Ticker

6/recent/ticker-posts

Dari Riuh Jempol ke Riuh Bilik Suara: Mengonversi Aktivisme Digital Menjadi Partisipasi Politik Riil Generasi Muda


Oleh : Davva Rahmat Hafisha mahasiswa Unand jurusan Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. 


Indonesia tengah berada di tengah-tengah sebuah paradoks demografis yang krusial. Di satu sisi, kita merayakan kehadiran bonus demografi, dengan Generasi Z dan Milenial sebagai kekuatan mayoritas yang tak terbantahkan. Mereka adalah digital natives, generasi yang paling terdidik, paling terhubung, dan paling vokal dalam sejarah bangsa ini. Linimasa media sosial menjadi panggung utama mereka, tempat diskursus publik tentang keadilan sosial, kerusakan lingkungan, hingga integritas pemerintahan bergemuruh setiap hari. Namun di sisi lain, gemuruh digital tersebut seringkali terdengar sunyi saat tiba di arena politik formal, terutama di bilik suara.

Fenomena ini melahirkan sebuah pertanyaan fundamental bagi masa depan demokrasi kita: bagaimana cara menjembatani jurang antara aktivisme jempol di dunia maya dengan partisipasi politik yang substantif di dunia nyata? Mengubah riuh likes, shares, dan tagar menjadi suara yang berdaulat dalam pemilu adalah sebuah imperatif yang tidak bisa ditawar.

Sudah menjadi kenyataan, platform digital telah mendemokratisasi akses terhadap informasi dan partisipasi politik. Isu-isu yang sebelumnya dianggap kompleks dan eksklusif bagi kalangan elite, kini dapat dibedah dan diperdebatkan secara masif oleh anak muda. Gerakan sosial-politik seperti #ReformasiDikorupsi atau pengawasan isu spesifik melalui platform seperti KawalCOVID19 menunjukkan kapasitas mobilisasi kolektif generasi ini yang luar biasa. Ini adalah bukti sahih bahwa tuduhan "apatisme politik" yang sering dialamatkan kepada mereka adalah sebuah simplifikasi yang keliru. Mereka tidak apatis; mereka hanya memilih medium dan metode ekspresi yang berbeda.

Namun, di balik potensinya, aktivisme digital juga menyimpan kerentanan yang disebut para akademisi sebagai slacktivism atau clicktivism. Kemudahan untuk terlibat cukup dengan satu klik dapat menciptakan ilusi partisipasi yang memuaskan secara psikologis namun minim dampak struktural. Energi kritis yang besar berisiko terdisipasi di ruang gema digital tanpa terkonversi menjadi aksi kolektif yang terorganisir di dunia nyata, seperti advokasi kebijakan yang sistematis, pengawasan parlemen, atau penggunaan hak pilih secara strategis.

Kesenjangan antara diskursus online dan aksi offline ini bukanlah gejala yang muncul tanpa sebab. Setidaknya ada dua diagnosis utama yang perlu kita bedah. Pertama, krisis kepercayaan institusional yang akut. Berbagai survei kredibel, seperti yang dirilis oleh Centre for Strategic and International Studies (CSIS) dan Indikator Politik Indonesia, secara konsisten menunjukkan bahwa tingkat kepercayaan anak muda terhadap institusi politik formal, terutama partai politik, berada di titik yang mengkhawatirkan. Mereka memandang politik sebagai arena transaksional para elite yang teralienasi dari realitas hidup mereka. Partai politik seringkali gagal menyajikan narasi ideologis yang koheren dan program kerja yang relevan dengan kecemasan generasi ini lapangan kerja di era otomasi, krisis iklim, kesehatan mental, dan keamanan ruang siber. Pendekatan politisi yang cenderung patronase dan bersifat "musiman" hanya saat pemilu, semakin memperdalam sinisme tersebut. Kedua, adanya defisit literasi politik fungsional. Sistem pendidikan kita mungkin berhasil mengajarkan konsep teoretis ketatanegaraan, namun seringkali gagal membekali generasi muda dengan perangkat untuk mempraktikkannya. Banyak anak muda memahami konsep Trias Politica, tetapi tidak mengerti bagaimana melacak rekam jejak digital seorang calon legislatif, bagaimana sebuah undang-undang yang kontroversial dirumuskan, atau bagaimana membaca anggaran daerah. Kekosongan literasi fungsional inilah yang menjadi celah subur bagi penyebaran masif disinformasi dan hoaks, yang pada akhirnya memicu frustrasi dan menarik mereka untuk apatis secara faktual.

