Oleh : Marsya syabila Nim:2510833024. Jurusan Dan Universitas:Ilmu politik FISIP Universitas Andalas
Keracunan makanan bergizi gratis (mbg) kembali mencoreng wajah dunia pendidikan indonesia. Setelah kasus kulon progo dengan 497 korban, kini giliran cipongkor, bandung barat, yang masuk daftar hitam. Jumlahnya jauh lebih “spektakuler”: lebih dari 1.333 siswa terdampak menurut Detik. Puluhan di antaranya harus dirujuk ke rumah sakit karena kondisi memburuk, bahkan belasan mengalami gejala kambuhan muntah dan sesak napas yang membuat mereka kembali ke fasilitas medis. Kalau ini yang dimaksud “bergizi gratis”, maka benarlah, bencana itu memang disajikan secara cuma-cuma.
Sekolah yang seharusnya jadi oasis pengetahuan kini berubah jadi lorong pengobatan massal,yang salah bukanlah sistem, melainkan anak-anak itu sendiri itulah narasi yang sering sengaja dihadirkan pemerintah. Ketika mereka sakit, maka “bukan salah masak, mungkin tubuhnya belum terbiasa,” kata Menko Pangan Zulkifli Hasan menanggapi kasus Wates. Seolah kritik terhadap program ini dianggap terlalu sensitif, bukan bukti kegagalan implementasi.
Sekda Jawa Barat Herman Suryatman berkata bahwa “sebanyak 500 pelajar di Kecamatan Cipongkor mengalami keracunan” Sebagai bagian dari jumlah yang lebih besar.Ketika pejabat tinggi sekelas Sekda menormalisasi angka “500 orang”, maka kita patut bertanya: Apakah mereka melihat ini sebagai “insiden biasa” yang diremehkan?
Hasil laboratorium mengungkap fakta pahit; Labkesda jawa barat mengungkap bahwa sampel makanan mbg di cipongkor mengandung bakteri Salmonella dan Bacillus cereus. Kepala UPTD Labkesda, dr. Ryan Bayusantika Ristandi, mengatakan bahwa kontaminasi datang dari komponen karbohidrat dalam menu. Menurutnya, rentang waktu antara persiapan dan penyajian terlalu lama memberi ruang bagi pertumbuhan bakteri.
Ini bukan sekadar “kesalahan teknis kecil” ini adalah kegagalan sistemik. Bila dapur penyajian makanan saja tidak mampu menjaga agar makanan tidak menjadi sarang bakteri, lalu apa bedanya antara program mbg dengan eksperimen massal yang membahayakan kesehatan anak bangsa?.
Ambisi besar, eksekusi asal-asalan tujuan mbg memang luhur yakni melawan stunting, meningkatkan gizi, dan membangun generasi unggul. Tetapi ketika kenyataan di lapangan justru mencetak keracunan massal, maka harus diakui: niat luhur itu hampa kalau pelaksanaannya ngawur.
Di Kulon Progo misalnya, perwakilan SPPG (penyedia mbg) Riski Fadilah mengaku mereka “tidak diizinkan masuk” ke area dapur pada saat inspeksi uji lab. Dia juga menyebut bahwa hasil uji lab mengungkap adanya bakteri, tapi penyebabnya “multifaktorial”istilah ambigu yang sering digunakan untuk menutup tanggung jawab. Kalau di satu sisi pejabat menyebut “multifaktor”, tapi di sisi lain apakah anak-anak negara kita yang punya suara menjadi korban?.
Korban keracunan tidak hanya hilang energi karena muntah dan diare, tapi juga kehilangan kepercayaan. Siswa kini lebih takut menerima makanan dari sekolah daripada takut mati konyol karena tidak sarapan. Orang tua akhirnya memilih membawa bekal sendiri walaupun isiannya jauh dari ideal gizi. Sekolah, yang seharusnya ruang aman dan pembelajaran, kini dicurigai sebagai potensi bahaya.
Kasus cipongkor adalah alarm keras. Namun pemerintah meresponsnya seperti gangguan biasa: “Kami akan evaluasi, kita hentikan sementara” kalimat yang sudah terlalu sering didengar setiap kali skandal keracunan mbg muncul.
Padahal Lia N. Sukandar, Plt Kepala Dinkes Bandung Barat, menuturkan bahwa 4 pasien KLB keracunan kembali muncul setelah sebelumnya dinyatakan membaik. Dia menyebut bahwa gejala kambuhan itu kemungkinan dipicu makanan lain yang dikonsumsi di rumah setelah keluar dari perawatan. Dalam artian: tanggung jawab dikembalikan ke keluarga korban, bukan kepada sistem yang gagal.
kalau pemerintah benar-benar peduli (bukan sekadar memoles citra), ini yang harus dilakukan:
1. Audit menyeluruh penyedia mbg, bukan hanya pemberian sertifikasi di atas kertas
2. Wajib uji cepat makanan sebelum dibagikan ke sekolah, bukan setelah anak-anak muntah
3. Pengawasan lintas instansi (dinkes, bpom, dinas pendidikan) dijalankan setiap hari, tidak hanya saat ada kasus
4. Libatkan orang tua & guru sebagai pengawas langsung di sekolah
5. Sanksi tegas: jika terbukti kelalaian, kontrak penyedia dibatalkan dan pejabat terkait harus bertanggung jawab
Tanpa langkah nyata ini, mbg akan tetap menjadi program janji-janji manis dengan racun tersembunyi.
Belahan perut ribuan anak sudah menjadi saksi bahwa program mbg, ketika dijalankan tanpa kontrol serius, bukanlah solusi melainkan jebakan beracun. Pemerintah boleh berjanji bergizi, tapi sampai kapan janji itu akan berakhir dalam rumah sakit, bukan dalam tumbuh sehat?
MBG bisa saja disebut “makanan bergizi gratis”, tetapi selama eksekusinya penuh lubang pengawasan, nama yang lebih tepat adalah “membahayakan bangsa gratis”. Dan jika pemerintah masih tetap diam, jangan kaget jika suatu hari rakyat lebih percaya roti kering dari rumah ketimbang janji megah negara.






























0 Comments