Opini
Aroma tak sedap yang terjadi pada tata kelola birokrasi kembali mencuat dari lingkup pemerintahan Provinsi Sumatera Barat.
Setelah geger kasus Bapenda tentang pungli UPTD Samsat. Kali ini, sorotan tajam mengarah ke Dinas Perkebunan Tanaman Pangan dan Hortikultura. Sang Kepala Dinas, Febrina Trisusila Putri, S.P., M.Si., diduga kuat terlibat dalam praktik maladministrasi, nepotisme, hingga penyimpangan anggaran.
Laporan setebal satu halaman yang ditujukan kepada Kepala Kejaksaan Tinggi Provinsi Sumatera Barat, menyuarakan jeritan para staf Dinas Perkebunan Tanaman Pangan dan Hortikultura yang mengaku gerah dengan sepak terjang atasan mereka. Ditulis dengan identitas anonim, namun menggunakan kop resmi dinas, surat itu mengurai 14 poin dugaan pelanggaran sistematis yang dilakukan oleh Febrina sejak awal 2025.
Laporan ini menyoroti indikasi absensi, ketidakhadiran Febrina secara fisik di kantor sejak awal Ramadan hingga pasca Iduladha 2025, alias selama lebih dari dua bulan.
Selama periode tersebut, aktivitas kedinasan Febrina disebut hanya berlangsung dari rumah jabatan, dengan sistem absensi secara daring. Ketidakhadiran fisik di kantor selama lebih dari dua bulan ini dinilai bertentangan dengan prinsip kedisiplinan yang semestinya menjadi teladan dari seorang pejabat publik.
Lebih lanjut, laporan tersebut juga menyingkap dugaan praktik nepotisme dalam perekrutan tenaga honorer. Febrina disebut memasukkan anggota keluarganya, yang jumlahnya diperkirakan mencapai sepuluh orang, untuk diangkat sebagai pegawai honorer di lingkungan dinas.
Indikasi penyimpangan juga terlihat dalam pelaksanaan proyek-proyek pengadaan langsung tahun anggaran 2025, seperti pengadaan alat tulis kantor (ATK) dan kebutuhan lainnya. Proyek-proyek tersebut melibatkan rekanan yang tidak memiliki usaha resmi, namun tetap diarahkan untuk mengerjakan pekerjaan tersebut. Salah satu yang disorot adalah pengadaan baju dinas, yang ditangani oleh rekanan yang diakui sebagai adik suami Febrina, meskipun pihak tersebut tidak memiliki usaha jahit sebagaimana dibutuhkan dalam proyek tersebut.
Yang lebih mengkhawatirkan, laporan ini juga menyinggung praktik pungutan liar bermodus sumbangan sosial, mirip dengan pola yang sempat mengguncang Bapenda melalui setoran-setoran tidak resmi di lingkungan Samsat. Namun kali ini, pungutan dilakukan kepada ASN di dalam Dinas Perkebunan Tanaman Pangan dan Hortikultura itu sendiri, atas nama donasi, Palestina, TNI di Papua, bahkan Bencana gunung merapi, namun tak ada satu pun yang dilaporkan penggunaannya.
Laporan juga mengungkap sejumlah dugaan penyimpangan keuangan internal yang mencerminkan lemahnya transparansi dan akuntabilitas di lingkungan dinas. Di antaranya adalah pemotongan tunjangan kinerja (tukin) ASN yang dilakukan tanpa penjelasan atau laporan kepada bendahara dinas.
Selain itu, disebutkan pula adanya pemungutan uang koperasi (KOPRI) sebesar Rp15.000 hingga Rp20.000 per pegawai setiap bulan, namun tidak pernah disertai laporan pertanggungjawaban penggunaannya.
Dugaan makin menguat dengan praktik pemotongan zakat penghasilan ASN yang diklaim telah dihimpun dari ribuan pegawai, namun tidak jelas ke mana dana tersebut dialokasikan.
Lebih jauh, sorotan juga tertuju pada penggunaan kendaraan dinas oleh suami yang bersangkutan, yang bukan bagian dari struktur ASN. Kendaraan tersebut diketahui mengalami insiden kecelakaan, namun hingga kini tidak ada penjelasan resmi mengenai siapa yang bertanggung jawab atas perbaikannya dan bagaimana status penggunaannya secara hukum.
Selain itu, laporan juga menyoroti pelaksanaan perjalanan dinas luar provinsi yang diduga hanya diikuti oleh kepala dinas seorang diri. Kondisi ini menimbulkan kecurigaan bahwa perjalanan tersebut tidak dilaksanakan untuk kepentingan institusi secara menyeluruh, melainkan lebih bersifat personal.
Dalam surat anonim tersebut, juga menyoroti atas kebijakan anggaran dari Febrina yang tidak mengakomodasi sektor prioritas seperti benih padi. Hal ini disebut berdampak pada tidak tercapainya target Peningkatan produksi padi hingga lima persen, bunyi surat anonim yang dikirim kepada kejaksaan tinggi provinsi Sumatera Barat itu.
Terakhir, laporan mengindikasikan adanya relasi kerja yang tidak harmonis antara Febrina dengan berbagai pihak, termasuk DPRD, rekanan yang bukan orangnya, bahkan pejabat di kementerian, yang dinilai mempersulit koordinasi lintas sektor.
Skandal yang menyeret nama besar Kadis ini muncul di tengah sorotan keras publik terhadap berbagai penyimpangan di tubuh Pemprov Sumbar. Dugaan pungli di Samsat, kini ditambah penyimpangan internal di dinas Perkebunan Tanaman Pangan dan Hortikultura.
Hingga berita ini diturunkan, Febrina Trisusila Putri tidak memberikan tanggapan. Upaya konfirmasi yang dilakukan redaksi melalui sambungan telepon tak mendapat respons.
Gubernur Sumatera Barat didesak untuk turun tangan langsung melakukan audit internal, mengevaluasi penempatan pejabat eselon II, serta memperkuat fungsi pengawasan dan penegakan etika ASN secara menyeluruh. Penanganan kasus ini akan menjadi ujian penting bagi komitmen reformasi birokrasi di provinsi ini. (*/Rel)
0 Comments