Nama : Indah Irma Suryani
Pengusiran paksa warga Air Bangis, menyusul protes mereka terhadap Proyek Strategis Nasional (PSN), menyoroti tren yang meresahkan dalam pembangunan Indonesia: kemajuan yang mengabaikan hak dan mata pencaharian masyarakat setempat. Pada Agustus 2023, terjadi pengusiran warga Air Bangis dari kantor Gubernur Sumbar setelah aksi protes mereka terkait Proyek Strategis Nasional (PSN). Insiden ini menggambarkan bagaimana pembangunan yang digadang-gadang mendatangkan kemajuan justru menyisakan penderitaan bagi masyarakat lokal. Mengapa hak-hak warga seperti nelayan Air Bangis, yang sebagian besar hidup dari laut, justru terabaikan? Pertanyaan ini menjadi sorotan penting, terutama ketika kita berbicara tentang siapa yang sebenarnya diuntungkan dari proyek infrastruktur berskala besar.
Data dari *Badan Pusat Statistik* (BPS) menunjukkan bahwa lebih dari 80% warga Air Bangis bergantung pada perikanan sebagai sumber utama mata pencaharian mereka. Pembangunan kawasan pesisir dalam PSN, yang mengutamakan infrastruktur pelabuhan dan industri, mengancam kelangsungan hidup mereka. Dalam wawancara dengan salah satu nelayan setempat, Pak Ramli, ia menyampaikan bahwa "kami sudah turun-temurun hidup dari laut, kalau ini dibangun jadi pabrik, kami mau cari makan di mana lagi?". Keluhan semacam ini seringkali tidak mendapat tempat dalam dialog resmi antara pemerintah dan masyarakat. Proses konsultasi minim atau bahkan tidak ada sama sekali, yang menimbulkan ketidakpercayaan dan konflik. Fakta ini didukung oleh hasil penelitian dari *Institute for Development of Economics and Finance* (INDEF) yang mencatat bahwa 70% proyek infrastruktur besar di Indonesia cenderung merugikan masyarakat lokal karena minimnya keterlibatan mereka dalam proses perencanaan.
Kasus di Air Bangis juga menunjukkan pentingnya peran gerakan sosial sebagai kekuatan perlawanan dari bawah. Dalam wawancara dengan juru bicara warga, Pak Yanto, ia mengungkapkan, "kami tidak melawan pembangunan, tapi kami melawan ketidakadilan yang membuat kami terusir dari tanah kami sendiri." Fakta bahwa sekitar 60 orang diusir oleh aparat keamanan memperkuat argumen bahwa protes-protes semacam ini sering kali dianggap ancaman daripada permintaan akan dialog. Menurut data Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), sepanjang 2020-2023 terdapat lebih dari 150 kasus konflik lahan terkait proyek strategis, di mana 40% di antaranya diwarnai aksi represif terhadap warga. Gerakan sosial di Indonesia, seperti yang dilakukan oleh warga Air Bangis, kerap kali difasilitasi oleh organisasi lingkungan dan hak asasi manusia seperti *Walhi* dan *LBH Padang* , yang menuntut agar proyek-proyek ini mengikuti prinsip-prinsip keadilan sosial.
Lingkungan pesisir Air Bangis memiliki peran penting dalam menjaga ekosistem laut yang kaya akan keanekaragaman hayati. Berdasarkan laporan *Kementerian Kelautan dan Perikanan*(KKP) tahun 2022, kawasan ini merupakan habitat bagi 300 jenis ikan, serta menjadi tempat penangkaran bagi beberapa spesies langka. Pembangunan yang direncanakan, yang mencakup reklamasi pantai untuk industri, berpotensi merusak ekosistem ini. Dampak jangka panjangnya tidak hanya dirasakan oleh ekosistem lokal, tapi juga oleh kelangsungan hidup sektor perikanan di wilayah Sumatera Barat. Selain itu, menurut kajian *Pusat Penelitian Lingkungan Hidup* (PPLH) Universitas Andalas, reklamasi besar-besaran di pantai Sumatera Barat telah meningkatkan risiko banjir rob hingga 15% dalam lima tahun terakhir. Jika pembangunan terus dilakukan tanpa memperhatikan dampak ekologis, maka biaya lingkungan yang harus dibayar akan jauh lebih besar daripada manfaat ekonomi jangka pendek yang dihasilkan.
Kasus Air Bangis menunjukkan bahwa pembangunan yang dikelola tanpa mendengarkan suara masyarakat dan mempertimbangkan aspek lingkungan hanya akan memperparah ketidakadilan. Pemerintah harus belajar dari insiden ini dan mulai melibatkan masyarakat lokal dalam proses perencanaan sejak awal. Pembangunan yang baik bukan hanya soal infrastruktur fisik, tetapi juga harus memperhatikan hak-hak warga dan kelestarian lingkungan. Sebagai penutup, Pak Ramli menegaskan, "kami tidak anti-pembangunan, kami hanya ingin dilibatkan dan tidak digusur dari tanah kami."
0 Comments