Ticker

6/recent/ticker-posts

Dampak Buruak Manikah Sasuku dalam Adat Minangkabau

 


Oleh : Aria Yoga Putra

Jurusan : Sastra Daerah Minangkabau


Perkawinan dalam adat minangkabau adalah pembentukan suatu keluarga yang dilakukan dengan suatu ikatan pribadi antara seorang wanita dan pria dengan restu dan persetujuan sanak famili1. Pernikahan dalam masyarakat adat Minangkabau sangat identik dengan adanya upacara-upacara adat yang sangat kental didalamnya, juga memiliki banyak hal unik dan beberapa peraturan yang harus ditaati, bahkan mereka memiliki persyaratan-persyaratan sebelum melangsungkan pernikahan, mengapa demikian, mengingat karena adat minangkabau menganut sistem aturan matrilineal (garis keturunan melalui ibu) dalam menaungi daerah adat mereka.

         Dalam adat Minangkabau melarang adanya eksogami sesuku atau sekampung, yang artinya bahwa orang yang sesuku dalam suatu nagari tidak boleh menikah demikian pula orang yang sekampung tidak boleh menikah dengan orang yang sekampung2. Karena pernikahan itu mereka sebut sebagai pernikahan yang masih dalam setali darah atau saparuik (seperut). Dilihat dari asal pemerintahanya, adat minangkabau memiliki 4 buah suku asal, yaitu Koto, Piliang, Bodi dan Chaniago. Sepanjang perkembangan masa karena manusia juga berkembang, suku-suku tadi bercabang hinga sekitar lebih dari 40 suku3. Suku itu berasal dari yang memerintahnya yaitu suku Koto Piliang dipimpin oleh Datuk Katumanggungan dan suku Bodi Chaniago di cetuskan oleh Datuk Parpatih Nan Sabatang.

        Dalam adat Minangkabau, pernikahan sesuku itu sangat dilarang, karena dapat memecah keturunan mereka, tetapi adat yang dimaksud disini jika mereka berada di suku yang sama dengan Datuk ( Kepala Suku ) yang sama. Dalam sistem

matrilineal, biasanya jika ada yang menikah sesuku maka para Mamak (Paman)

dan datuk akan menasehati untuk membatalkan pernikahan tersebut. Selain itu,

pernikahan sesuku sangat erat dengan aturan-aturan yang lainya, seperti halnya

akan terjadi masalah dalam pembagian harta pusaka tinggi (harta turun temurun

dari nenek moyang) jika ada yang menikah Sesuku, dan adat minangkabau ini

mencoba untuk mencari kemaslahatan umum, karena jika seseorang menikah

dengan orang yang masih dekat tali darahnya akan menjadi pergunjingan banyak

Warga di sekitarnya, karena ini merupakan suatu Aib besar bagi keluarga. Jika

melanggar peraturan ini maka konsekuensinya harus di usir dari kampungnya dan

keluar dari suku itu serta tidak diikutkan dalam kegiatan adat. Pernikahan ini

disebut sebagai sistem pernikahan eksogami (dimana seseorang harus menikah

dengan orang yang berada diluar sukunya). Banyak daerah adat yang masing-masing juga memiliki ke khas-an terhadap proses pernikahan dengan tanpa meninggalkan ajaran islam.

Derasnya era globalisasi telah merontokkan nilai-nilai adat budaya remaja Minangkabau. Khususnya fenomena kehidupan remaja (laki-laki dan perempuan) yang sekarang telah terjebak dalam kehidupan bebas tanpa batas, antara pergaulanbujang jo gadihsecara adat Minangkabau. Pada akhirnya mereka melanggarpantang jo larangan adaik(hukum adat).

Kondisinya sangat parah. Remaja Minang melakukan pergaulan bebas di atas ambang toleransi. Mereka tidak tahu lagi dengan prinsip Minangsawah nan bapamatang. Mereka tidak tahu dengan kondisitapi awuidengantapi lawui. Sehingga, banyaknya catatan penyimpangan yang terjadi akibat pergaulan bebas tersebut, seperti anak gadis yang hamil di luar nikah, pemerkosaan, seks bebas, narkoba dan lainnya.

Pergaulan bebas yang terjadi di kalangan anak remaja Minangkabau tersebut berakibat maraknya terjadi pergaulan dan kawin satu suku (sasuku). Kawin sasuku yang dimaksud di sini adalah suatu hubungan pergaulan dan perkawinan/pernikahan yang dilakukan antara laki-laki dengan perempuan Minangkabau yang masih hubungan satu suku (satu marga). Misal, si bujang Amir nikah dengan si Upiak Marin yang sama-sama bersuku Guci satu penghulu maupun beda penghulu. Atau secara akademis, menurut Prof. Damsar, jika orang dilarang kawin sasuku disebut dengan larangan eksogami marga. Sedangkan di Minangkabau garis keturunan berdasarkan garis keturunan ibu, maka disebut larangan eksogami matrilokal. Sehingga nikah sasuku bukan kontek perkawinan halal dan haram, tapi perkawinan yang dibangun atas dasarraso jo paresodan sumpah/kesepakatan dalam aturan baku para nenek moyang. Dalam hukumwarih nan bajawekyang dijalankan dan dituahi oleh penghulu/ninik mamak sekarang.

