Ticker

6/recent/ticker-posts

Magis dalam tiupan Sampelong : Sampelong dalam konteks sijundai

 


Oleh: Noor Alifah, Mahasiswi Sastra Indonesia, FIB, UNAND.


Sampelong identik dengan hal-hal magis. Magis ialah kepercayaan dan praktek manusia untuk mempengaruhi kekuatan alam dan manusia, entah untuk tujuan baik atau buruk, dalam usaha-usaha untuk memanipulasi daya yang lebih tinggi. Charles Boiles mengatakan bahwa suara dari alat musik bisa memberikan suatu kekuatan yang berbentuk magis. Mungkin tidak banyak orang yang mengenal sampelong. Namun, hal yang dirasakan saat pertamakali mendengar alunan musik sampelong adalah seperti berada di alam, hutan belantara, perbukitan, dan segala hal yang merepresentasikan nada alami dari alam.

Sampelong merupakan salah satu alat musik tradisional yang berasal dari bumi Minangkabau. Sampelong terbuat dari bambu tipis yang biasa disebut talang (Schizostachyum brachycladum) yang sudah dikeringkan. Alat musik sampelong berasal dari Nagari Talang Maua, Kecamatan Mungka, Kabupaten Limo Puluah Kota. Cara memainkannya adalah dengan ditiup. Sampelong memiliki Panjang 30-66 cm dan berdiameter 4-6 cm dan memiliki empat lubang. Tiga diantaranya merupakan lubang pokok yang terletak dibagian atas dan satu lubang yang berfungsi untuk memperbagus bunyi yang dihasilkan atau improvisasi. Sampelong memiliki lima tangga nada, yaitu pentatonic scale (sol, la, do, re dan mi).

Karakter alat musik tiup sampelong yang menarik menjadi kekuatan dan ciri khas yang membedakan sampelong dengan alat musik tiup lainnya di Minangkabau. Instrumen sampelong tidak hanya semata-mata sebagai media hiburan, melainkan untuk guna-guna. Membuat sampelong yang ditujukan untuk guna-guna akan memakan waktu yang panjang karena setiap rangkaian proses penciptaannya seperti pemilihan bahan, menentukan lobang-lobang nada, hingga tempat menyimpan instrumen akan mempertimbangkan dan dikaitkan dengan mitifikasi alam gaib atau kebutuhan pencapaian ritual magis.

Alat musik tiup dari Minangkabau ini mengandung unsur magis yang dapat dirasakan oleh siapa saja yang mendengar nada-nada yang dihasilkan. Dipercayai sudah ada sejak sebelum islam masuk ke Minangkabau dan diwariskan secara turun-temurun oleh masyarakatnya hingga saat ini. Islam masuk ke Minangkabau diperkirakan pada abad ke-16, dan sampelong diperkirakan sudah ada sejak sebelum abad ke-16, yaitu saat Masyarakat Minangkabau beragama Budha.

Instrumen aeroponik ini digunakan untuk mengiringi pertunjukan dendang. Dalam hal ini disebut logu sampelong. Sampelong difungsikan masyarakat untuk hiburan dalam beraktivitas di ladang gambir. (balodang gombie), terutama saat musim panen gambir, yaitu ketika para pekerja ladang gambir yang sedang beristirahat di malam hari untuk melepas penat. Istilah setempat menyebutnya palopeh-palopeh ponek.

Instrumen sampelong tidak hanya digunakan sebagai media hiburan pada saat mangampo gambie, membuat sampelong sebagai alat musik yang ditakuti karena berhubungan dengan sihir. Karena, dalam perkembangannya alat musik sampelong digunakan dalam ritual perdukunan yang bersifat magis. Perdukunan yang dimaksud adalah ritual manggasiang tangkurak (memutar gasing dari tengkorak manusia). Dalam melakukan aktivitas manggasiang tangkurak alat tiup sampelong dimainkan bersamaan dengan dilantunkannya mantra-mantra hitam, membakar kemenyan, namun gasiang tangkurak tidak bisa dibuat dari sembarangan tengkorak saja, melainkan dari tengkorak perawan yang mati bunuh diri, kecelakaan (perawan mati berdarah).

