Oleh : Auvhi Delilla Syahri. Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Andalas
Kasus pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur adalah salah satu kejahatan paling serius di Indonesia. Ironisnya, kasus demi kasus terus muncul, seakan tidak pernah berhenti.
Yang lebih menyedihkan, pelaku sering kali adalah orang-orang terdekat—ayah, paman, guru, tetangga—mereka yang seharusnya menjadi pelindung justru menjadi perusak.
Pertanyaan mendasar pun muncul: sampai kapan kita membiarkan anak-anak menjadi korban tanpa perlindungan nyata?
Dampak yang Menghancurkan Pelecehan seksual bukan sekadar merusak tubuh anak, tetapi meninggalkan trauma psikologis yang dalam. Korban sering tumbuh dengan rasa takut, kehilangan kepercayaan, bahkan depresi. Luka ini tidak mudah sembuh, dan banyak kasus menunjukkan trauma terbawa hingga mereka dewasa.
Ironisnya, pendampingan psikologis bagi korban di Indonesia masih sangat terbatas.
Banyak anak dipaksa menghadapi beban berat itu sendirian, sementara pelaku kadang justru lolos dengan hukuman ringan.
Data dan Fakta: Potret Buram Indonesia
Masalah ini bukan kasus kecil atau insiden terisolasi. Data resmi justru menunjukkan skalanya yang masif:
5.499 anak di bawah usia 20 tahun menjadi korban tindak pidana perlindungan anak hanya dalam periode Januari–April 2025 (Pusiknas Polri).
Dari 2.648 perkara pencabulan/persetubuhan anak yang ditangani hingga Juni 2025, hampir 43% terjadi di rumah—tempat yang seharusnya paling aman (Polri).
Komnas Perlindungan Anak mencatat 4.388 kasus pengaduan hak anak pada 2024–awal 2025, dengan 56% berupa kekerasan seksual.
LPSK menerima 1.063 permohonan perlindungan korban kekerasan seksual pada 2024, naik signifikan dari tahun sebelumnya; 81% di antaranya adalah korban anak.
Data & Statistik Sumatera Barat
Kasus Kekerasan Anak Tahun 2024
Pada Desember 2024, DP3AP2KB Sumbar mencatat 33 kasus kekerasan anak.
Dari 33 kasus tersebut, 18 korban adalah karena kekerasan seksual.
Kasus paling banyak terjadi di Kabupaten Limapuluh Kota (8 kasus), kemudian Kabupaten
Agam, Kota Padang Panjang, Kota Bukittinggi, Kabupaten Solok Selatan masing-masing 5
kasus, Kota Sawahlunto 4 kasus, dan Kota Padang 1 kasus.
Korban perempuan jauh lebih banyak: 28 perempuan, 11 laki-laki.
Sebagian besar kekerasan terjadi dalam lingkup keluarga (rumah).
AntarPerkembangan Kasus: Tahun 2020-2023
Tahun 2020: tercatat 282 kasus kekerasan terhadap anak, korban 310 orang (105 anak lakilaki, 205 anak perempuan).
Tahun 2021: naik menjadi 699 kasus, korban 791 orang (280 laki-laki, 511 perempuan).
Tahun 2022: sedikit menurun menjadi 567 kasus, korban 617 orang.
Tahun 2023: data dari berita menyebutkan 855 kasus kekerasan terhadap perempuan dan
anak di Sumbar. Dari itu, 721 kasus adalah kekerasan terhadap anak.
Rincian Jenis Kekerasan Tahun 2022
Dari korban anak: total 617 korban kekerasan.
Jenis kekerasan:
Seksual = 344 kasus
• Fisik = 125 kasus
• Psikis = 103 kasus
• Eksploitasi = 4 kasus
• Trafficking = 2 kasus
• Penelantaran = 31 kasus
Kasus Khusus & Tren Pelaku
Di Pasaman, ada predator yang melakukan pencabulan terhadap 35 anak dalam tiga bulan
terakhir. Pelakunya dari orang terdekat korban.
Umumnya, pelaku bukan orang asing: teman dekat, tetangga, keluarga, guru mengaji, kerabat, pacar.
Angka ini jelas menunjukkan: pelecehan seksual terhadap anak adalah fenomena nyata yang terjadi di banyak tempat, bukan sekadar berita sensasional.
Budaya Tutup Mulut: Luka Kedua
Banyak keluarga memilih diam karena takut malu atau menanggung stigma sosial. Kasus diselesaikan “secara kekeluargaan” atau dengan uang ganti rugi. Padahal, trauma anak tidak bisa ditebus dengan materi.
Sikap diam ini sama saja dengan mengorbankan masa depan anak dan memberi peluang bagi pelaku untuk mengulang perbuatannya. Budaya tutup mulut adalah luka kedua yang tidak kalah menyakitkan dibanding pelecehan itu sendiri.
Hukum yang Masih Tumpul
Indonesia memiliki Undang-Undang Perlindungan Anak, tetapi pelaksanaannya sering jauh dari harapan.
Proses hukum lambat, hukuman ringan, dan korban kerap diperlakukan seolah-olah sebagai terdakwa dengan pertanyaan-pertanyaan yang menyakitkan. Alih-alih memberi keadilan, sistem hukum justru sering memperparah trauma
Kritik terbesar: negara belum benar-benar berpihak pada korban.
Hukuman yang tidak tegas membuat pelaku tidak jera, sementara korban kehilangan rasa percaya terhadap sistem.
Keluarga dan Masyarakat: Benteng yang Rapuh
Keluarga seharusnya menjadi benteng pertama anak, namun sering justru rapuh. Banyak orang tua menganggap pendidikan seksual tabu, padahal pengetahuan sederhana—
tentang bagian tubuh pribadi, hak untuk berkata “tidak”—bisa menyelamatkan anak.
Masyarakat juga kerap abai. Kasus baru ramai dibicarakan setelah viral, sementara tandatanda di sekitar sering diabaikan. Diam sama saja dengan membiarkan.
Seruan untuk Perubahan
Pelecehan seksual anak bukan hanya masalah hukum, tapi juga soal kemanusiaan.
Korban butuh perlindungan dan pemulihan, bukan stigma.
Negara perlu memperkuat:
1. Hukuman lebih berat agar pelaku benar-benar jera.
2. Pendampingan psikologis jangka panjang bagi korban.
3. Pendidikan seksual dasar di keluarga dan sekolah.
4. Budaya melawan diam, agar masyarakat berani bicara dan bertindak.
Setiap angka dalam data kasus adalah wajah seorang anak yang hancur masa depannya.
Jika kita hanya menggelengkan kepala lalu melupakan, berarti kita ikut bersalah.
Pelecehan seksual anak adalah kejahatan kemanusiaan.
Dan jika kita masih diam, berarti
kita sedang ikut membiarkan luka sosial ini terus menganga.

































0 Comments