Oleh : Ahmad Mujahid mahasiswa ilmu politik universitas Andalas Padang
Pemilu 2024 di Indonesia menghadirkan fenomena menarik dan sekaligus ironis. Meskipun sosialisasi politik telah dilakukan secara besar-besaran oleh pemerintah, Komisi Pemilihan Umum (KPU), partai politik, dan berbagai lembaga masyarakat, angka golput tetap tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa sosialisasi politik semata tidak cukup untuk menekan tingkat partisipasi pemilih yang rendah. Masih banyak faktor lain yang memengaruhi minat masyarakat untuk menggunakan hak pilihnya, mulai dari kepercayaan terhadap lembaga politik hingga kondisi sosial ekonomi dan psikologis pemilih. Menurut data KPU, tingkat partisipasi pemilih pada Pemilu Presiden dan Legislatif 2024 mencapai 81,78 %, yang berarti sekitar 18,22 % masyarakat tercatat sebagai golput. Namun, pada level Pilkada Serentak 2024, angka golput jauh lebih tinggi. Lembaga Survei Indonesia (LSI) Denny JA mencatat rata-rata angka golput di tujuh provinsi besar mencapai 37,63 %, bahkan di Jakarta mencapai 46,95 %. Artinya, hampir separuh warga ibu kota tidak datang ke tempat pemungutan suara (TPS). Data ini mengindikasikan bahwa meskipun sosialisasi politik semakin merata, tidak semua lapisan masyarakat merasa tergerak untuk berpartisipasi secara aktif dalam proses demokrasi.
Tingginya angka golput menunjukkan bahwa sosialisasi politik yang selama ini dilakukan masih bersifat dangkal dan seremonial. Banyak masyarakat menganggap kegiatan sosialisasi hanya sebatas imbauan formal untuk datang ke TPS tanpa disertai penjelasan mendalam tentang pentingnya suara rakyat bagi masa depan bangsa. Selain itu, kejenuhan politik juga menjadi faktor penting. Dalam satu dekade terakhir, masyarakat dihadapkan pada banyak pemilihan mulai dari pilpres, pileg, hingga pilkada dengan jeda waktu yang singkat. Kondisi ini menciptakan kelelahan politik (political fatigue) yang membuat sebagian warga merasa jenuh dan akhirnya memilih untuk tidak berpartisipasi. Selain itu, faktor kepercayaan publik terhadap calon dan partai politik turut menjadi penyebab utama meningkatnya golput. Banyak pemilih merasa bahwa kandidat yang maju tidak mewakili kepentingan mereka, melainkan kepentingan kelompok elite tertentu. Hal ini diperkuat oleh pandangan pakar politik Universitas Indonesia, Titi Anggraeni, yang menilai bahwa di Jakarta, masyarakat enggan memilih karena merasa calon yang bertarung tidak mencerminkan aspirasi mereka. Apatisme terhadap dunia politik juga semakin diperparah oleh maraknya kasus korupsi, janji kampanye yang tidak ditepati, dan polarisasi politik yang menimbulkan rasa muak di kalangan pemilih muda.
Di sisi lain, hambatan logistik juga menjadi penyebab teknis tingginya angka golput. Beberapa wilayah di Indonesia masih menghadapi persoalan akses menuju TPS, terutama di daerah terpencil dan kepulauan. Pemilih dengan disabilitas atau lansia sering kali kesulitan untuk menggunakan hak suaranya karena keterbatasan fasilitas. Ini menunjukkan bahwa masalah partisipasi politik bukan hanya persoalan kesadaran, tetapi juga persoalan struktural yang perlu ditangani secara serius. Untuk mengatasi hal ini, diperlukan pendekatan yang lebih komprehensif dalam meningkatkan partisipasi politik masyarakat. Pertama, pendidikan politik harus dimulai sejak dini melalui sekolah dan lembaga pendidikan tinggi agar warga tidak hanya tahu bahwa mereka memiliki hak pilih, tetapi juga memahami makna dan tanggung jawab dari hak tersebut. Kedua, kualitas sosialisasi politik perlu ditingkatkan menjadi interaksi dua arah antara penyelenggara dan masyarakat. Dialog terbuka, forum diskusi publik, serta penggunaan media sosial secara edukatif dapat membantu meningkatkan pemahaman politik warga. Selain itu, partai politik harus memperbaiki proses rekrutmen dan seleksi calon pemimpin. Ketika masyarakat melihat bahwa calon yang diusung benar-benar berkualitas dan memiliki integritas, maka motivasi untuk berpartisipasi dalam pemilu akan meningkat. Transparansi dan akuntabilitas juga harus menjadi prioritas agar kepercayaan publik terhadap lembaga politik dapat dipulihkan. Pemerintah perlu memastikan bahwa setiap warga memiliki akses yang mudah dan adil untuk berpartisipasi dalam pemilu, termasuk menyediakan fasilitas khusus bagi penyandang disabilitas dan masyarakat di daerah terpencil.
Dari berbagai faktor tersebut, jelas bahwa masalah golput bukan semata karena kurangnya sosialisasi politik, tetapi karena kompleksitas relasi antara masyarakat dan sistem politik itu sendiri. Sosialisasi yang dilakukan hanya di permukaan tanpa membangun kepercayaan dan partisipasi aktif masyarakat tidak akan membawa hasil yang signifikan. Oleh karena itu, pendidikan politik yang berkelanjutan, transparansi dalam pemerintahan, dan perbaikan kualitas calon pemimpin menjadi langkah strategis untuk memperkuat demokrasi. Pemilu 2024 memberi pelajaran penting bahwa demokrasi tidak hanya bergantung pada terselenggaranya pemilu yang lancar, tetapi juga pada keterlibatan aktif warga negara. Ketika rakyat merasa suaranya berarti, maka tingkat partisipasi akan meningkat secara alami tanpa perlu kampanye besar-besaran. Namun, selama masyarakat masih merasa jauh dari proses politik dan tidak percaya pada aktor-aktor yang terlibat di dalamnya, angka golput akan tetap menjadi tantangan besar bagi perjalanan demokrasi Indonesia. Dalam konteks ini, membangun kepercayaan publik dan memperkuat kesadaran politik menjadi kunci untuk memastikan masa depan demokrasi yang lebih inklusif dan partisipatif di tanah air.
Sebagai penutup, tingginya angka golput dalam Pemilu 2024 menjadi refleksi bahwa demokrasi Indonesia masih menghadapi tantangan serius dalam membangun kesadaran politik yang bermakna.
Sosialisasi politik yang masif tidak akan efektif jika tidak disertai dengan pendidikan politik yang substansial, peningkatan kepercayaan publik terhadap lembaga negara, serta perbaikan sistem politik yang lebih transparan dan akuntabel.
Pemerintah, KPU, dan partai politik harus berkolaborasi membangun iklim politik yang sehat dan inklusif agar masyarakat kembali percaya bahwa suara mereka benar-benar berpengaruh bagi arah bangsa.
Hanya dengan partisipasi sadar, demokrasi dapat tumbuh kuat dan berkeadilan.
0 Comments