Penulis: Nadya Putri Kristianda D.
Kejadian pria diterkam harimau di
Samarinda (18/11) lalu sempat jadi trending topic di beberapa media
sosial, khususnya di situs publikasi online. Singkat cerita, hal ini terjadi
saat pria yang diketahui bernama Suprianda sedang memberi makan salah satu
hewan peliharaan dari majikannya. Majikan Suprianda yang merupakan pemilik dari
hewan tersebut menjadi tersangka dari kasus ini. Kasus ini secara tidak
langsung membongkar semua tindakan pelanggaran terhadap hewan yang dilindungi
hingga membuat publik geger. Diketahui bahwa setelah dilakukan pemeriksaan,
majikan dari Suprianda tidak hanya memelihara satu harimau saja, namun juga ditemukan
hewan liar lainnya seperti macan dahan dan anakan harimau.
Dugaan ilegalitas ini semakin
diperkuat dengan pemeriksaan identitas harimau dan sampling DNA untuk
membuktikan bahwa spesies harimau yang dipelihara adalah harimau sumatera (Panthera
tigris sumatrae). Dengan pemeriksaan yang berbasis molekuler atau secara
genetik tentunya dapat mengungkapkan kebenaran terhadap spesies hewan yang
dipelihara secara illegal atau tanpa perizininan. Teknologi sampling DNA telah mengambil
peran yang besar terutama di bidang konservasi. Dengan pemeriksaan tersebut,
pihak yang berwewenang dapat mengetahui bahwa kasus ini juga merujuk pada
penyelundupan hewan yang dilindungi. Selain itu, dengan dasar bahwa spesies harimau
sumatera (P. tigris sumatrae) merupakan spesies harimau yang hanya ada
di Pulau Sumatera dengan ciri-ciri memiliki ukuran tubuh lebih kecil dan
tentunya bukan asli dari Pulau Kalimantan.
Teknologi telah banyak berkembang
bahkan dalam bidang molekuler. Dengan perkembangan ini, tentunya mampu menjadi tools
untuk mempermudah pekerjaan ataupun meningkatkan ketegasan dari pemerintah
terhadap suatu aturan. Hewan-hewan dilindungi mempunyai aturan khusus untuk
pemeliharaan dan penangkarannya sehingga membutuhkan perizinan resmi yang
diberikan oleh pemerintah. Daftar mengenai satwa yang dilindungi telah
dicantumkan resmi dalam Peraturan Menteri no. 106 tahun 2018. Beberapa hewan
yang dilindungi tersebut, seperti: bekantan, lutung, anoa, banteng, macan
tutul, harimau sumatera, kelinci sumatera, kukang, trenggiling, elang jawa, dan
banyak spesies burung lainnya. Untuk kasus di Samarinda, majikan atau pemilik
harimau tersebut sudah melanggar Peraturan Menteri Kehutanan Nomor:
P.19/Menhut-II/2005 tanggal 19 Juli 2005 tentang Penangkaran Tumbuhan, Satwa
Liar, dan Penangkaran.
Terdapat
banyak alasan hewan dilindungi tidak boleh dipelihara sembarangan atau terlibat
penyelundupan. Hampir seluruh hewan dilindungi merupakan hewan liar. Perlu
diketahui bahwa makna kata ‘liar’ adalah ‘tidak dipelihara dan tidak dipiara
orang’. Selain itu, hewan liar merupakan hewan yang bebas di alam sehingga
memiliki sifat agresif jika dipelihara sembarangan. Memelihara hewan-hewan
dilindungi dapat membahayakan pihak yang bersangkutan ataupun publik jika terdapat
kelalaian dalam pemeliharannya. Selain itu, manusia tidak bisa menemukan
makanan yang cocok dan spesifik seperti yang ditemukan hewan-hewan tersebut di
alam. Jika ada oknum yang menganggap bahwasanya memelihara hewan dilindungi
merupakan cara untuk menjaga dari kepunahan, maka itu adalah sebuah anggapan
yang salah. Hewan-hewan tersebut membutuhkan alam serta interaksi dengan habitatnya
untuk tetap survive di alam dan mempertahankan keturunannya.
Sebagian
besar hewan liar dikategorikan sebagai hewan dilindungi dikarenakan jumlah
populasinya di alam yang mulai sedikit sehingga dikhawatirkan jika kasus
penyelundupan hewan atau pemeliharaan hewan tanpa izin justru akan memperkecil
jumlah populasi di alam. Belum lagi, beberapa hewan dilindungi memiliki waktu
reproduksi yang lama dengan tingkat kelahiran yang rendah, serta beberapa ada
yang memiliki jarak kelahiran yang lama. Di alam, induk gajah memiliki masa
kehamilan yang berlangung paling lama jika dibandingkan dengan binatang darat
lainnya, yaitu 18-22 bulan. Gajah betina biasanya akan melahirkan hanya satu
anak gajah. Orang utan memiliki masa kehamilan 9 bulan, namun hewan ini
memiliki jarak kelahirannya yang lama, yaitu 6-9 tahun sekali. Jika perburuan
liar, eksploitasi, penangkaran dan pemeliharaan illegal masih terus dilakukan
dan tidak ditindaklanjuti, tentunya akan menjadi ancaman kepunahan bagi hewan
tersebut.
Sebagian
besar hewan-hewan dilindungi memiliki status terancam, terancam punah, ataupun
mendekati kepunahan pada situs resmi IUCN. Itu artinya jumlah hewan tersebut
sudah berkurang atau bukan jumlah semestinya yang ada di alam. Jika melihat
dari sudut pandang ekologis, hal ini tentu akan berdampak bagi semua sektor
kehidupan karena beberapa hewan dilindungi memiliki posisi atau peran dalam
ekosistem. Ada yang berperan sebagai top predator, seperti harimau sumatera
(P. tigris sumatrae). Jika populasi harimau terus berkurang, maka akan
terjadi kenaikan jumlah pada hewan yang berada di bawahnya (mangsa dari harimau
di alam). Singkatnya, diperlukan pengendalian jumlah populasi hewan di alam
agar terjadi keseimbangan. Jika keseimbangan alam terganggu, maka akan
berdampak pada kehidupan luas.
Berdasarkan paparan tersebut,
penting untuk dilakukan tindak lajut dari kasus di Samarinda agar tidak terjadi
lagi kasus pemeliharaan hewan dilindungi secara illegal. Terkait hal ini,
diperlukan lagi tindak tegas dari pemerintah, terutama pihak yang memiliki
wewenang dalam konservasi, misalnya BKSDA (Balai Konservasi Sumber Daya Alam). Dari
peristiwa ini, masyarakat dapat mengambil asumsi bahwa pasti ada kemungkinan
kasus serupa juga terjadi di beberapa wilayah di Indonesia. Selain itu,
dikhawatirkan penyelundupan juga dilakukan hingga ke luar negara yang tentunya
ini juga merugikan negara Indonesia. Oleh karena itu, diperlukan pemeriksaan
khusus dan teliti terhadap kasus pemeliharaan dan penangkapan hewan yang
dilindungi ini. Edukasi yang meluas pada masyarakat terutama ke wilayah yang
masih terpencil juga dibutuhkan agar masyarakat mengetahui alasan penting
perlindungan hewan-hewan tersebut dilakukan.
0 Comments