Oleh:
Mifta Hulrahma
Mahasiswa
Biologi Universitas Andalas
(Foto
Sargassum di Pantai Nirwana Padang, Sumatera Barat)
“Sargassum merupakan rumput laut
yang selama ini masyarakat menganggapnya sebagai sampah laut, namun dibalik itu
ternyata memiliki nilai ekonomis” kata Agung, Kepala Stasiun Karantina Ikan
Pengendalian Mutu (SKIPM) KKP Kota Batam.
Sargassum merupakan salah satu
jenis rumput laut atau alga coklat yang tumbuh di permukaan laut dan mengapung
dalam jumlah banyak. Sargassum yang mengapung disepanjang pantai terlihat
seperti sampah dan tentunya penampakan tersebut mengurangi keindahan pantai.
Observasi menunjukkan bahwa Sargassum menimbulkan masalah bagi masyarakat dan
nelayan. Di laut lepas, para nelayan kerap mengeluh roda kapalnya tersumbat
Sargassum. Lebih buruknya, Sargassum yang menumpuk dapat menghalangi sinar
matahari sehingga menyebabkan terganggunya fotosintesis bagi tumbuhan
dibawahnya. “Ketika ia mati dan tenggelam ke dasar laut dalam jumlah besar, ia
dapat membekap karang dan lamun,” demikian bunyi rilis berita USF. Di pantai,
Sargassum yang busuk mengeluarkan gas hidrogen sulfida dan berbau seperti telur
busuk yang berpotensi menimbulkan kematian pada ikan serta menjadi tantangan
kesehatan bagi orang-orang di pantai yang menderita asma, misalnya”.
Setiap masalah selalu ada
solusi. Masalah tidak selamanya akan menjadi masalah. Jika dilihat dari
perspektif yang berbeda, suatu masalah dapat menjadi sebuah peluang. Dari kasus
Sargassum tersebut, nyatanya Sargassum memiliki nilai ekonomis yang tak kalah
dengan jenis rumput lain seperti Eucheuma cottoni yang menjadi bahan baku
karagienan atau Gracilaria sebagai sumber agar-agar rumput laut. Berdasarkan
riset yang dilakukan oleh para peneliti dari Badan Litbang Kelautan dan
Perikanan (BLKP), Sargassum mengandung alginat yang tinggi pada bagian
batangnya, yang mana ekstrak alginat tersebut sangat bermanfaat dalam industri
pangan maupun non pangan. Sargassum juga kaya akan unsur hara mikro dan makro
untuk mendukung pertumbuhan tanaman. Sargassum mengandung zat pemacu
pertumbuhan tanaman (ZPT) seperti auksin, sitokinin, dan giberilin. Sebagai
pupuk organik, sargassum berpotensi mengurangi ketergantungan Indonesia
terhadap pupuk kimia.
Di Batam, ekspor Sargassum telah
berhasil menembus beberapa negara di Asia. Setiap tahun permintaan ekspor dari
sejumlah negara di Asia terus meningkat. Negara-negara itu diantaranya China,
Vietnam dan Jepang. Wahyudi selaku Direktur Utama PT Kencana Bumi Sukses (KBS)
mengatakan awalnya ialah budidaya ikan kerapu, namun sejak banyaknya penyakit
ikan kerapu dan tingginya biaya operasional, ia beralih ke rumput laut yang
kebetulan saat itu permintaan akan rumput laut tinggi. Masyarakat sekitar
melihat yang dilakukan Wahyudi menguntungkan dari sisi ekonomi, serta sangat
mudah, tidak butuh modal yang besar, tidak butuh peralatan yang canggih dan
tidak butuh keahlian khusus. Sehingga mereka beralih menjadi nelayan pemanen
Sargassum. Tentunya hal ini menjadi sumber rupiah bagi mereka yang tinggal di
dekat pantai.
“Sargassum
adalah sebuah masalah, tapi bagi saya itu benar-benar sebuah tambang emas. Saya
sering pergi memanen di pantai, pagi-pagi sekali, dan menurut saya, wah, semua
ini gratis bagi saya”
Melihat potensi dan nilai ekonominya, maka Sargassum sp ini perlu dilirik dan
dieksplor lebih lanjut. Dari “sampah laut” yang mulanya menjadi masalah di
perairan dapat disulap menjadi suatu peluang bagi banyak pihak ke dalam
berbagai bidang (kesehatan, industri). Peluang usaha terutama bagi warga
sekitar pantai hingga peluang besar bagi pemerintah dalam meningkatkan nilai
ekspor non tambang ataupun untuk pengembangan industri rumput laut nasional.
Peluang-peluang tersebut guna mendukung terwujudnya SDGs No.8 yakni pekerjaan
layak dan pertumbuhan ekonomi.
0 Comments