Ticker

6/recent/ticker-posts

RUU TNI dan Ancaman Terhadap Hak Asasi Manusia: Menimbang Kembali peran Militer dalam Ranah Sipil

oleh; Davva Rahmat Hafisha mahasiswa Unand jurusan Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. 


 Problematika Hukum yang terjadi di Indonesia RUU TNI dan Ancaman terhadap Hak Asasi Manusia: Menimbang Kembali peran Militer dalam Ranah Sipil

Di Tengan dinamika demokrasi yang sedang berproses, munculnya Rancangan Perubahan atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) menuai sorotan tajam dari berbagai kalangan. RUU TNI ini telah disahkan 20 Maret 2025 di Gedung DPR RI, Jakarta. Kemunculan UU baru ini adalah untuk memperkuat kebijakan pengembangan industri pertahanan dalam negeri serta memperjelas Batasan dan mekanisme terkait modernisasi ALUTSISTA (Alat Utama Sistim Senjata). Namun, dalam UU ini, salah satu isu krusial yang mengemuka adalah potensi pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang dapat terjadi bila RUU ini disahkan tanpa koreksi substansial. Ketentuan dalam RUU tersebut tidak hanya menyentuh aspek kelembagaan dan tata kelola pertahanan, tetapi juga menyimpan risiko besar terhadap jaminan dan perlindungan HAM di Indonesia.

Salah satu pasal yang kontroversi adalah rencana perluasan peran TNI aktif dalam mengisi jabatan-jabatan sipil di luar kementrian pertahanan dan institusi pertahanan negara. Jika diizinkan secara hukum, Langkah ini akan membuka kembali ruang bagi militer untuk terlibat aktif dalam urusan sipil yang semestinya berada dalam kendali kekuasaan sipil. Dalam perspektif hak asasi manusia, hal ini merupakan ancaman terhadap prinsip supremasi sipil, karena membuka peluang terjadinya dominasi militer dalam ruang public yang demokratis.

Lebih dari itu, pengaturan mengenai pelibatan TNI dalam menghadapi “ancaman non-militer” secara langsung tanpa melalui keputusan politik negara atau otoritas sipil, mengundang kekhawatiran akan terjadinya pelanggaran HAM secara struktural. Frasa “ancaman non-militer” sangat luas dan multitafsir, yang berpotensi digunakan sebagai dalih pembenaran pelibatan aparat militer dalam penanganan aksi ujuk rasa, konflik agrarian, atau Lembaga sipil. Ketika militer dilibatkan dalam konteks yang tidak jelas batasannya, maka risiko penggunaan kekerasan yang berlebihan atau bahkan kekerasan negara (state violence) sangat besar

 Mahasiswa pun bersuara. BEM dari berbagai kampus besar menyatakan bahwa keterlibatan TNI dalam urusan sipil akan mematikan ruang kritis, termasuk kebebasan berekspresi dan berorganisasi. Mereka menilai proses pembahasan RUU ini juga tidak melibatkan publik secara memadai, bahkan Sebagian dilakukan secara tertutup di hotal mewah. Ini bukan hanya soal prosedur, tapi soal etika dalam membentuk hukum.

Dalam sejarah politik Indonesia, keterlibatan militer dalam urusan sipil bukanlah hal baru. Masa orde baru menjadi saksi bagaimana militer memainkan peran dominan dalam segala lini kehidupan masyarakat. Berbagai pelanggaran HAM berat terjadi di era tersebut, dari penculikan aktivis, pembungkaman kebebasan berekpresi, hingga kekerasan sistematis terhadap kelompok sipil yang dianggap melawan negara. Reformasi 1998 kemudian menjadi tonggak penting yang mendorong dilakukannya reformasi sektor keamanan dengan prinsip utama: militer harus professional dan berada dibawah kendali sipil. RUU TNI yang baru, jika tidak dikaji secara hati-hati, justru mengancam untuk membawa Indonesia kembali ke masa-masa gelap tersebut.