Transformasi dari partisipasi pasif menjadi partisipasi aktif memerlukan intervensi yang sistematis dan kolaboratif dari berbagai pemangku kepentingan. Revitalisasi Pendidikan Politik sebagai Laboratorium Demokrasi, Pendidikan kewarganegaraan harus bergerak melampaui hafalan pasal dan struktur lembaga negara. Sekolah dan kampus harus menjadi inkubator kewarganegaraan aktif. Ini dapat diwujudkan melalui pengenalan debat parlementer, simulasi pemilu, proyek advokasi kebijakan berbasis riset, serta integrasi kurikulum literasi digital kritis. Tujuannya adalah mencetak warga negara yang tidak hanya tahu haknya, tetapi juga cakap dalam menggunakan instrumen demokrasi untuk memperjuangkan kepentingannya.

Reformasi Internal dan Keterbukaan Institusi Politik, Partai politik sebagai pilar utama demokrasi harus melakukan peremajaan yang otentik, bukan sekadar gimik elektoral. Ini berarti membuka ruang yang signifikan bagi anak muda dalam proses pengambilan keputusan strategis, regenerasi kepemimpinan, dan rekrutmen calon yang berbasis meritokrasi, bukan nepotisme. Dialog harus dibangun secara substantif dan berkelanjutan, bukan hanya melalui konten media sosial yang dangkal. Partai politik harus bertransformasi menjadi agregator aspirasi generasi muda yang sesungguhnya.

Optimalisasi Peran Masyarakat Sipil sebagai Jembatan, Organisasi masyarakat sipil (CSO), gerakan mahasiswa, dan komunitas-komunitas independen memegang peran vital sebagai fasilitator. Mereka dapat "menerjemahkan" bahasa politik yang kompleks menjadi lebih mudah dicerna, menyediakan pelatihan kepemimpinan dan advokasi, serta membangun platform bagi anak muda untuk berjejaring dan berkolaborasi di luar sekat-sekat politik partisan.

Inovasi Penyelenggara Pemilu dalam Edukasi Pemilih, Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) perlu memperluas perannya dari sekadar penyelenggara teknis menjadi edukator demokrasi utama. Pemanfaatan teknologi harus dimaksimalkan untuk menyediakan platform satu pintu yang berisi rekam jejak kandidat yang terverifikasi, data realisasi janji kampanye, serta mekanisme pelaporan pelanggaran yang mudah diakses dan ditindaklanjuti.

Energi politik anak muda di ruang digital adalah aset demokrasi yang tak ternilai. Ia adalah percikan api yang menandakan adanya kepedulian. Namun, percikan tanpa medium yang tepat akan padam sia-sia. 


Tugas historis kita bersama adalah membangun jembatan yang kokoh antara dunia digital dan dunia riil, memastikan bahwa setiap tweet kritik, setiap unggahan keprihatinan, dan setiap diskusi di forum online dapat terakumulasi dan terkonsolidasi menjadi sebuah kekuatan politik yang nyata.

Sebab, pada akhirnya, demokrasi tidak hanya diperjuangkan dengan kecepatan jempol, tetapi juga dengan keteguhan langkah menuju bilik suara dan partisipasi aktif dalam mengawal jalannya pemerintahan. Sebuah like bisa menjadi premis, tetapi suaralah yang menjadi konklusi.


Post a Comment

0 Comments


SELAMAT DATANG DI SEMOGA ANDA PUAS