Ticker

6/recent/ticker-posts

Menilik Peran Wali Kota dan DPRD Kota Sawahlunto dalam Pelestarian Cagar Budaya Tenun Songket Silungkang

Penulis;Muhammad Dzaky Ramadhan.                                         Mahasiswa Departemen Ilmu Politik.  Univeristas Andalas

Tenun Songket Silungkang merupakan salah satu warisan budaya tak benda yang menjadi kebanggaan Kota Sawahlunto. Kain tenun ini bukan sekadar hasil keterampilan tangan yang indah, tetapi juga menyimpan jejak sejarah, nilai-nilai lokal, dan identitas kolektif masyarakat Silungkang. Motif-motifnya memuat simbol-simbol kultural yang diwariskan turun-temurun, sementara teknik pembuatannya mencerminkan kearifan lokal yang telah bertahan ratusan tahun. Keunikan ini menjadikan songket Silungkang bukan hanya sebagai produk ekonomi kreatif, tetapi juga cagar budaya yang harus dilestarikan.

Kesadaran akan pentingnya pelestarian tersebut telah dituangkan dalam Peraturan Daerah Kota Sawahlunto Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pelestarian dan Pengelolaan Cagar Budaya. Regulasi ini menjadi landasan hukum yang mengatur perlindungan, pengelolaan, hingga pengembangan cagar budaya, baik yang berwujud seperti bangunan dan situs sejarah, maupun yang tidak berwujud seperti tradisi dan kerajinan. Namun, memiliki regulasi saja tidak cukup. Tantangan sesungguhnya terletak pada bagaimana kebijakan tersebut diterjemahkan ke dalam tindakan nyata yang berkelanjutan. Di sinilah peran pemerintah kota, baik eksekutif yang dipimpin wali kota maupun legislatif yang diwakili DPRD, menjadi sangat krusial.

Walikota sebagai kepala eksekutif memiliki mandat untuk menggerakkan seluruh perangkat daerah dalam menjalankan amanat Perda. Peran ini mencakup perencanaan program pelestarian yang sesuai kebutuhan komunitas pengrajin, penyediaan fasilitas dan infrastruktur pendukung, serta membuka akses pasar yang lebih luas. Dalam konteks Tenun Songket Silungkang, pemerintah kota harus mampu menghadirkan kebijakan yang tidak hanya bersifat seremonial, tetapi juga menyentuh persoalan mendasar seperti keterbatasan alat produksi, sulitnya mendapatkan bahan baku, dan minimnya regenerasi pengrajin. Penelitian Dewi (2018) menegaskan bahwa keberhasilan pelestarian budaya sangat ditentukan oleh keterlibatan pemerintah daerah dalam membangun program partisipatif yang melibatkan komunitas sebagai subjek, bukan sekadar objek pelestarian.

Salah satu tantangan besar adalah keterbatasan anggaran. Kompas.com (2022) mencatat bahwa banyak pengrajin songket kesulitan melanjutkan produksi karena tidak mampu membeli peralatan modern atau bahan berkualitas. Di sini, walikota memegang peran strategis dalam memastikan bahwa pengajuan anggaran kepada DPRD menempatkan sektor kebudayaan, khususnya songket Silungkang, sebagai prioritas. Selain itu, walikota memiliki tanggung jawab untuk membangun kolaborasi lintas sektor. Pendekatan pentahelix yang melibatkan pemerintah, akademisi, pelaku usaha, komunitas, dan media dapat menjadi model efektif untuk menciptakan ekosistem pelestarian yang berkelanjutan, sebagaimana diuraikan oleh Pamekasan (2021) dalam studi tentang pengembangan kawasan bersejarah.

Di sisi lain, DPRD sebagai lembaga legislatif memegang fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan yang sangat menentukan arah kebijakan pelestarian. Fungsi legislasi DPRD tidak berhenti pada pengesahan Perda, tetapi juga mencakup penyusunan regulasi turunan seperti aturan teknis perlindungan Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) untuk motif songket Silungkang. Perlindungan ini penting agar warisan motif tersebut tidak diklaim oleh pihak luar tanpa izin. Pada fungsi anggaran, DPRD berperan memastikan bahwa usulan dana dari eksekutif benar-benar dialokasikan secara memadai dan tepat sasaran. Penelitian Syahputra (2023) menunjukkan bahwa besaran alokasi dana memiliki korelasi positif dengan keberhasilan program konservasi budaya, sehingga DPRD memegang kunci dalam memastikan keberlanjutan pembiayaan pelestarian. Sementara dalam fungsi pengawasan, DPRD bertugas memantau pelaksanaan program yang dijalankan wali kota. Tanpa pengawasan ketat, kebijakan pelestarian rawan terjebak pada kegiatan seremonial yang minim dampak jangka panjang.

