Ticker

6/recent/ticker-posts

Efisiensi Anggaran: Mampukah Menjadi Pedang Pemberantas Korupsi?

 

Oleh : Arief fajar Rachmady mahasiswa Akuntansi Universitas Andalas Padang 



Isu korupsi dalam pemerintahan tetap menjadi salah satu tantangan paling berat yang dihadapi bangsa Indonesia. Memasuki era pemerintahan baru, berbagai kebijakan yang berfokus pada efisiensi anggaran dan perampingan birokrasi digulirkan oleh Presiden. Langkah ini dipandang sebagai upaya untuk menghemat keuangan negara sekaligus menutup celah-celah korupsi. Namun, pertanyaan krusial yang muncul adalah: sejauh mana efektivitas kebijakan efisiensi ini dalam memberantas korupsi yang telah mengakar, terutama jika ditinjau dari rapuhnya sistem akuntansi pemerintahan?


Akuntansi Pemerintahan: Benteng Pertahanan yang Sering Dijebol


Pada dasarnya, akuntansi pemerintahan didesain sebagai benteng pertahanan utama terhadap penyelewengan dana negara. Melalui Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP) dan Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP), setiap rupiah uang rakyat seharusnya dapat dilacak, dipertanggungjawabkan, dan diaudit. Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) yang setiap tahun diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) adalah wujud dari akuntabilitas tersebut.


Namun, realitas di lapangan menunjukkan gambaran yang berbeda. Laporan hasil pemeriksaan BPK dan berbagai kasus yang ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) secara konsisten mengungkap modus korupsi yang justru bermain di dalam sistem. Beberapa modus yang umum terjadi antara lain:


1.  Penggelembungan Anggaran (Mark-up): Anggaran untuk proyek pengadaan barang dan jasa dinaikkan secara tidak wajar, di mana selisihnya dibagi-bagi oleh oknum pejabat dan pihak ketiga.

2.  Proyek Fiktif: Proyek yang tercatat dalam laporan pertanggungjawaban ternyata tidak pernah ada di lapangan. Dokumen akuntansi  dimanipulasi seolah-olah proyek telah dilaksanakan dan dibayar lunas.

3.  Perjalanan Dinas Fiktif: Salah satu modus korupsi paling umum di berbagai instansi, di mana biaya perjalanan dinas dicairkan meskipun kegiatan tersebut tidak pernah dilakukan.


Kasus-kasus ini menunjukkan bahwa secanggih apa pun sistem akuntansi yang ada, ia dapat dimanipulasi jika integritas para pelaksananya lemah dan sistem pengendalian internalnya tidak berjalan efektif. Di sinilah letak tantangan sesungguhnya.


Kebijakan Efisiensi Presiden Memangkas Anggaran, Apakah Memangkas Korupsi?


Menjawab tantangan tersebut, pemerintahan saat ini telah mengeluarkan serangkaian instruksi yang berfokus pada efisiensi. Salah satu kebijakan yang paling menonjol adalah pemangkasan anggaran untuk pos-pos yang dianggap tidak esensial, seperti rapat di luar kantor, perjalanan dinas yang tidak mendesak, dan belanja barang operasional yang boros. Tujuannya jelas: mengalihkan dana untuk program yang lebih prioritas dan mengurangi kesempatan penyelewengan.


Selain itu, percepatan digitalisasi layanan publik melalui integrasi sistem dan pengembangan *Government Super App* juga menjadi agenda utama. Logikanya, digitalisasi dapat memotong alur birokrasi yang panjang dan mengurangi interaksi tatap muka antara masyarakat dengan aparat, yang seringkali menjadi celah terjadinya suap dan pungutan liar (pungli).


Analisis: Efisiensi Efektif Melawan Korupsi, Namun Bersyarat


Apakah langkah-langkah efisiensi ini dapat secara signifikan menekan angka korupsi? Jawabannya adalah "ya, tetapi dengan syarat dan catatan penting."


