Dalam konteks dinamika sosial-politik Indonesia, gerakan mahasiswa telah lama menjadi penggerak perubahan yang signifikan dari masa ke masa. Sebagai agen yang kritis dan intelektual muda, mahasiswa tidak hanya berperan sebagai penyalur aspirasi, tetapi juga sebagai kekuatan yang mampu menggugah kesadaran masyarakat terhadap berbagai isu sosial, politik, dan ekonomi. Sudah sejak lama gerakan mahasiswa menunjukkan konsistensi dalam memperjuangkan keadilan, demokrasi, dan hak asasi manusia, meskipun dengan karakter dan strategi yang berbeda sesuai dengan konteks zamannya Fenomena ini menegaskan bahwa mahasiswa bukan sekadar kelompok sosial biasa, melainkan bentuk dari perubahan yang dinamis dan adaptif terhadap perkembangan zaman.
Dalam hali ini menarik untuk membandingkan gerakan mahasiswa era 1998 dengan gerakan mahasiswa masa kini. Era Reformasi identik dengan mobilisasi besar-besaran di jalan, aksi demonstrasi yang menekan langsung rezim berkuasa, serta narasi besar untuk menumbangkan tirani. Sementara itu, era kontemporer ditandai dengan semakin beragamnya saluran perjuangan mahasiswa, mulai dari gerakan di dalam organisasi intra maupun ekstra kampus (seperti BEM, HMI, GMNI, IMM, PMII, KAMMI), hingga penggunaan media sosial untuk menggalang solidaritas lintas isu dan lintas generasi. Transformasi ini menegaskan bahwa meski strategi dan konteks berubah, mahasiswa tetap konsisten menjalankan fungsinya sebagai “penggerak perubahan”. Dengan demikian, menelaah perjalanan gerakan mahasiswa dari masa ke masa menjadi penting untuk memahami bagaimana peran politik generasi muda terus berlanjut dalam menghadapi tantangan demokrasi di Indonesia.
Gerakan Mahasiswa Masa Orde Lama (1945–1965)
Pada masa Orde Lama, gerakan mahasiswa banyak dipengaruhi oleh semangat revolusi dan polarisasi ideologi antara nasionalisme, agama, dan komunisme. Mahasiswa terlibat dalam perjuangan kemerdekaan dan kemudian dalam dinamika politik yang dipimpin oleh Soekarno. Mereka aktif dalam menentang imperialisme dan kolonialisme, serta terlibat dalam perdebatan ideologis yang mempengaruhi kebijakan pemerintah. Gerakan mahasiswa saat ini masih bersifat elitis dan terfragmentasi berdasarkan afiliasi politik dan organisasi seperti HMI (Himpunan Mahasiswa Islam), GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia), dan PMKRI (Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia).
Gerakan Mahasiswa Masa Orde Baru (1966–1998)
Masa Orde Baru merupakan periode dimana gerakan mahasiswa menunjukkan peran strategis dalam perubahan politik. Aksi mahasiswa tahun 1966 berhasil mendorong turunnya Soekarno dan menguatnya posisi Soeharto. Namun, pada perkembangan selanjutnya, rezim Orde Baru memberangus kebebasan berpendapat dan mengontrol gerakan mahasiswa melalui Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK). Meski demikian, mahasiswa terus mengkritik kebijakan pemerintah, terutama terkait korupsi, ketimpangan sosial, dan pelanggaran HAM. Gerakan mahasiswa 1998 menjadi puncaknya, di mana mahasiswa dari berbagai kampus dan organisasi bersatu mendesak turunnya Soeharto dan dimulainya Reformasi.
Gerakan Mahasiswa Era Reformasi (1998–Sekarang)
Pasca-Reformasi 1998, lanskap gerakan mahasiswa Indonesia mengalami transformasi mendalam dalam hal agenda dan orientasi perjuangan. Berbeda dengan era sebelumnya yang terfokus pada satu musuh tunggal (rezim otoriter) dan dimotori oleh narasi besar perubahan rezim, gerakan mahasiswa kontemporer cenderung mengusung isu-isu yang lebih tematis, spesifik, dan sering kali berkarakter lokal. Isu-isu seperti sustainabilitas lingkungan, kesetaraan gender, advokasi terhadap kebijakan pendidikan, serta isu-isu kemanusiaan menjadi lebih dominan.
Pergeseran ini dapat dibaca sebagai konsekuensi struktural dari keberhasilan gerakan 1998 itu sendiri. Runtuhnya rezim otoriter Orde Baru menghilangkan “musuh bersama” yang sebelumnya berfungsi sebagai pemersatu gerakan. Terbukanya ruang politik demokratis justru memunculkan pluralitas kepentingan dan isu, yang pada akhirnya menyebabkan fragmentasi dalam gerakan mahasiswa. Akibatnya, banyak aksi yang bersifat reaktif namun seringkali kekurangan kerangka programatik yang berkelanjutan dan berorientasi jangka panjang. Gerakan mudah kehilangan momentum dan berganti isu, mengindikasikan lemahnya landasan ideologis yang kohesif dan terpusat. Tercipta suatu paradoks: kebebasan politik yang diraih justru menghasilkan spesialisasi isu yang, di satu sisi, mencerminkan kedewasaan berdemokrasi, tetapi disisi lain berpotensi melemahkan kapasitas mobilisasi massa secara luas dan berkelanjutan.
