Nama : Muhammad Rasya AlQadri. Fakultas/Jurusan : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik/Ilmu Politik
Di tengah keadaan Indonesia yang lagi kacau di tambah dengan isu harga bahan bakar minyak (BBM), banyak masyarakat dihadapkan kembali pada kebijakan yang kontraproduktif. Pertamina, sebagai badan usaha milik negara (BUMN) yang menguasai mayoritas distribusi BBM di Indonesia, kini menjadi sorotan tajam karena kebijakannya yang terkesan membatasi ruang gerak badan usaha swasta dalam mendistribusikan BBM.
Baru-baru ini, muncul kabar bahwa pasokan BBM dari Pertamina Patra Niaga kepada SPBU swasta yang dibatasi atau bahkan dihentikan secara sepihak.
Langkah ini menuai banyak kritik, karena selain berpotensi melanggar prinsip persaingan usaha yang sehat, kebijakan ini juga berisiko mempersempit pilihan konsumen.
Pihak Pertamina beralasan bahwa pembatasan tersebut merupakan bagian dari upaya pengendalian pasokan dan distribusi BBM bersubsidi agar tepat sasaran. Namun, kenyataannya pembatasan ini tidak hanya berdampak pada BBM bersubsidi seperti Pertalite, tetapi juga menyentuh BBM non-subsidi seperti Pertamax, Dexlite, dan lainnya.
Di sinilah awal persoalan panas dimulai, Secara tidak langsung, tindakan Pertamina ini menunjukkan bagaimana dominasi bisa mengarah pada praktik monopoli terselubung. Monopoli dalam bentuk apa pun bertentangan dengan demokrasi ekonomi. Jika BBM hanya bisa dijual oleh Pertamina dan jika pelaku usaha swasta tidak diberikan akses yang setara untuk beroperasi, maka pemerintah secara tidak langsung menutup ruang kompetisi.
Dampaknya bukan hanya dirasakan oleh pelaku usaha saja, tapi juga oleh masyarakat luas dalam bentuk harga yang tidak kompetitif, pelayanan yang berbeda, dan ketergantungan yang tidak sehat pada satu pemasok.
Di tambah dengan kabar berita bahwasannya SPBU Swasta menolak membeli BBM dari Pertamina. Sikap ini yang telah menimbulkan banyak tanda tanya publik, apakah ini bentuk protes SPBU Swasta terhadap kebijakan pasar yang timpang? Apakah ada faktor lain yang menyebabkan batalnya membeli BBM dari Pertamina?
Ditolaknya BBM milik perusahaan BUMN dikarenakan SPBU Swasta hanya membeli BBM murni dari Pertamina, Tapi ketika BBM tersebut di Uji lab, SPBU Swasta menemukan adanya kandungan Etanol pada BBM tersebut sebesar 3,5% pada base fuel ,hal tersebut yang menyebabkan SPBU Swasta batal membeli BBM dari pertamina karena tidak sesuai dengan kriteria mereka.
SPBU swasta juga melakukan penolakan dikarenakan tidak diberinya kebebasan untuk bersaing secara setara baik dari sisi akses pasokan, harga, maupun fleksibilitas bisnis. Sebagian SPBU swasta bahkan mengeluhkan bahwa harga beli BBM dari Pertamina terlalu tinggi, sementara mereka tidak bisa menentukan harga jual sendiri karena dibatasi oleh regulasi. Akibatnya, keuntungan mereka sangat tipis, bahkan jika diteruskan maka SPBU Swasta akan rugi.
Namun tentu, aksi penolakan ini tidak bisa dilepaskan dari tanggung jawab. SPBU adalah bagian dari ekosistem energi nasional. Menolak pasokan berarti juga ada risiko kelangkaan, terutama di wilayah yang belum banyak dijangkau Pertamina. Penolakan SPBU swasta harus dilihat bukan sebagai tindakan semena-mena, tetapi sebagai alarm keras terhadap ketimpangan dalam pasar BBM nasional.
Terus apakah penolakan ini sudah sesuai dengan kebijakan? Jika SPBU swasta tersebut tidak terikat kontrak eksklusif dengan Pertamina, maka secara prinsip hukum bisnis, mereka berhak menolak membeli BBM dari Pertamina. Namun, jika ada perjanjian kerja sama yang mengikat, maka penolakan ini bisa berpotensi menimbulkan masalah hukum.
Pada dasarnya, pasar BBM yang sehat butuh keseimbangan antara kontrol negara dan ruang usaha swasta. Negara tetap bisa hadir sebagai pengatur dan pengawas, tapi jangan sampai regulasi justru menjadi alat untuk mempertahankan monopoli yang terselubung. SPBU swasta menolak beli dari Pertamina bukan karena ingin merusak sistem, tapi karena mereka ingin sistem yang lebih adil untuk semua pelaku.
Inilah mengapa Persaingan itu sangat penting di perdagangan? karena Persaingan yang sehat akan mendorong inovasi, efisiensi, dan pelayanan yang lebih baik. Dengan adanya SPBU swasta, masyarakat seharusnya memiliki pilihan untuk membeli BBM dengan harga yang bersaing, layanan yang lebih cepat, dan akses yang lebih luas.
Jika Indonesia ingin mendorong efisiensi, pemerataan energi, dan keadilan ekonomi, maka ketergantungan seperti ini harus di kaji ulang dan sudah saatnya Pemerintah lebih serius membenahi sektor energi, terutama dalam memastikan kompetisi yang sehat. Lebih baik pemerintah memperbaiki sistem distribusi dan pengawasan BBM bersubsidi, ketimbang membatasi pelaku usaha yang justru bisa menjadi mitra dalam memperluas jangkauan layanan.
Harapan saya kedepannya semoga regulasi dan kebijakan soal impor dan distribusi tidak membuat SPBU Swasta kehabisan stok baik itu buat semua jenis BBM non subsidi dan saya berharap semoga pemerintah menjalin koloborasi yang adil dengan SPBU Swasta dan menjaga agar kebijakan tidak membuat satu pihak menjadi dominan sehingga mengurangi pilihan konsumen.
































0 Comments