Menggunakan sampelong untuk tujuan sijundai tidak bisa dilaksanakan dengan sesuka hati. Syarat utamanya adalah harus ada orang yang meminta pertolongan kepada dukun untuk membalaskan rasa sakit hatinya, ataupun dukun tersebut melakukannya sendiri dengan tujuan yang sama. Sijundai ialah jalan terakhir untuk membalaskan dendam, sakit hati, dan kekecewaan atas “kasih tak sampai” itu. Syarat lainnya yaitu harus menyediakan kain putih, kain hitam, kain merah yang masing-masing berjumlah satu kabung (182 cm), benang tujuh warna (ragam), kemenyan putih, gasiang tangkurak (harus disediakan oleh orang yang memburu hajat tersebut), serta sejumlah uang untuk dukun yang melaksanakan upacara.

Pelaksanaan sijundai sangat berhubungan erat dengan waktu. Ada kepercayaan bahwa tidak setiap hari adalah hari baik, sehingga perlu mencari “hari yang paling terbaik”. Waktu paling baik ini biasanya menurut kepercayaan Masyarakat Mungka (menurut Alm Islamidar, tokoh sampelong) hari yang baik adalah hari kareh/ragah (Selasa dan Sabtu) karena pada hari itu dianggap mudah mendatangkan bencana atau penyakit. Upacara biasanya dilaksanakan pada tengah malam (sekitar pukul 12 malam) sebab membutuhkan suasana tenang dan sunyi. Ketenangan suasana membantu untuk mencapai “makrifat” (Tingkat kesadaran yang dibutuhkan untuk melakukan hal gaib) setelah menyatukan pikiran dan perasaan.

Menurut R. Firth dalam bukunya Ciri-ciri Alam Hidup Manusia, tidak heran jika upacara sampelong untuk tujuan sijundai selalu dilaksanakan di tempat-tempat yang jauh dari keramaian dan tersembunyi karena para pelaksana ritual sadar bahwa tindakan ini tidak disukai oleh masyarakat. Tempat yang biasanya dicari adalah di pinggiran kampung, pondok-pondok memasak gula enau (gula dari air nira), manakiak gombie, pondok ladang di atas bukit atau tempat yang dianggap sakti lainnya. Ramuan atau kelengkapan ritual terdiri dari : potongan rambut, kuku, sisa nasi, pakaian dalam, segenggam tanah bekas tempat yang diinjak oleh orang yang akan “dikerjai”. Kekuatan utama dalam pelaksanaan sijundai terletak pada mantra dan pencapaian makrifat dukun tersebut.

Upacara ritual sijundai dilakukan beberapa tahap, yang pertama adalah melekatkan potongan kuku, rambut, serta sisa nasi korban pada ujung sampelong, sebagian di gasiang tangkurak, lalu sampelong, gasiang tangkurak, serta pakaian atau foto korban diasapi dengan kemenyan. Selanjutnya tanah bekas injakan korban ditaburkan di tempat pembakaran kemenyan. Tahap kedua ialah sampelong ditiupkan kemudian diikuti dengan orang memaikan gasiang, selanjutnya lagu Sampelong dilantunkan sambil memanggil nama atau gelar semasa hidup dari pemilik tengkorak tersebut. Sebab roh pemilik tengkorak harus terlebih dahulu dipanggil dalam ritual ini agar dapat disuruh untuk membantu pelaksanan sijundai. Setelah panggilan gasiang dilakukan, dimulailah nyanyian berupa mantera-mantera yang diiringi dengan melodi sampelong dan bunyi gasiang.

Penggunaan sampelong sebagai media hiburan muncul beberapa puluh tahun setelah praktik sijundai sudah jarang dilakukan. Penyajian sampelong mulai berpindah fungsinya menjadi suatu seni pertunjukan yang menarik dan semakin sering digunakan untuk memeriahkan acara-acara atau perhelatan serta cenderung berorientasi pada presentasi estetika. Sampelong digunakan oleh masyarakatnya untuk memeriahkan acara batagak penghulu, batagak rumah gadang. Sampelong dalam penyelenggaraan yang bersifat keramaian tidak lagi terikat dengan konteks sijundai. 

Hingga pada akhirnya sampelong berkembang dalam kerangka seni pertunjukan dan hiburan dalam makna yang sesungguhnya.

Post a Comment

0 Comments


SELAMAT DATANG DI SEMOGA ANDA PUAS