Ticker

6/recent/ticker-posts

Menelusuri Status Halal Mirin dalam Dunia Kuliner Jepang


Oleh : Bunga Rahmatina Permata.  Universitas Andalas


Kuliner Jepang kini semakin digemari di Indonesia, mulai dari sushi, ramen, hingga berbagai hidangan grill yang menggugah selera. Namun, di balik cita rasa autentik masakan Jepang, terdapat satu bahan yang kerap menjadi perbincangan di kalangan Muslim, yaitu mirin. Mirin adalah bahan tradisional beralkohol yang telah lama digunakan di Jepang. Bahan ini dibuat dari beras ketan kukus, koji, dan alkohol. Mirin mampu menambah cita rasa terhadap makanan sehingga banyak digunakan dalam industri makanan dan restoran Jepang. Mirin memiliki bentuk cair berwarna kuning dengan rasa manis khas.

Proses pembuatan mirin diawali dengan beras ketan yang dikukus kemudian dicampur dengan ragi, lalu ditambah semacam arak yang disebut shoyu atau semacam alkohol yang membantu proses peragian, lalu didiamkan selama 60 hari. Sesudah peragian selesai, bahan-bahan diperas dan disaring. Enzim emilase yang dikandung oleh ragi mengubah karbohidrat dalam beras menjadi gula, sedangkan asam suksinat dan asam amino memberi rasa “dalam" pada mirin. Kadar alkohol ditekan oleh ragi sehingga kadar gula yang tersisa pada mirin lebih tinggi dibandingkan sake. Mirin mengandung alkohol dengan kadar yang cukup tinggi, yakni sekitar 10–14 persen dengan tingkat kemanisan berkisar 40-50 persen. Kandungan alkohol yang cukup tinggi tersebut menjadi perhatian utama dalam penilaian kehalalan mirin menurut hukum Islam.

Titik kritis kehalalan mirin ada pada kandungan alkoholnya. Majelis Ulama Indonesia (MUI) secara tegas menyatakan bahwa mirin, baik digunakan dalam jumlah banyak maupun sedikit, termasuk dalam kategori khamr dan tidak dapat disertifikasi halal, meskipun hanya digunakan sebagai bumbu masakan. Berdasarkan Fatwa MUI Nomor 4 tahun 2003 tentang Standarisasi Fatwa Halal, mirin dianggap sebagai bahan non-halal atau haram karena merupakan bahan masakan beralkohol. Oleh karena itu, penggunaan mirin dalam makanan tidak di perbolehkan dikarenakan mirin tersebut memiliki kandungan alkohol. Kandungan alkohol yang signifikan inilah yang menjadi alasan utama mengapa mirin tidak diperbolehkan dalam konsumsi umat Islam, meskipun hanya digunakan sebagai penyedap rasa dalam masakan.

Penggunaan mirin dalam makanan dilarang karena mirin mengandung alkohol yang signifikan. Alkohol, yang terdapat dalam mirin dengan persentase sekitar 14%, dianggap haram dalam pandangan syariat Islam, karena segala bentuk konsumsi zat memabukkan diharamkan dalam syariat. Mirin, meskipun memberikan cita rasa manis dan khas dalam masakan, sebaiknya digantikan dengan bahan alternatif yang halal. Kesadaran akan pentingnya menjaga kehalalan makanan membuat konsumen Muslim semakin berhati-hati dalam memilih bahan dan produk yang mereka konsumsi, terutama saat menikmati masakan dari budaya lain seperti Jepang.

Fenomena inilah yang membuat banyak Muslim kini lebih selektif dalam memilih restoran Jepang dan mencari alternatif bahan halal demi menjaga kehalalan konsumsi sehari-hari. Hal ini juga mendorong konsumen Muslim untuk lebih teliti dalam menelaah bahan dan proses pembuatan berbagai hidangan Jepang, seperti sushi, ramen, dan tempura, agar memastikan setiap sajian yang dinikmati benar-benar sesuai dengan prinsip kehalalan.

Post a Comment

0 Comments


SELAMAT DATANG DI SEMOGA ANDA PUAS