Dosen Pengampu: Dr.Aslinda,M.Hum
Oleh Kelompok 6:
1. Nada Nadiaturrahmah 2410522005
2. Renata Elysia Rachman 2410522020
3. Harira Fathiya 2400527001
4. Ferdy Alzaqi 2400541019
5. Vigo Jovankha 2400542039
6. M. Daffa Khaira 2400542045
7. Aznita 2410847001
8. Chelni Tri Anindya 2410843037
MKWK BAHASA INDONESIAUNIVERSITAS ANDALAS PADANG 2025
Pendahuluan
Di era digital saat ini, media sosial telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan remaja. Platform seperti TikTok, Instagram, X (dahulu Twitter), dan WhatsApp tak hanya menjadi alat komunikasi, tetapi juga ruang berekspresi yang memengaruhi pola pikir dan cara bertutur. Namun, kemudahan berkomunikasi ini juga menghadirkan tantangan baru, terutama dalam menjaga kesantunan berbahasa.
Kesantunan berbahasa mencerminkan nilai etika, penghormatan, dan sopan santun yang sangat dijunjung dalam budaya Indonesia.
Sayangnya, semakin maraknya penggunaan media sosial justru menunjukkan gejala penurunan kesantunan, seperti penggunaan kata kasar, sindiran tajam, atau gaya bahasa yang tidak sesuai dengan norma sopan santun.
Media Sosial dan Pola Bahasa Remaja
Media sosial memfasilitasi komunikasi yang cepat dan spontan, yang sering kali membuat penggunanya lebih bebas mengekspresikan diri. Dalam proses ini, banyak remaja yang cenderung meniru gaya bahasa populer yang sedang tren, walau kadang tak sesuai konteks atau mengandung unsur tidak santun.
Remaja menggunakan singkatan seperti “gak”, “anjay”, atau “wkwk”, serta terlibat dalam komentar bernada sarkasme atau bahkan ujaran kebencian. Hal ini bukan hanya terjadi dalam komunikasi daring, tapi juga terbawa dalam interaksi luring sehari-hari.
Faktor Penyebab dan Dampaknya
Beberapa faktor yang mendorong perubahan kesantunan berbahasa antara lain:
1. Kurangnya kontrol sosial di ruang digital.
2. Pengaruh lingkungan pertemanan.
3. Minimnya edukasi tentang etika berkomunikasi digital.
4. Keinginan untuk mengikuti tren agar dianggap ‘gaul’ atau ‘kekinian.
Dampaknya sangat nyata: selain mengikis nilai-nilai kesopanan dalam budaya bangsa, kebiasaan berbahasa tidak santun di media sosial bisa menjalar ke kehidupan nyata, menyebabkan kesalahpahaman, bahkan konflik antarpersonal.
Solusi dan Rekomendasi
Agar media sosial tidak menjadi lahan subur bagi degradasi kesantunan, dibutuhkan sinergi dari berbagai pihak:
a. Untuk Sekolah dan Guru:
1. Mengintegrasikan materi etika digital dalam pelajaran Bahasa Indonesia dan PPKn.
2. Memberikan pelatihan komunikasi santun secara daring.
3. Menilai perilaku siswa di m
b. Untuk Orang Tua:
1. Aktif berdialog dan memantau aktivitas daring anak.
2. Memberikan contoh nyata dalam penggunaan bahasa yang baik di media sosial.
c. Untuk Remaja:
1. Sadar bahwa media sosial adalah ruang publik yang merefleksikan jati diri.
2. Bijak dalam menulis dan berbicara—karena kata bisa menyembuhkan atau melukai.
3. Jadikan media sosial sebagai wadah menyebarkan hal positif, bukan tempat melampiaskan emosi.
d. Untuk Pemerintah dan Platform Digital:
1. Mengembangkan program literasi digital dan kampanye nasional seperti #SantunDiMediaSosial.
2. Menyediakan fitur peringatan otomatis bagi pengguna yang menulis ujaran kasar.
3. Mendorong kolaborasi dengan influencer muda untuk menumbuhkan budaya komunikasi yang santun.
PENUTUP
Media sosial adalah pedang bermata dua: ia bisa memperluas wawasan dan koneksi, tetapi juga bisa mengikis nilai-nilai luhur bangsa jika tidak digunakan dengan bijak. Oleh karena itu, menjaga kesantunan berbahasa bukan sekadar tanggung jawab individu, melainkan komitmen bersama dalam membentuk ekosistem digital yang sehat, beretika, dan mencerminkan budaya luhur Indonesia.
0 Comments