Selain itu, dari sisi akuntabilitas hukum, militer Indonesia hingga kini masih memiliki yurisdiksi sendiri dalam sistem peradilan militer. Artinya bila terjadi pelanggaran HAM oleh prajurit aktif, maka proses hukumnya tidak dilakukan di peradilan umum, melainkan di dalam institusi militer itu sendiri. Kondisi ini memperlemah posisi korban dan memperbesar peluang impunitas. Padahal, dalam konteks penegakan HAM, akuntabilitas dan transparansi adalah prinsip mutlak yang tidak boleh dikompromikan.

Secara internasional, Indonesia telah melatifikasi berbagai intrumen HAM, temasuk International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) yang menjamin kebebasan sipil, hak untuk hidup, bebas dari penyiksaan dan hak atas keadilan. Jika RUU TNI membuka peluang bagi pelibatan militer dalam urusan sipil tanpa mekanisme pengawasan yang kuat, maka Indonesia berisiko melanggar kewajiban internasionalnya. RUU ini bertentangan dengan prinsip-prinsip universal HAM yang menempatkan perlindungan warga sipil diatas kepentingan kekuasaan negara.

Para akademisi juga menyampaikan kekhawatiran serupa. Pakar hukum tata negara seperti Prof. Bivitri Susanti, mengkritik proses pembahasan RUU TNI yang dianggap terburu-buru dan tidak transparan. Ia menyatakan bahwa tidak ada kondisi mendesak yang memerlukan percepatan revisi ini, dan khawatir bahwa RUU tersebut membuka peluang kembali divisi TNI dalam pemerintahan sipil. UUD 1945 menegaskan bahwa TNI adalah alat negara di bidang pertahanan, bukan alat kekuasaan yang bisa dipakai dalam politik pemerintahan.

 Untuk itu, sangat penting agar RUU TNI dikaji ulang secara kritis dan partisipatif.

Masyarakat sipil, akademisi, komnas HAM, dan Lembaga pemantau independent harus

dilibatkan secara aktif dalam proses pembahasannya. Pasal-pasal yang berpotensi mengancam

kebebasan sipil, meminggirkan prinsip demokrasi, dan membuka ruang impunitas harus direvisi.

Negara demokratis tidak boleh tunduk pada pendekatan kekuasaan berbasis kekuatan militer,

tetapi harus mengedepankan hukum dan hak asasi manusia sebagai dasar utama kebijakan publik.

Dalam konteks negara hukum, kekuatan sejati bukan terletak pada dominasi kekuatan bersenjata, melainkan pada kemampuan negara dalam melindungi setiap warganya secara adil,

setara, dan manusiawi. RUU TNI semestinya menjadi penguat profesionalisme militer, bukan

jalan masuk untuk kembali ke bayang-bayang militeristik masa lalu yang penuh luka. Hak asasi

manusia adalah fondasi utama dari demokrasi yang sehat, dan tak satu pun pasal undang-undang

boleh menjadi ancaman bagi prinsip tersebut.

 Revisi UU TNI 2025 membuka Kembali perdebatan serius tentang masa depan demokrasi Indonesia. Alih-alih merupakan profesionalisme militer, rivisi ini justru berpotensi menghidupkan kembali praktik dwifungsi yang telah ditinggalkan pasca reformasi. Keterlibatan TNI dalam ranah sipil tanpa kontrol yang jelas bukan hanya mengaburkan batas sipil-militer, tetapi juga mengancam prinsip supremasi sipil dan perlindungan HAM. Oleh karena itu, perlu ada evaluasi menyeluh dan desakan dari masyarakat agar pengutan peran militr tidak mengorbankan nilai-nila demokrasi yang telah yang telah diperjuangkan dengan susah payah. Demokrasi hanya akan sehat jika hukum berpihak pada warga, bukan pada kekuasaan.

Post a Comment

0 Comments


SELAMAT DATANG DI SEMOGA ANDA PUAS