Ticker

6/recent/ticker-posts

Keramahan Minang dalam Jamuan: Etika, Kehormatan, dan Makna Budaya eksis di Era Dunia Digital

  



By Prof Abd Halim Al Banjary


Dalam tradisi Minangkabau, tamu bukan sekadar orang yang berkunjung, melainkan “rahmat yang turun dari langit.” Ungkapan ini bukan hanya metafora puitis, tetapi mencerminkan nilai yang sangat dijunjung tinggi: penghormatan kepada tamu sebagai bagian dari kehormatan tuan rumah. Salah satu bentuk nyata dari nilai ini tampak jelas dalam adat menjamu makan, di mana keramahan Minang tampil bukan hanya dalam suguhan yang melimpah, tetapi juga dalam etika dan kelembutan perilaku yang menyertainya.


Salah satu kebiasaan khas yang sering menimbulkan rasa takjub—terutama bagi tamu dari luar—adalah pantangan bagi tuan rumah untuk mencuci tangan sebelum tamu selesai makan. Dalam budaya Minang, tindakan ini bukan soal kebersihan semata, tetapi simbol penghargaan. Tuan rumah akan tetap duduk atau menunda membersihkan tangannya hingga semua tamu selesai makan, sebagai wujud kesetiaan menjamu dan bentuk etis dari “tidak mendahului tamu.” Bila tuan rumah mencuci tangan terlebih dahulu, itu bisa ditafsirkan bahwa ia sudah selesai menjamu, bahkan bisa dimaknai sebagai ajakan halus agar tamu pun segera menyudahi makannya. Dalam kerangka sopan santun Minang, hal ini dianggap kurang elok dan bisa mencederai suasana silaturahmi.


Jamuan makan dalam adat Minang juga bukan sekadar pengenyang perut, melainkan sarana menyatukan hati. Lauk-pauk khas seperti rendang, dendeng batokok, atau gulai tunjang disusun dengan penuh niat dan ketulusan, disajikan dalam semangat “makan bajamba” atau makan bersama sebagai lambang egalitarianisme. Dalam suasana ini, tak ada perbedaan kasta sosial; yang ada hanya semangat kekeluargaan. Bahkan dalam tradisi kenduri, orang Minang sering menyiapkan hidangan terbaiknya untuk para tamu, kadang hingga rela berutang demi menjaga marwah sebagai tuan rumah yang baik.


Lebih dari sekadar etiket, nilai-nilai ini mengandung filosofi sosial yang dalam: “Tamu datang dijunjung, pulang diberi berkah.” Sikap tidak mencuci tangan dulu sebelum tamu selesai makan adalah simbol bahwa tuan rumah setia mendampingi tamunya hingga akhir. Inilah bentuk konkret dari pepatah Minang “hidup saling menghormati, mati saling mendoakan.”


Di tengah modernisasi yang kadang mengikis nilai-nilai luhur, tradisi seperti ini patut dijaga dan dikenalkan kembali. Keramahan orang Minang bukanlah basa-basi belaka, melainkan warisan budaya yang menyatukan rasa, hormat, dan hati. Dalam setiap suapan yang disantap bersama, terkandung makna cinta akan sesama dan penghormatan pada nilai-nilai kemanusiaan.

Padang, 17 Juni 2025

Post a Comment

0 Comments


SELAMAT DATANG DI SEMOGA ANDA PUAS