Teori keadilan John Rawls mengemukakan adanya kebebasan yang setara dan adanya prinsip kesetaraan untuk mencapai masyarakat yang adil.
Menurut Aristoteles, keadilan bisa dicapai melalui hukum dengan kata lain, hukum adalah alat untuk mencapai keadilan.
Namun nyatanya masih banyak ketidakadilan dan kesetaraan yang dirasakan oleh masyarakat, terutama bagi kaum perempuan perihal permasalahan kesetaraan gender yang semakin parah di Indonesia akibat adanya budaya patriarki.
Kekerasan Dalam Rumah Tangga melanggar Hak Asasi Manusia
Mirisnya dari sekian banyaknya jenis kekerasan yang ada, persentase tertinggi adalah kasus kekerasan yang terjadi dalam lingkup rumah tangga dengan korbannya kebanyakan adalah perempuan dan anak.
Adanya tindakan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) ini telah melanggar hak asasi manusia sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 28B ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 yang menyebutkan bahwa “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”. Serta melanggar ketentuan dalam Pasal 28G ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 yang menyebutkan bahwa “Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain”.
Tingginya Kasus KDRT di Indonesia
Dilansir dari data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Jumlah kasus KDRT di Indonesia dari tahun ke tahun terus mengalami kenaikan. Pada tahun 2020, kasus KDRT berjumlah 21.647 dan menurut data terakhir di penghujung tahun 2024 jumlahnya mencapai 28.269 kasus dengan jumlah korban kebanyakan adalah perempuan sebanyak 24.298 orang dan berbanding terbalik dengan jumlah pelaku yang sebagian besar adalah laki-laki dengan jumlah 17.585 orang di tahun 2024.
Tidak hanya itu, penegakan hukum dalam kasus KDRT juga perlu mendapat perhatian yang khusus karena dari puluhan ribu kasus yang dilaporkan hanya sekitar lima ribu kasus yang sampai ke tahap penegakan hukum dan sisa lainnya hanya mengendap dalam arsip lembaga terkait tanpa pernah dituntaskan.
Regulasi Penghapusan KDRT di Indonesia
Indonesia merupakan negara hukum sehingga tepat rasanya apabila seluruh aspek di dalam kehidupan diatur dan diikat menggunakan suatu peraturan perundang-undangan, termasuk di dalamnya adalah mengenai kekerasan dalam rumah tangga. Payung hukum yang sejauh ini dimiliki oleh Indonesia adalah Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Adanya payung hukum tersebut nyatanya belum mampu memberikan perlindungan bagi korban karena terbukti dari tahun ke tahun jumlah kasus kekerasan dalam lingkup rumah tangga masih terus bertambah.
Jenis KDRT yang dikenal dalam regulasi adalah kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual, dan penelantaran rumah tangga.
Delik Aduan dalam KDRT
Delik aduan adalah tindak pidana yang hanya akan diproses jika terdapat aduan dari korban tindak pidana tersebut. Delik aduan di dalam UU Penghapusan KDRT diatur dalam tiga pasal yaitu Pasal 51, Pasal 52, dan Pasal 53. Delik aduan akan berlaku pada kekerasan fisik dan psikis dengan syarat khusus yaitu “Perbuatan yang dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari” dan kekerasan seksual berupa pemaksanaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga.
Adanya delik aduan yang demikian hanya akan memperburuk kedudukan korban karena bisa dikatakan telah terjadi normalisasi terhadap KDRT. Mudahnya, ketika KDRT yang dilakukan tidak menimbulkan luka berat atau matinya korban dan tidak mengganggu aktivitas pencaharian maka hanya akan ditindaklanjuti atas pengaduan yang diadukan oleh korban.
Padahal banyak sekali kasus kekerasan yang memang tidak sampai menimbulkan luka berat seperti cacat atau kelumpuhan namun luka fisik kecil dan psikis juga sangat krusial bagi korban karena umumnya KDRT berlangsung keberlanjutan dan korban menjadi pihak lemah yang tidak berani melapor.
Banyak alasan yang menyebabkan korban enggan untuk melapor.
Salah satunya adalah rasa malu dan takut untuk melapor, seperti kasus yang terjadi di Kota Baubau pada bulan Januari silam. Pihak korban tidak mendapatkan dukungan dari lingkungan di sekitarnya untuk melapor, ditambah regulasi yang menjadikan KDRT ringan sebagai delik aduan semakin mempersulit korban untuk berani melaporkan bahwa dirinya merupakan korban KDRT.
Padahal dengan jelas bahwa korban KDRT berhak mendapatkan perlindungan hukum.
Solusi Pembaharuan Hukum
Pengaturan adanya delik aduan di dalam UU Penghapusan KDRT layak untuk dijadikan alasan sebagai pembaharuan regulasi yang ada saat ini, apalagi usia UU Penghapusan KDRT sudah lebih dari 20 tahun dan keberlakuannya menjadi tidak relevan di masa sekarang saat semakin maraknya kejahatan dalam ruang digital dalam lingkup rumah tangga.
Terlihat dalam UU Penghapusan KDRT, penyelesaian menggunakan jalur pengadilan menjadi jalur terakhir dan semua tindakannya ditujukan untuk mengembalikan lagi keutuhan rumah tangga. Padahal tidak semua kondisi kerukunan rumah tangga dapat kembali seperti semula, bisa saja terdapat trauma yang akan semakin parah jika dipaksa hidup bersama.
Pembaharuan hukum diharapkan dapat menegakkan hukum dalam KDRT dan diharapkan adanya peningkatan kerjasama antara pemerintah dengan aparat penegak hukum untuk segera melakukan perubahan terhadap UU Penghapusan KDRT.
0 Comments