Ticker

6/recent/ticker-posts

Mahasiswa dan Tantangan Seks Bebas di Era Digital: Refleksi dari Perspektif Mahasiswa Administrasi Publik Universitas Andalas

Oleh Tim Mahasiswa MKWU Kelompok 4 Agama Islam Kelas 35, Universitas Andalas 2025

1.Alan Dinovan Arfi,

2. Dean Ahmad Santana,

3.Khairil Wahidi,

4. Akhmad Riski Harahap,

5.Yuni Rahma Dewi,

6. Rahma Alfin Khayra,

7. Habil Syahputra,

8.Chelni Tri Anindya,

9.Aznita._

Dosen pembimbing: Dra. Lara Agnesta Putri, M.PD.I.


Di tengah derasnya arus informasi dan perkembangan teknologi, mahasiswa hari ini tidak hanya dihadapkan pada tuntutan akademik, tetapi juga pada tantangan moral yang semakin kompleks. 


Salah satu isu krusial yang mengemuka di lingkungan kampus adalah seks bebas—hubungan seksual di luar pernikahan yang kian dianggap sebagai hal biasa oleh sebagian kalangan muda.


Fenomena ini bukan sekadar wacana. Berdasarkan wawancara yang dilakukan oleh mahasiswa Administrasi Publik Angkatan 24 Universitas Andalas, banyak mahasiswa mengakui bahwa seks bebas kerap dianggap sebagai pilihan pribadi, bukan lagi pelanggaran moral. 


Padahal, sebagian besar dari mereka tahu bahwa seks bebas bisa menimbulkan konsekuensi serius: mulai dari kehamilan tidak diinginkan, penyakit menular seksual, hingga tekanan psikologis dan sosial.


Dalam penelitian kecil ini, wawancara dilakukan kepada sepuluh mahasiswa dari jurusan yang sama. Hasilnya menunjukkan bahwa mayoritas responden memahami seks bebas sebagai perilaku seksual tanpa ikatan pernikahan, seringkali hanya berdasarkan suka sama suka. Meskipun mereka sadar akan bahayanya, beberapa menyebutkan bahwa lingkungan sosial dan budaya populer turut mendorong normalisasi perilaku tersebut.


Media sosial dan budaya populer terbukti memiliki pengaruh besar. Banyak responden menyebutkan bahwa film, musik, dan konten digital yang menampilkan gaya hidup bebas kerap membuat seks bebas terlihat “wajar”. Tekanan untuk diterima di lingkungan pergaulan, rasa takut tertinggal tren (FOMO), hingga minimnya edukasi seks yang benar turut memperburuk situasi.


Namun, tidak semua responden pasif menghadapi realitas ini. Sebagian besar dari mereka mengaku bahwa nilai-nilai agama dan Pancasila, yang diajarkan melalui mata kuliah Agama Islam dan Pancasila, masih menjadi pegangan penting dalam membentuk prinsip hidup dan menjaga pergaulan. Meski demikian, beberapa mahasiswa menyampaikan kritik terhadap metode pengajaran yang masih terasa terlalu teoritis, kurang interaktif, dan belum menyentuh realita pergaulan mahasiswa secara langsung.


Banyak yang menyarankan agar pembelajaran moral, agama, dan kewarganegaraan dikemas dengan pendekatan yang lebih kontekstual—melalui diskusi terbuka, studi kasus nyata, bahkan media digital yang dekat dengan dunia mahasiswa

Sebagai generasi yang tumbuh dalam era digital dan serba terbuka, mahasiswa menyadari bahwa menjaga nilai moral dan etika bukanlah hal mudah. Tapi justru karena itulah, upaya untuk mempertahankan prinsip dan harga diri menjadi semakin penting. Beberapa mahasiswa bahkan menyampaikan pesan tegas: lebih baik dianggap kuno tapi punya prinsip, daripada mengikuti tren yang bisa merusak masa depan.

Penelitian sederhana ini membuktikan bahwa meski tantangan moral di kampus kian kompleks, masih ada harapan. Nilai agama dan ideologi bangsa belum hilang, hanya perlu disampaikan dengan cara yang lebih relevan dan membumi. Sebab, membentuk mahasiswa yang cerdas tidak cukup hanya dengan ilmu, tapi juga dengan karakter dan akhlak yang kuat.

Dan di situlah, pendidikan agama dan Pancasila mengambil peran paling strategis—sebagai penjaga moralitas generasi penerus bangsa.

Post a Comment

0 Comments


SELAMAT DATANG DI SEMOGA ANDA PUAS