikemukakan oleh Almond dan Verba (1963), sosialisasi politik menjadi faktor fundamental dalam pembentukan budaya politik suatu masyarakat. Namun, dalam konteks Generasi Z, pola sosialisasi politik mengalami pergeseran signifikan seiring dengan transformasi digital. Media konvensional seperti surat kabar, televisi, dan ceramah politik kini tergantikan oleh media digital dan platform interaktif yang memungkinkan komunikasi dua arah. Oleh karena itu, pendekatan sosialisasi politik yang efektif harus mengintegrasikan teknologi dan memanfaatkan media sosial sebagai saluran utama penyampaian pesan politik.
Sosialisasi politik yang adaptif tidak hanya bersifat informatif, tetapi juga harus memiliki nilai edukatif dan inspiratif. Pendekatan semacam ini tidak sekadar menyampaikan pesan politik secara satu arah, melainkan mendorong partisipasi aktif, dialog, dan refleksi kritis di kalangan anak muda. Sebagai contoh, Komisi Pemilihan Umum (KPU) Indonesia telah berupaya melaksanakan sosialisasi politik yang kreatif melalui kampanye “Ayo Kerja” dan program “Pemilih Berdaulat, Negara Kuat.” Kampanye tersebut menggunakan strategi komunikasi digital dengan memanfaatkan platform seperti Instagram, YouTube, dan TikTok untuk menjangkau pemilih muda. KPU memproduksi konten visual dan video pendek yang komunikatif, menggunakan bahasa yang ringan, serta menggandeng influencer populer guna meningkatkan daya tarik pesan politik. Pendekatan ini terbukti efektif karena disesuaikan dengan preferensi komunikasi Generasi Z yang mengutamakan visualisasi, kecepatan akses, dan keterlibatan emosional.
Selain lembaga pemerintah, peran organisasi masyarakat sipil juga tidak kalah penting dalam memperkuat proses sosialisasi politik yang bersifat partisipatif. Misalnya, organisasi “Kelompok Cinta Tanah Air” menginisiasi kegiatan seperti lomba vlog, podcast, dan diskusi virtual bertema politik yang dirancang untuk mengakomodasi minat serta pola belajar Generasi Z. Melalui aktivitas tersebut, generasi muda tidak hanya menjadi objek sosialisasi, tetapi juga subjek yang aktif menciptakan konten, mengemukakan gagasan, dan berpartisipasi dalam dialog publik. Model ini sejalan dengan pendekatan konstruktivistik dalam pendidikan politik, di mana proses belajar terjadi melalui interaksi, refleksi, dan pengalaman langsung. Dengan demikian, sosialisasi politik tidak lagi menjadi proses top-down, melainkan bersifat kolaboratif dan dinamis sesuai dengan semangat demokrasi partisipatif.
Lebih jauh, keberhasilan sosialisasi politik yang adaptif bagi Generasi Z sangat bergantung pada sinergi antara berbagai aktor sosial. Pemerintah, lembaga pendidikan, media massa, dan komunitas sipil harus berkolaborasi dalam menciptakan ekosistem politik yang inklusif dan berkelanjutan. Lembaga pendidikan, khususnya sekolah dan universitas, memiliki tanggung jawab strategis dalam membentuk literasi politik dan literasi digital mahasiswa. Kurikulum pendidikan kewarganegaraan perlu diarahkan untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis, analitis, dan etis terhadap fenomena politik. Di sisi lain, pemerintah perlu memastikan akses yang adil terhadap informasi publik serta meningkatkan transparansi birokrasi agar kepercayaan generasi muda terhadap lembaga negara dapat terbentuk secara positif.
Pemanfaatan teknologi digital dan media sosial dalam sosialisasi politik juga harus dilakukan secara bijak dan bertanggung jawab. Arus informasi yang begitu cepat di era digital dapat menjadi pedang bermata dua—di satu sisi membuka peluang luas bagi partisipasi politik, tetapi di sisi lain berpotensi menimbulkan disinformasi, polarisasi, dan radikalisasi opini. Oleh sebab itu, literasi media politik menjadi komponen penting dalam sosialisasi politik modern. Generasi Z perlu dibekali kemampuan untuk mengenali informasi yang valid, membedakan opini dari fakta, serta memahami konteks sosial dari isu-isu politik yang mereka hadapi. Pendidikan politik berbasis literasi digital akan membantu mereka menjadi warga negara yang tidak hanya aktif, tetapi juga rasional, kritis, dan bertanggung jawab dalam berpartisipasi di ruang publik.
Apabila pendekatan sosialisasi politik dilakukan secara tepat dan berkelanjutan, Generasi Z memiliki potensi besar untuk menjadi kekuatan moral dan intelektual dalam memperkuat demokrasi Indonesia. Mereka tidak hanya berperan sebagai pemilih pasif, tetapi juga sebagai agen perubahan sosial yang mampu mengawal kebijakan publik, mengkritisi praktik politik yang tidak etis, serta mendorong transparansi pemerintahan. Partisipasi mereka dalam politik digital—baik melalui kampanye sosial, petisi daring, maupun diskusi publik—menunjukkan bahwa demokrasi tidak lagi terbatas pada ruang institusional, tetapi telah berkembang menjadi ruang interaktif dan partisipatif yang inklusif.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa sosialisasi politik yang adaptif terhadap karakteristik Generasi Z merupakan prasyarat penting bagi keberlanjutan demokrasi di era digital. Integrasi antara pendekatan edukatif, partisipatif, dan berbasis teknologi menjadi kunci utama untuk menumbuhkan kesadaran politik yang sehat di kalangan generasi muda. Melalui kolaborasi lintas sektor dan pemanfaatan media digital yang cerdas, Generasi Z dapat bertransformasi menjadi aktor penting dalam politik nasional, membawa energi pembaruan dan semangat kritis yang dibutuhkan untuk membangun tata kelola pemerintahan yang lebih demokratis, inklusif, dan berkeadilan sosia
0 Comments