Ticker

6/recent/ticker-posts

Peran Serangga dalam Pengungkapan Kasus Forensik

 



Nama   : Putri Annisa

NIM    : 2010423001

Dosen  : Dr. Resti Rahayu

Mahasiswa Biologi Unand Tugas Mata Kuliah Biologi Forensik

 


Entomologi forensik adalah disiplin ilmu forensik yang menggunakan informasi mengenai serangga untuk menyimpulkan dalam penyelidikan kasus hukum yang melibatkan manusia dan hewan. Serangga yang berguna dalam konteks entomologi forensik mencakup lalat, lalat daging, dan kumbang. Entomologi forensik dapat memperkirakan saat kematian dan apakah jasad atau mayat sudah dipindahkan dari lokasi satu ke lokasi yang lain dengan mengevaluasi aktivitas serangga. Entomologi forensik melibatkan ilmu biologi, histologi antropoda, kimia, dan genetika. Identifikasi DNA pada tubuh serangga di tempat kejadian dapat digunakan untuk mendeteksi jaringan tubuh atau mayat (Gennard, 2015).

Peneliti awal dalam entomologi forensik menyelidiki penggunaan berbagai organisme, termasuk jamur, jamur lendir, krustasea, tungau, dan tanaman, selain serangga. Menurut catatan sejarah, pada abad ke-12, bangsa Cina telah memulai pengembangan teknik pemeriksaan mayat dengan menggunakan serangga, terutama lalat pembusuk (blow fly) dari famili Calliphoridae dalam ordo Diptera (Benecke, 2001). Seiring berjalannya waktu, kelompok serangga nekrofagus yang sering digunakan untuk mengidentifikasi umur mayat melibatkan ordo Diptera, Coleoptera, Hymenoptera (khususnya semut), dan beberapa spesies Lepidoptera (Jiron & Cartin, 1981). Serangga-serangga ini diakui memiliki kemampuan untuk menentukan waktu kematian mayat dengan tingkat ketepatan yang sangat baik, bahkan melebihi beberapa teknik lainnya.

Awal abad ke-20 menyaksikan meningkatnya minat terhadap pengendalian hama dan "terapi belatung", dengan para peneliti berfokus pada kasus dan nilai potensial serangga dalam menentukan waktu kematian. Penelitian ini dipublikasikan dalam berbagai bahasa, antara lain Inggris, Jerman, Prancis, Italia, Belanda, Swedia, dan Hongaria. Penelitian tersebut mencakup topik-topik seperti pengaruh suhu terhadap pergerakan serangga, sensitivitas kimia pada kaki serangga, penggunaan serangga sebagai indikator medikolegal, dan kebiasaan makan kumbang bangkai. Referensi tersebut juga mencakup berbagai topik yang berkaitan dengan studi tentang serangga, termasuk perilaku dan kebiasaan mereka dalam kaitannya dengan bangkai dan mayat. Salah satu contoh serangga yang berperan dalam ilmu forensic adalah lalat bangkai.

Sarcophaga haemorrhoidalis (Fallén), umumnya dikenal sebagai lalat daging ekor merah, merupakan anggota famili Sarcrophagidae, lalat daging. Lalat daging adalah kaliptrat yang memiliki kalipter bawah yang berkembang dengan baik dan berhubungan dengan sayap. Larva S. haemorrhoidalis menyerang bangkai yang berada pada tahap dekomposisi awal hingga lanjut, sering kali tiba pada awal lalat (famili Calliphoridae) (Byrd 1998-2011). Lalat daging ekor merah dianggap sebagai pemakan bangkai yang oportunistik dan terutama memakan kotoran manusia dan hewan. Lalat daging merupakan famili serangga penting dalam entomologi forensik, karena siklus perkembangannya pendek, lalat ini paling berguna pada tiga hingga empat minggu pertama setelah kematian.

Serangga akan berinteraksi satu sama lain atau yang disebut dengan simbiosis. Simbiosis yang terjadi dapat berupa mutualisme maupun kompetisi dalam dekomposisi jasad. Serangga akan melakukan reaksi enzimatik yang akan dilanjutkan oleh serangga berikutnya apabila sudah selesai. Serangga yang datang pada bangkai berurutan sesuai tahap dekomposisi. Kedatangan serangga ke jasad sangat berguna dalam mengidentifikasi postmortem interval (PMI).

Aktivitas serangga digunakan dalam memperkirakan waktu kematian dengan menentukan umur serangga yang ditemukan pada jenazah. Serangga yang akan memakan tubuh jenazah adalah spesies Necrophagus. Kemudian predator dan parasit akan memakan Necrophagus. Selanjutnya spesies pemakan segalanya atau omnivora akan memakan jaringan tubuh maupun serangga. (Nurwidayati, 2009).

Selain itu, Data serangga dapat digunakan untuk menentukan lokasi kejahatan. Terdapat perbedaan spesies serangga yang terlibat dengan mayat yang membusuk di habitat dan lingkungan yang berbeda. Pemeriksaan yang cermat dapat mengungkapkan variasi spesies, karena spesies yang terkait dengan satu jenis habitat yang ada pada mayat ternyata berbeda dari spesies saat mayat diangkut setelah kematian (Joseph et.al., 2011).

Selain untuk menentukan waktu kematian, serangga dapat digunakan untuk mengungkap apakah mayat mengonsumsi bahan kimia yang menyebabkan kematian dengan ilmu entomotoksikologi. Metode yang dilakukan dalam entomologi dapat berupa scanning electron microscopy, menyesuaikan siklus hidup serangga sesuai literatur, maupun dengan DNA.

 

DAFTAR PUSTAKA

Nurwidayati A. 2009. Penerapan Entomologi dalam Bidang Kedokteran Forensik. J Vektor Penyakit;3(2):55–65.

Byrd JH. 1998-2011. Entomologi forensik: serangga dalam penyelidikan hukum. http://www.forensicentomology.com/ (8 Juni 2011).

Joseph I, Mathew D, Sathyan P, Vargheese G. 2011. The use of insects in forensic investigations: An overview on the scope of forensic entomology. J Forensic Dent Sci;3(2):89.

Benecke, M., 2001. A brief history of forensic entomology. Forensic Science International 120: 2-14.

Jiron, L.F., & V.M. Cartin. 1981. Insect succession in the decomposition of a mammal in Costa Rica. Journal of the New York Entomological Society 89: 158-165.

Gennard DE. 2015. Forensic Entomology. Lincoln: WILEY.

Post a Comment

0 Comments


SELAMAT DATANG DI SEMOGA ANDA PUAS