Fenomena berpindah daerah untuk belajar bukanlah hal yang asing di Indonesia. Sejak lama, kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Yogyakarta, dan Surabaya telah menjadi daya tarik utama bagi generasi muda dari berbagai wilayah.
Di balik langkah tersebut, terdapat harapan dari orang tua agar anak mereka mendapatkan pendidikan yang lebih baik dan dapat memperbaiki keadaan keluarga. Merantau menjadi lambang pergerakan sosial, bahkan dianggap sebagai warisan dalam beberapa budaya (contohnya pada Masyarakat Minangkabau).
Akan tetapi, kisah romantis merantau tidak selalu seindah yang diceritakan. Mahasiswa yang pergi dengan semangat tinggi sering kali harus menghadapi biaya hidup yang mahal, tekanan dalam studi, serta rasa kesepian akibat jauh dari rumah. Tulisan ini menganalisis paradoks itu, merantau sebagai harapan dan tantangan, dengan mendasarkan argumen pada sumber-sumber terbuka dan dapat diakses publik.
Harapan Orang Tua: Pendidikan Sebagai Modal Bagi sejumlah orang tua, pendidikan tinggi dianggap sebagai sarana untuk mencapai kehidupan yang lebih baik. Di Indonesia, distribusi akses pendidikan masih belum merata.
Universitas dengan reputasi nasional sebagian besar terpusat di kota-kota besar, sehingga anak-anak dari daerah harus merantau jika ingin bersaing di pasar kerja.
Salah satu contoh konkret dari keyakinan ini tampak dalam kebijakan beasiswa pemerintah.
Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) secara berkala menyelenggarakan program Beasiswa Reguler yang dapat diakses oleh mahasiswa dari seluruh tanah air (LPDP, 2025).
Detail beasiswa ini bisa diakses langsung di situs resmi LPDP (lpdp.kemenkeu.go.id).
Berbagai keluarga siap mengorbankan tabungan atau bahkan menjual aset untuk membiayai pendidikan anak di kota. Dalam penelitian wawancara lapangan, sering kali muncul narasi bahwa “anak merupakan investasi.” Merantau, dalam konteks ini, merupakan risiko besar: jika berhasil, anak dapat mendapatkan pekerjaan yang aman dan meningkatkan statuskeluarga
Tantangan Perkotaan: Di Antara Biaya Hidup dan Tekanan Sosial
Walaupun penuh harapan, fakta di kota tidak selalu mendukung. Pengeluaran untuk hidup di kota besar jauh lebih mahal dibandingkan dengan di daerah asal. Biaya sewa, transportasi, dan kebutuhan harian dapat mencapai jutaan rupiah setiap bulannya. Tidak semua pelajarmemperoleh dukungan keuangan sepenuhnya dari keluarga; sebagian harus bekerja sambilan untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Selain isu ekonomi, tantangan mental juga jelas. Mahasiswa perantauan sering merasa rindu atau homesick terhadap kampung halaman. Studi yang dilakukan oleh Pratimi & Satyawan (2022) menegaskan bahwa kerinduan rumah dapat mengurangi kenyamanan psikologis dan mempengaruhi kinerja akademik mahasiswa. Artikel ini tersedia tanpa biaya melalui jurnalUniversitas Negeri Malang (journal3.um.ac.id).
Studi lain oleh Afrilia & Siregar (2024) mengungkapkan konsekuensi yang lebih berat: kerinduan akan rumah dapat memicu kecemasan, depresi, kesepian, serta penurunan motivasi belajar.
Karya mereka dapat diakses secara gratis melalui Jurnal Studi Islam Indonesia (ejournal.lapad.id).
Beban ini sering kali menjadi lebih berat karena mahasiswa perantau harus beradaptasi dengan masyarakat baru. Budaya kota yang mementingkan individu dapat menyebabkan mereka merasa terasing.
Seringkali mereka juga menghadapi diskriminasi budaya atau stereotip dari rekan-rekan di kotaDampak Psikologis dan Sosial: Antara Kesempatan dan Risiko
Merantau membawa efek ganda. Di satu sisi, mahasiswa memiliki kesempatan untuk berkembang: mereka belajar mengatur keuangan, mengelola waktu, dan menyesuaikan diri dengan lingkungan multikultural. Pengalaman ini dapat membantu mengembangkan kemandirian dan memperluas relasi sosial yang berguna untuk masa depan.