Larangan pergaulan dan perkawinan sasuku tersebut bagi masyarakat Minangkabau akhirnya wajib. Karena, masyarakat Minangkabau memandang bahwa hubungan sasuku merupakan hubungan satu keluarga, hubungan dekat. Sehingga, hubungan pergaulan dan pernikahan yang masih dalam kategori sasuku dianggap terdapat pelanggaran adat. Sehingga, pergaulan dan perwakinan sasuku menjadi penting disikapi oleh para penghulu/ninik mamak, ketika ada pelangaran yang dilakukan oleh sanak kamanakan, maka sanksi adat akan dijalankan secara tegas. Dari masing-masing suku tersebut biasanya di pimpin oleh seorang penghulu yang dikenal dengan istilah penghulu pucuk. Pada zaman dahulu para penghulu pucuk tersebut berkumpul di suatu tempat, dan bersumpah bersama dengan saksi Al-quran bahwa sekaum atau sepesukuan ialah bersaudara. Maka dari itu jika sekaum atau sepesukaan dilarang untuk menikah dan sumpah itu akan berlaku untuk seluruh keturunannya. Jika ada yang melanggar maka akan diberikan hukuman yang sudah detetapkan.

Yang melanggar kawin sasuku ini mengatas namakan cinta dan jodohnya. Tetapi penghulu terdahulu telah bersumpah mengatas namakan Al-qur'an. Maka bagi siapa yang melanggar sumpahnya dalam agama islam akan datang murka Allah swt kepadanya, dan ia akan mendapatkan mudoratnya dan kehilangan hak secara adat.

Pada zaman sekarang sudah banyak yang melanggar sumpah penghulu terdahulu. Padahal iya tau kalau ada sangsi yang berat atas apa yang mereka lakukan Seperti;

* hidupnya akan memiliki banyak masalah,

* anak yang dilahirkan akan cacat,

* hidupnya akan melarat,

* disisihkan dikampungnya,

* merusak nama baik kaumnya,

* tidak akan tentram keluarganya,

* disaat dia meninggal tidak ada pecah adat,

* tidak ada bendera hitam,

* menyemblih seekor sapi putih.





Mempersempit Pergaulan

Orang yang sesuku adalah orang-orang yang sedarah, mempunyai garis keturunan yang sama yang telah ditetapakan oleh para tokoh dan ulama Minangkabau yang terkenal dengan kejeniusannya. “Ibaraiknyo cando surang se mah Laki-laki nan ‘Iduik’ atau cando surang se mah padusi nan kambang”.

Menciptakan Keturunan yang Tidak Berkualitas

Ilmu kedokteran mengatakan keturunan yang berkualitas apabila si keturunan dihasilkan dari orang tua yang tidak mempunyai hubungan darah sama sekali. Adapun keturunan yang terlahir akibat hubungan darah yang sama akan mengalami kecacatan fisik dan keterbelakangan mental (akibat genetika).

Mengganggu Psikologis Anak

Psikologis anak akan terganggu akibat perlakuan rasis dan dikucilkan teman-teman

sebayanya bahkan orang sekampung. Hal ini mengingat tidak dianggapnya orang tua di dalam kaum kerabat dan masyarakat.

Kehilangan Hak Secara Adat

Pasangan yang menikah sesuku akan dikucilkan oleh sukunya, tidak dibenarkan duduk di dalam sukunya dan juga tidak diterima oleh suku-suku lain di wilayah atau luhak (daerah). Bahkan, bekas tempat duduk mereka akan dicuci oleh masyarakat, ini menggambarkan betapa buruknya mereka di mata masyarakat. Lelaki yang melakukan kesalahan hilang hak memegang jawatan ( menjunjung sako) yang terdapat dalam sistem Adat Perpatih. Sedangkan perempuan akan kehilangan hak atas segala harta pusaka suku. Pasangan terlibat “diperbilangkan” sebagai, Laksana buah beluluk, Tercampak ke laut tidak dimakan ikan, Tercampak ke darat tidak dimakan ayam.

Membawa Kerugian Materi

Sebagai Pelaku kesalahan adat, pernikahan sesuku perlu melakukan syarat-syarat yang ditetapkan dalam majelis yang diawasi oleh Datuk Lembaga (Ketua Suku) suku berkenaan menerimanya dan bergabung ke dalam ikatan keluarga dan suku. Adapun pasangan ini harus menyediakan 50 gantang beras dan mengadakan seekor kerbau atau lembu untuk majelis kenduri.  Menjemput Ketua-Ketua Adat dengan penuh istiadat ke majelis kenduri. Mengakui kesalahan dan meminta maaf kepada orang ramai, pelaku kesalahan adat ‘menyembah’ semua anggota suku yang hadir untuk meminta maaf.

Post a Comment

0 Comments


SELAMAT DATANG DI SEMOGA ANDA PUAS