Dalam lingkungan politik yang lebih demokratis namun juga lebih kompleks, gerakan mahasiswa tidak lagi sekadar berhadapan dengan state repression, melainkan juga dengan tantangan baru seperti korupsi sistemik, oligarki, dan kebijakan publik yang tidak populer. Isu yang diadvokasi pun semakin meluas, mencakup anti-korupsi, HAM, lingkungan, dan kebebasan akademik. Dalam konteks ini, media sosial berperan sebagai alat mobilisasi dan konstruksi narasi yang strategis. Organisasi mahasiswa, baik yang bersifat intra-kampus (seperti BEM) maupun ekstra-kampus (seperti HMI, GMNI, IMM, PMII, KAMMI), tetap memainkan peran signifikan, meski dengan strategi yang lebih variatif, mulai dari lobi, judicial review, kampanye digital, hingga membangun koalisi dengan elemen masyarakat sipil. Namun, gerakan mahasiswa pasca-Reformasi juga dihadapkan pada tantangan internal yang serius. Salah satunya adalah menurunnya tingkat partisipasi dan antusiasme berorganisasi. Fenomena ini didorong oleh berbagai faktor, termasuk kebijakan kampus yang menekankan kelulusan tepat waktu dan menguatnya nilai-nilai pragmatisme di kalangan mahasiswa. Tekanan untuk segera menyelesaikan studi dan memasuki dunia kerja merefleksikan pergeseran nilai sosio-ekonomi pasca-Reformasi yang cenderung mengutamakan kapital individu di atas kesadaran kolektif. Pragmatisme ini menciptakan siklus yang melemahkan gerakan, menyebabkan krisis kepeloporan, serta sulitnya membangun kepemimpinan dan aliansi yang terkoordinasi dengan baik, sebagaimana pernah dicontohkan oleh aliansi solid seperti Forkot (Forum Kota) dan FKSMJ (Forum Komunikasi Senat Mahasiswa Jakarta) pada 1998. Akibatnya, gerakan sering mengandalkan “massa cair” yang mudah dimobilisasi untuk isu tertentu, tetapi sulit dikonsolidasi menjadi kekuatan politik yang permanen.
Di sisi lain, terjadi proses institusionalisasi peran organisasi intra-kampus, khususnya Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM). Berbeda dengan masa Orde Baru di mana organisasi mahasiswa sering dibungkam, pasca-1998 BEM memperoleh legitimasi struktural sebagai representasi resmi mahasiswa di tingkat fakultas dan universitas. BEM berfungsi sebagai jembatan aspirasi antara mahasiswa dan otoritas kampus, sekaligus menjalankan peran sebagai social control, agent of change, dan fasilitator. Namun, institusionalisasi ini membawa konsekuensi tersendiri. Fokus gerakan seringkali bergeser dari isu-isu makro politik nasional ke persoalan internal kampus yang lebih teknis dan administratif. Hal ini merupakan dampak langsung dari demokratisasi: diperolehnya ruang partisipasi yang legal, tetapi dengan batasan-batasan formal yang pada akhirnya mempengaruhi orientasi dan strategi pergerakan.
Perbandingan dan Transformasi Gerakan
Menarik untuk membandingkan gerakan mahasiswa era 1998 dengan gerakan mahasiswa masa kini. Era Reformasi identik dengan mobilisasi besar-besaran di jalan, aksi demonstrasi yang menekan langsung rezim berkuasa, serta narasi besar untuk menumbangkan tirani. Sementara itu, era kontemporer ditandai dengan semakin beragamnya saluran perjuangan mahasiswa, mulai dari gerakan di dalam organisasi intra maupun ekstra kampus, hingga penggunaan media sosial untuk menggalang solidaritas lintas isu dan lintas generasi. Transformasi ini menegaskan bahwa meski strategi dan konteks berubah, mahasiswa tetap konsisten menjalankan fungsinya sebagai "penggerak perubahan". Dengan demikian, menelaah perjalanan gerakan mahasiswa dari masa ke masa menjadi penting untuk memahami bagaimana peran politik generasi muda terus berlanjut dalam menghadapi tantangan demokrasi di Indonesia.
Gerakan mahasiswa sejak masa Orde Lama hingga era Reformasi dan pasca-Reformasi menunjukkan konsistensi sebagai aktor penting dalam mendorong perubahan sosial-politik di Indonesia. Meskipun strategi, isu, dan konteks perjuangan terus mengalami transformasi, semangat kritis dan idealisme mahasiswa tetap menjadi ciri utama yang membedakan mereka dari kelompok masyarakat lainnya. Jika pada era 1966 dan 1998 mahasiswa tampil sebagai kekuatan moral yang mampu menggulingkan rezim, maka pada era kontemporer mereka hadir dengan beragam bentuk advokasi, baik melalui organisasi intra dan ekstra kampus, maupun melalui media sosial sebagai sarana mobilisasi digital.
Namun demikian, tantangan gerakan mahasiswa saat ini tidaklah ringan. Fragmentasi isu, menurunnya antusiasme berorganisasi, serta penetrasi nilai-nilai pragmatisme berpotensi melemahkan konsolidasi gerakan dalam jangka panjang. Oleh karena itu, penting bagi mahasiswa untuk merevitalisasi basis ideologis, memperkuat solidaritas lintas isu dan generasi, serta membangun strategi perjuangan yang lebih programatis dan berkelanjutan. menelaah perjalanan gerakan mahasiswa dari masa ke masa bukan hanya memberi gambaran historis, tetapi juga menjadi refleksi kritis bagi generasi muda dalam meneguhkan kembali peran mahasiswa sebagai "penggerak perubahan".
Hanya dengan konsistensi, keberanian, dan visi jangka panjang, mahasiswa akan tetap relevan dalam menjaga demokrasi dan memperjuangkan keadilan sosial di Indonesia.






























0 Comments