Akan tetapi, dari sudut pandang lain, tekanan yang timbul juga dapat berdampak buruk. Afrilia & Siregar (2024) menekankan bahwa tanpa bantuan sosial yang cukup, mahasiswadapat terjebak dalam keadaan mental yang tidak baik. Perasaan kesepian yang berkepanjangan bisa mengganggu fokus belajar, memicu kecemasan sosial, dan bahkan menurunkan motivasi akademis.
Hal ini menciptakan sebuah dilema, orang tua mengantarkan anak mereka dengan harapantinggi, namun anak tersebut dapat mengalami krisis identitas dan tekanan berat. Harapan yang tinggi dari keluarga kadang menjadi beban emosional, terutama saat anak merasa tidak dapat memenuhi harapan tersebut. Strategi Penyesuaian: Jalan Menuju Keseimbangan
Dalam mengatasi tantangan ini, sejumlah strategi penting dapat diterapkan:
1.Dukungan Keluarga dan Komunikasi Realistis Orang tua perlu menyeimbangkan harapan dengan realitas. Ekspektasi berlebihan hanya akan membebani mahasiswa. Komunikasi yang sehat, jujur, dan realistis sangat membantu mahasiswa rantau merasa tidak sendirian.
2.Pemanfaatan Layanan Kampus Banyak kampus mulai menyediakan layanan konseling gratis atau organisasi mahasiswa daerah.
Kehadiran kelompok mahasiswa asal daerah (misalnya Ikatan Mahasiswa Daerah) terbukti membantu mahasiswa menemukan komunitas yang bisa jadi “rumah kedua.”
3.Akses ke Beasiswa dan Bantuan Program pemerintah seperti Beasiswa Reguler LPDP memberikan kesempatan nyata untuk meringankan beban finansial. Informasi terbuka di situs resmi LPDP dapat membantu mahasiswa mencari peluang tanpa harus bergantung sepenuhnya pada orang tua (LPDP, 2025).
4.Peningkatan Kesadaran akan Kesehatan Mental
Kampus dan masyarakat perlu lebih serius mengkampanyekan pentingnya kesehatan mental.
Penelitian Afrilia & Siregar (2024) menegaskan bahwa kesadaran ini bisa menjadi faktor protektif bagi mahasiswa perantau.
Mahasiswa perantau bukan hanya menghadapi perjalanan akademik, tetapi juga dinamika kehidupan sosial dan kultural yang menuntut kemandirian lebih besar dibandingkan mereka yang tinggal bersama keluarga.
Harapan orang tua untuk melihat anaknya berhasil menjadi motivasi utama, namun realitas di kota perantauan sering kali menghadirkan tantangan: biaya hidup yang tinggi, persaingan akademik yang ketat, hingga keterasingan sosial. Justru di titik
inilah identitas mahasiswa perantau ditempa. Antara idealisme keluarga dan kerasnya kehidupan kota, lahirlah generasi muda yang belajar mengelola waktu, menata prioritas, serta
menumbuhkan daya tahan mental. Dengan demikian, pengalaman merantau bukan sekadar perjalanan studi, melainkan proses pembentukan karakter yang memperkaya kapasitas diri
mahasiswa untuk menghadapi kehidupan yang lebih kompleks di masa depan mahasiswa mencari peluang tanpa harus bergantung sepenuhnya pada orang tua (LPDP, 2025).
4.Peningkatan Kesadaran akan Kesehatan Mental Kampus dan masyarakat perlu lebih serius mengkampanyekan pentingnya kesehatan mental.
Penelitian Afrilia & Siregar (2024) menegaskan bahwa kesadaran ini bisa menjadi faktor protektif bagi mahasiswa perantau.
Mahasiswa perantau bukan hanya menghadapi perjalanan akademik, tetapi juga dinamika kehidupan sosial dan kultural yang menuntut kemandirian lebih besar dibandingkan mereka yang tinggal bersama keluarga.
Harapan orang tua untuk melihat anaknya berhasil menjadi motivasi utama, namun realitas di kota perantauan sering kali menghadirkan tantangan: biaya hidup yang tinggi, persaingan akademik yang ketat, hingga keterasingan sosial.
Justru di titik inilah identitas mahasiswa perantau ditempa. Antara idealisme keluarga dan kerasnya kehidupan kota, lahirlah generasi muda yang belajar mengelola waktu, menata prioritas, serta menumbuhkan daya tahan mental.
Dengan demikian, pengalaman merantau bukan sekadar perjalanan studi, melainkan proses pembentukan karakter yang memperkaya kapasitas diri mahasiswa untuk menghadapi kehidupan yang lebih kompleks di masa depan































0 Comments