Meskipun secara normatif walikota dan DPRD seharusnya saling melengkapi, realitas politik kadang membuat sinergi ini tidak berjalan optimal. Perbedaan prioritas, keterbatasan data pendukung, serta minimnya kajian berbasis bukti sering membuat kebijakan pelestarian bersifat reaktif. Siri (2021) menegaskan bahwa data yang akurat mengenai kondisi objek budaya dan komunitas pendukungnya merupakan syarat mutlak dalam merancang kebijakan pelestarian yang efektif. Tanpa data, program yang dijalankan cenderung tidak tepat sasaran.


Selain itu, rendahnya minat generasi muda untuk menjadi pengrajin songket menambah beban persoalan. ANTARA News (2012) melaporkan bahwa profesi penenun kini dianggap kurang menjanjikan secara ekonomi, sehingga regenerasi pengrajin menjadi semakin sulit. Padahal, keberlangsungan songket Silungkang bergantung pada adanya penerus yang terampil dan berkomitmen menjaga tradisi. Di sinilah peran wali kota dan DPRD sangat penting untuk menciptakan kebijakan insentif, seperti beasiswa keterampilan menenun, pelatihan berbasis teknologi, hingga promosi kreatif yang menggabungkan nilai tradisional dengan selera pasar modern.

Ke depan, arah kebijakan pelestarian Tenun Songket Silungkang memerlukan komitmen politik yang kuat dari kedua lembaga. Wali kota harus memastikan bahwa program pelestarian mendapat dukungan penuh, baik secara teknis maupun finansial, sementara DPRD harus mengawal anggaran dan kebijakan tersebut agar tepat sasaran dan berdampak nyata. Edukasi publik melalui kurikulum muatan lokal, festival budaya, dan dokumentasi digital motif songket dapat menjadi bagian dari strategi jangka panjang. Purwanto (2020) menegaskan bahwa pelibatan aktif masyarakat adalah kunci keberhasilan pelestarian, sehingga setiap kebijakan yang lahir harus memposisikan warga sebagai mitra sejajar, bukan sekadar penerima manfaat.

Pelestarian songket Silungkang bukan hanya tentang menjaga kain agar tetap diproduksi, tetapi juga menjaga cerita, identitas, dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Wali kota dan DPRD memiliki tanggung jawab historis untuk memastikan bahwa warisan ini tidak hanya bertahan, tetapi juga berkembang menjadi ikon ekonomi kreatif yang mampu bersaing di pasar global. Dengan sinergi, keberanian politik, dan pengelolaan yang profesional, songket Silungkang dapat menjadi bukti bahwa pembangunan dan pelestarian budaya bukanlah dua hal yang bertentangan, melainkan dua sisi dari tujuan yang sama: membangun masa depan tanpa kehilangan jati diri.






Referensi

ANTARA News Bengkulu. (2012). Songket Silungkang dikembangkan jadi tas dan sepatu. Diakses 5 Agustus 2025 dari https://bengkulu.antaranews.com/berita/4000/songket-silungkang-dikembangkan-jadi-tas-dan-sepatu

Dewi, T. N. R. (2018). Peran Pemerintah Daerah dalam Pelestarian Cagar Budaya. Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora, 5(2), 123–135.

Kompas.com. (2022). Pemerintah Tingkatkan Bantuan untuk Pelaku UMKM Tenun Tradisional. Diakses 5 Agustus 2025 dari https://www.kompas.com

Pamekasan, B. P. C. B. (2021). Partisipasi Stakeholder dalam Pelestarian Kawasan Rindam IV/Diponegoro Kota Magelang sebagai Kawasan Bersejarah. Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota, 9(2).

Pemerintah Kota Sawahlunto. (2016). Peraturan Daerah Kota Sawahlunto Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pelestarian dan Pengelolaan Cagar Budaya. Sawahlunto: Sekretariat Daerah.

Purwanto, W. I. (2020). Partisipasi Komunitas dalam Pelestarian Warisan Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Siri, H. (2021). Pelestarian Cagar Budaya Kota Parepare Melalui Pengelolaan Website. Jurnal Inovasi dan Pemberdayaan Masyarakat, 6(3).

Syahputra, S. H. (2023). Peran Anggaran Pemerintah dalam Pelestarian Cagar Budaya: Studi Kasus di Kota Tua Jakarta. Jurnal Konservasi Budaya, 8(1), 45–60.

Post a Comment

0 Comments


SELAMAT DATANG DI SEMOGA ANDA PUAS