Oleh: [Rikhel Sakinah Maharani] mahasiswa ilmu politik universitas Andalas Padang
Gelombang konflik berbasis identitas yang terus Iyo menghantam ruang publik Indonesia menandakan adanya krisis mendalam dalam budaya politik kita. Politik identitas bukan sekadar strategi elektoral yang dangkal, melainkan gejala dari rapuhnya partisipasi politik substantif. Ketika warga kehilangan kepercayaan pada mekanisme politik formal, mereka mencari pelarian dalam solidaritas primordial yang sempit dan eksklusif. Fenomena ini bukan hanya mengancam kohesi sosial, tetapi juga menggerus esensi demokrasi yang seharusnya berlandaskan pada kesetaraan, rasionalitas, dan deliberasi publik.
Indonesia memang telah berhasil membangun infrastruktur demokrasi prosedural: pemilu rutin, pergantian kekuasaan yang damai, serta kebebasan pers yang relatif terjaga. Namun di balik keberhasilan formal itu, tersembunyi paradoks yang mencolok. Demokrasi yang berjalan secara prosedural ternyata tidak selalu melahirkan budaya politik yang matang. Kita mengalami apa yang disebut Samuel Huntington sebagai “demokrasi tanpa demokratisasi” lembaga politik ada, tetapi semangat partisipasi sejati absen.
Angka golput yang tinggi, menurunnya kepercayaan publik terhadap institusi politik, serta maraknya politik uang menunjukkan bahwa partisipasi warga masih bersifat pasif dan transaksional. Banyak orang datang ke TPS bukan karena kesadaran politik, melainkan karena mobilisasi atau iming-iming kompensasi material. Rakyat berpartisipasi karena didorong oleh kepentingan jangka pendek, bukan karena keyakinan akan pentingnya suara mereka dalam menentukan arah bangsa.
Dari perspektif sosiologi politik, konflik yang muncul dalam masyarakat demokratis sering kali berakar pada distribusi partisipasi yang tidak merata. Kelompok-kelompok tertentu mendominasi arena politik karena memiliki modal ekonomi, jaringan kekuasaan, atau akses informasi yang luas. Sementara itu, kelompok lain tersisih dan tidak memiliki saluran efektif untuk menyampaikan aspirasi. Ketimpangan ini menciptakan rasa frustrasi yang kemudian dikanalisasi melalui mobilisasi identitas.
Konflik antara mayoritas-minoritas, pusat-daerah, atau bahkan antar kelompok keagamaan dan etnis bukan sekadar persoalan ideologi atau budaya. Di baliknya, tersimpan perebutan akses terhadap sumber daya politik dan ekonomi. Ketika jalur partisipasi formal tidak terbuka atau tidak responsif, identitas primordial menjadi alat untuk memobilisasi dukungan dan menekan sistem. Politik identitas, dengan demikian, bukan muncul dari kebencian yang murni, melainkan dari kegagalan sistem demokrasi dalam menciptakan ruang partisipasi yang adil dan inklusif.
Dalam kerangka teori budaya politik Almond dan Verba, Indonesia masih berada di antara dua kutub: budaya politik parokial dan subjek. Warga memandang politik sebagai sesuatu yang jauh dari kehidupan sehari-hari, atau sekadar menunggu instruksi dari elite tanpa inisiatif kritis. Budaya politik partisipatif yang ideal menuntut warga yang aktif, kritis, dan memiliki keyakinan bahwa tindakannya berpengaruh terhadap kebijakan publik. Namun, ketika sistem politik berulang kali mengecewakan harapan, kepercayaan itu merosot, digantikan sinisme dan apatisme. Dalam situasi seperti ini, konflik menjadi sulit dihindari karena tidak tersedia mekanisme damai untuk menyalurkan ketidakpuasan.
Partisipasi politik sejatinya bukan hanya hak, tetapi juga mekanisme resolusi konflik. Teori resolusi konflik modern menekankan pentingnya inklusivitas dalam pengambilan keputusan. Konflik tidak bisa diselesaikan hanya melalui kekuatan atau kompromi elite, melainkan melalui partisipasi substantif dari semua pihak yang terdampak. Ketika proses deliberasi berlangsung secara terbuka dan adil, keputusan yang dihasilkan akan lebih legitimate dan berkelanjutan. Sebaliknya, keputusan yang diambil secara eksklusif oleh segelintir elite akan terus memicu resistensi sosial dan memperdalam jurang ketidakpercayaan antara warga dan negara.
Untuk itu, revitalisasi ruang partisipasi politik menjadi kebutuhan mendesak. Di tingkat akar rumput, forum seperti musyawarah desa, pertemuan RT/RW, atau lembaga adat harus diberdayakan kembali sebagai arena partisipasi yang otonom. Institusi-institusi lokal ini jangan hanya dijadikan alat mobilisasi politik menjelang pemilu, tetapi menjadi wadah dialog yang berkelanjutan antara warga dan pemerintah. Demokrasi lokal yang kuat akan menjadi fondasi bagi demokrasi nasional yang sehat.
