Ticker

6/recent/ticker-posts

Gurita Politik Dinasti: Kekuasaan yang Turun dalam Keluarga dan Dampaknya bagi Demokrasi

 

Oleh : M Fachri Yenovi, mahasiswa ilmu politik universitas Andalas


Di banyak daerah di Indonesia, politik kini semakin sering diwariskan dalam keluarga. Kepala daerah seperti bupati, wali kota, bahkan gubernur, kadang digantikan oleh anak, istri, atau kerabat dekat. Fenomena ini dikenal sebagai politik dinasti. Bagi sebagian orang, hal ini dianggap wajar karena terkait loyalitas keluarga, tapi bagi demokrasi, ini bisa menjadi masalah serius karena peluang bagi calon lain yang lebih kompeten menjadi kecil.

Politik dinasti terjadi ketika kekuasaan dijalankan secara turun-temurun dalam keluarga. Tujuannya jelas: menjaga agar posisi tetap di tangan keluarga. Fenomena ini semakin banyak setelah reformasi 1998, terutama karena desentralisasi, yang memberi daerah lebih banyak kekuasaan.

Beberapa contoh nyata memperlihatkan hal ini. Di Kabupaten Kediri, politik dinasti berlangsung hampir 20 tahun. Jabatan bupati yang awalnya dipegang Sutrisno, kemudian diteruskan sang istri, Haryanti Sutrisno. Di Banten, keluarga Ratu Atut Chosiyah menguasai banyak posisi strategis mulai dari anak hingga menantu. Pola serupa juga terlihat di Deli Serdang, Bangkalan, dan Samosir.

Politik dinasti terjadi karena beberapa alasan. Petahana ingin mempertahankan kekuasaan, memanfaatkan semua sumber daya yang dimiliki, termasuk popularitas, jaringan birokrasi, dan uang. Kadang, ini juga digunakan untuk menutupi kelemahan atau masalah dari periode sebelumnya. Biaya politik yang tinggi membuat keluarga yang sudah punya modal lebih mudah menang, sementara calon lain yang mungkin lebih kompeten sulit bersaing.

Dampaknya bagi demokrasi cukup besar. Peluang bagi warga negara untuk bersaing adil menjadi kecil. Fungsi pengawasan di lembaga politik melemah karena posisi penting diisi keluarga, sehingga risiko kolusi, nepotisme, dan korupsi meningkat. Partai politik juga sering gagal melakukan kaderisasi dengan baik, karena calon dipilih bukan berdasarkan kemampuan tapi nama besar atau kekayaan. Akibatnya, masyarakat bisa menjadi apatis terhadap politik.

Selain itu, politik dinasti juga membuat kualitas kebijakan publik bisa menurun. Ketika pejabat daerah lebih fokus mempertahankan kekuasaan keluarga daripada mendengarkan kebutuhan warga, pembangunan daerah bisa berjalan tidak optimal. Banyak program yang tidak berkelanjutan atau tidak tepat sasaran karena keputusan dibuat untuk kepentingan kelompok tertentu. Generasi muda pun bisa kehilangan motivasi untuk berpolitik secara sehat karena melihat jalan menuju kekuasaan terlalu sulit tanpa koneksi keluarga.

Fenomena ini juga berdampak pada partisipasi politik masyarakat. Ketika warga merasa pilihan mereka terbatas, mereka cenderung tidak tertarik untuk ikut serta dalam pemilu atau kegiatan politik lainnya. Dalam jangka panjang, hal ini dapat melemahkan kualitas demokrasi karena suara rakyat tidak tercermin dengan baik dalam keputusan politik. Politik dinasti juga menimbulkan risiko munculnya pemimpin yang lebih fokus mempertahankan kekuasaan daripada memperjuangkan kepentingan rakyat. Hal ini dapat menimbulkan kebijakan yang tidak berpihak pada masyarakat, terutama kelompok rentan.

Peran media dan masyarakat menjadi sangat penting. Media harus memberikan informasi yang jelas dan akurat mengenai rekam jejak calon pemimpin, sehingga masyarakat dapat menilai berdasarkan fakta, bukan hanya nama atau popularitas keluarga. Masyarakat pun perlu meningkatkan kesadaran politik, dengan menilai calon berdasarkan integritas, kemampuan, dan komitmen terhadap kepentingan publik. Pendidikan politik harus ditingkatkan agar generasi muda memahami proses demokrasi dan pentingnya pemilihan pemimpin yang kompeten.

Untuk mengatasi politik dinasti, dibutuhkan langkah serius. Regulasi yang jelas penting untuk membatasi konflik kepentingan. Partai politik perlu transparan dalam proses rekrutmen dan menilai calon berdasarkan kemampuan. Tanpa langkah-langkah ini, politik dinasti akan terus berjalan dan demokrasi tidak berkembang dengan baik. 


Demokrasi yang sehat hanya bisa tercapai ketika kesempatan politik terbuka untuk semua warga negara dan pemimpin dipilih berdasarkan kualitas, bukan garis keturunan.

Post a Comment

0 Comments


SELAMAT DATANG DI SEMOGA ANDA PUAS