Sisi Positif (Efektivitas):

* Menutup Celah Korupsi Skala Kecil: Pemangkasan anggaran perjalanan dinas dan rapat secara langsung membatasi ruang gerak untuk modus korupsi seperti perjalanan dinas fiktif atau penggelembungan biaya konsumsi rapat. Ini efektif untuk menekan korupsi skala kecil yang bersifat oportunistik dan telah menjadi "kebiasaan".

* Meningkatkan Transparansi Digital: Digitalisasi layanan perizinan dan bantuan sosial menciptakan jejak digital (*digital footprint*) yang sulit dihapus. Setiap alur proses tercatat oleh sistem, sehingga jika terjadi penyimpangan, penelusurannya menjadi lebih mudah. Ini secara langsung mengurangi praktik pungli.


Sisi Negatif (Keterbatasan):

* Korupsi Beradaptasi:Para koruptor terbukti sangat adaptif. Ketika satu celah ditutup, mereka akan mencari celah lain. Pengetatan pada anggaran operasional dapat membuat mereka beralih fokus ke area yang lebih "basah" dan sulit diawasi, seperti belanja modal untuk proyek infrastruktur besar di mana potensi *mark-up* jauh lebih masif.

* Digitalisasi Bukan Obat Mujarab: Tanpa pengawasan dan sistem keamanan yang kuat, digitalisasi itu sendiri dapat menjadi arena baru untuk korupsi. Kasus pengaturan pemenang dalam sistem lelang elektronik (LPSE) atau peretasan data untuk memanipulasi penerima bantuan sosial adalah contoh nyata bahwa korupsi bisa bertransformasi ke ranah digital.

* Tidak Menyentuh Akar Masalah:Efisiensi anggaran tidak secara langsung mengatasi akar masalah korupsi, yaitu rendahnya integritas, lemahnya penegakan hukum, dan adanya intervensi politik. Selama mentalitas korup masih ada dan hukuman bagi koruptor tidak memberikan efek jera, kebijakan efisiensi hanya akan menjadi solusi permukaan.


Kesimpulan


Kebijakan efisiensi yang digalakkan oleh Presiden adalah langkah positif dan perlu diapresiasi. Kebijakan ini terbukti mampu menekan jenis-jenis korupsi tertentu yang bersifat rutin dan berskala kecil. Namun, menganggapnya sebagai senjata pamungkas pemberantasan korupsi adalah sebuah kekeliruan.


Efektivitas pemberantasan korupsi hanya akan tercapai jika kebijakan efisiensi ini diiringi dengan tiga pilar penguatan lainnya:

1.  Penguatan Sistem Akuntansi dan Pengendalian Internal (SPIP): Memastikan sistem tidak hanya canggih, tetapi juga dijalankan dengan benar dan diawasi secara ketat.

2.  Penegakan Hukum Tanpa Pandang Bulu: Memberikan hukuman maksimal yang menjerakan bagi pelaku korupsi di semua tingkatan.

3.  Pembangunan Integritas Aparatur Sipil Negara (ASN): Membangun budaya anti-korupsi dari dalam birokrasi itu sendiri.


Tanpa ketiga pilar tersebut, efisiensi hanya akan memangkas ranting-ranting kecil, sementara akar pohon korupsi yang besar tetap kokoh dan siap menumbuhkan ranting baru di tempat lain.


Sumber Referensi:

1.  Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI: Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) yang dipublikasikan secara berkala di situs resmi bpk.go.id

2.  Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) RI: Kajian dan survei yang dirilis KPK, serta berita penindakan kasus di situs kpk.go.id

3.  Transparency International Indonesia (TII): Laporan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) atau *Corruption Perception Index* (CPI) tahunan yang dapat diakses melalui ti.or.id 

4.  Kementerian Keuangan RI & Kementerian PANRB: Peraturan Menteri Keuangan (PMK) tentang Standar Biaya Masukan dan rilis pers mengenai kebijakan efisiensi anggaran serta reformasi birokrasi yang dapat diakses melalui kemenkeu.go.id dan menpan.go.id.

5.  Indonesia Corruption Watch (ICW):  antikorupsi.org

Post a Comment

0 Comments


SELAMAT DATANG DI SEMOGA ANDA PUAS