Organisasi masyarakat sipil, serikat pekerja, dan kelompok profesional juga perlu diperkuat agar mampu menjadi jembatan antara rakyat dan negara. Mereka membutuhkan kapasitas advokasi, kemampuan bernegosiasi, dan pemahaman tentang tata kelola kebijakan publik. Pemerintah perlu membuka kanal konsultasi publik yang nyata, bukan sekadar formalitas administratif. Di sisi lain, kebijakan yang membatasi partisipasi harus dievaluasi. Ambang batas parlemen yang terlalu tinggi, biaya politik yang mahal, hingga mekanisme recall yang kaku menjadi penghambat struktural bagi keterlibatan warga dalam politik.
Teknologi digital pun dapat menjadi peluang besar untuk memperluas ruang partisipasi politik. Media sosial, platform petisi daring, forum diskusi publik, hingga kanal pengaduan digital memberi kesempatan bagi warga untuk menyampaikan aspirasi secara langsung, cepat, dan luas tanpa harus menunggu momentum pemilu. Partisipasi ini bahkan sering kali bersifat spontan dan organik, tumbuh dari kepedulian bersama terhadap isu publik seperti korupsi, lingkungan, atau kebijakan sosial.
Namun, di sisi lain, dunia digital juga menjadi arena baru bagi manipulasi politik. Penyebaran disinformasi, ujaran kebencian, dan politik identitas berbasis algoritma telah membentuk ekosistem yang sering kali memperkuat polarisasi masyarakat. Kampanye politik di media sosial tidak selalu mendorong dialog rasional, tetapi justru memperuncing perbedaan dan membentuk gelembung opini (echo chamber) yang membuat warga hanya mendengar suara dari kelompoknya sendiri.
Oleh karena itu, literasi digital dan etika publik menjadi prasyarat mutlak dalam memperkuat demokrasi digital. Warga perlu dibekali kemampuan untuk memilah informasi, memahami cara kerja algoritma media sosial, serta mengenali upaya manipulasi yang disamarkan sebagai opini publik. Pemerintah dan lembaga pendidikan juga harus berperan aktif dalam membangun ekosistem digital yang sehat dengan regulasi yang transparan, perlindungan terhadap kebebasan berekspresi, dan mekanisme penegakan hukum yang adil terhadap penyebaran hoaks maupun ujaran kebencian. Jika dikelola dengan bijak, teknologi digital justru dapat menjadi ruang demokratis baru yang melampaui batas geografis dan kelas sosial. Ia memungkinkan partisipasi politik yang lebih inklusif, di mana suara warga kecil di pelosok dapat bersaing maknanya dengan opini elite di pusat kekuasaan.
Di atas semua itu, pendidikan politik menjadi fondasi utama. Sayangnya, pendidikan kewarganegaraan di Indonesia masih terlalu normatif, hanya menekankan hafalan tentang sistem pemerintahan tanpa membentuk kesadaran kritis. Sekolah seharusnya menjadi laboratorium demokrasi, tempat siswa belajar berdebat, berorganisasi, dan menyelesaikan konflik secara damai. Pendidikan politik juga harus diperluas ke ruang-ruang informal seperti media massa, tempat ibadah, dan komunitas warga. Yang dibutuhkan bukan indoktrinasi ideologi tertentu, melainkan penguatan kemampuan berpikir kritis, toleransi, dan komunikasi dialogis.
Pendidikan politik yang efektif akan melahirkan warga negara yang sadar hak dan tanggung jawabnya, tidak mudah dimobilisasi oleh sentimen identitas, dan mampu berpartisipasi secara rasional. Tanpa pendidikan politik yang memadai, masyarakat akan terus terjebak dalam siklus apatisme dan konflik, di mana setiap perbedaan pendapat dipandang sebagai ancaman, bukan peluang untuk memperkaya gagasan bersama.
Kini, masyarakat Indonesia berada di persimpangan jalan. Kita bisa terus bertahan dalam pola demokrasi prosedural yang dangkal dengan risiko fragmentasi sosial yang semakin parah, atau mulai menapaki jalan sulit menuju budaya partisipasi yang autentik. Pilihan kedua menuntut kesabaran dan kerja keras, tetapi hanya melalui jalan itulah demokrasi dapat diselamatkan dari konflik yang berkepanjangan.
Partisipasi politik bukan hanya tentang datang ke bilik suara setiap lima tahun sekali, melainkan tentang membangun rasa kepemilikan bersama terhadap masa depan bangsa. Ketika setiap warga merasa suaranya didengar dan kepentingannya diakui, kebutuhan untuk berkonflik atas dasar identitas akan berkurang. Inilah jalan damai menuju Indonesia yang lebih demokratis, inklusif, dan berkeadilan.
0 Comments