Ticker

6/recent/ticker-posts

Budaya Politik Di Indonesia

 


oleh : Azkiyah Putri Romadhon Mahasiswa Universitas Andalas


Budaya politik di suatu negara dapat dilihat dari bagaimana partisipasi aktif masyarakatnya untuk berkecimpung di dalam dunia politik negaranya. Budaya politik dipengaruhi oleh adat istiadat, pengetahuan masyarakat, norma masyarakat, pemahaman, dan pembelajaran, serta analisa yang dilakukan masyarakat dalam kurun waktu tertentu yang pada akhirnya membentuk suatu budaya. Budaya politik merupakan nilai-nilai, perilaku, dan kepercayaan masyarakat dalam kehidupan bernegara, penyelenggaraan administrasi negara, politik pemerintahan, dan hukum, yang diperoleh melalui sosialisasi dan mempengaruhi pola pikir suatu masyarakat. 


Terdapat 3 jenis orientasi budaya politik, yakni : 

1. Orientasi kognitif. Orientasi kognitif menganggap suatu budaya politik terdiri dari keyakinan dan pengetahuan. Contohnya simbol negara, tingkat pengetahuan warga negara terkait sistem politik, dan lain sebagainya.


2. Orientasi afektif. Orientasi ini berhubungan dengan keadaan emosional dan perasaan seorang pribadi terhadap sistem politik. Perasaan yang dimaksudkan adalah perasaan menerima, menolak, dan keterikatan seseorang dalam suatu sistem politik.


3. Orientasi evaluatif. Hal ini berkaitan dengan penilaian individu terhadap sistem politik suatu negara. Yang dimana, keputusan dan pendapat terkait sistem politik diberikan secara objektif karena dalam pertimbangannya melibatkan kombinasi antara keyakinan dan pengetahuan dengan perasaan, kriteria dengan informasi, serta standar nilai. 


Menurut Gabriel Almond dan G. Bingham Powell, budaya politik terbagi menjadi 3 tipe, yaitu : 

1. Budaya politik parokial. Masyarakat yang menganut budaya politik parokial cenderung tidak peduli (apatis) dengan kehidupan politik di negaranya. Mereka lebih memilih untuk tidak ikut andil dalam kehidupan bernegara. Selain itu, budaya ini biasanya dianut oleh masyarakat yang tinggal di tempat terpencil, yang memiliki kesulitan akses terhadap sarana untuk berkecimpung dalam dunia politik. Budaya parokial ditandai dengan kurang tertariknya warga mengenai masalah politik dan masyarakatnya cenderung menutup diri.


2. Budaya politik kaula. Budaya politik ini mengedepankan orientasi afektivitas dan melihat secara subjektif. Masyarakat yang menganut budaya politik kaula memiliki keinginan untuk berpartisipasi tetapi tidak mempermasalahkan hasil dari keputusan pemerintah, karena sadar seluruh otorisasi pemerintahan sepenuhnya berada di tangan pemerintah. 


3. Budaya politik partisipan. Budaya politik ini ditandai dengan masyarakatnya yang memiliki kesadaran tinggi untuk ikut berpartisipasi terhadap kehidupan politik negaranya. Budaya politik partisipan memandang sari orientasi evaluatif yang melibatkan pengetahuan dan perasaan. Keaktifan masyarakat dalam kegiatan politik dapat memberi dampak positif bagi perkembangan negara. 


Saat ini, budaya politik di Indonesia termasuk kategori budaya politik campuran atau mixed political culture, yaitu antara budaya politik partisipan dan budaya politik kaula-parokial. Di kota-kota besar seperti Yogyakarta, Medan, Jakarta, Bandung, Semarang, dan lainnya, masyarakat cenderung partisipan terhadap kehidupan politik. Berbeda dengan masyarakat yang tinggal di daerah marginal (pinggiran) yang masih memegang prinsip budaya kaula-parokial. Masyarakat yang tinggal di daerah marginal dinilai tidak berdaya dalam mempengaruhi pembuatan kebijakan. Budaya politik kaula-parokial terjadi karena adanya isolasi dari kebudayaan luar, pengaruh penjajahan, paternalistik, feodalisme, dan juga ikatan primordial, yang memiliki sifat sentimen kedaerahan, kesukaan, dan keagamaan. Sedangkan, yang menganut budaya politik partisipan dipengaruhi oleh tingginya tingkat pendidikan atau perekonomian.


Budaya politik di indonesia juga masih memperlihatkan sikap “bapakisme” yaitu sikap ABS atau asal bapak senang, sementara para pejabat publik masih berorientasi kepada kekuasaan daripada pengabdian kepada masyarakat. Dalam hal ini, bapakisme mempraktikkan hubungan pemimpin dan bawahan seperti hubungan bapak dan anak, yang dimana bawahan harus patuh dan hormat kepada pemimpin. Sikap ini juga dinilai sebagai sikap yang mengagung-agungkan pemimpin. Sikap “bapakisme” ini semakin diperparah lagi dengan kondisi partai politik yang sudah tidak lagi bergerak berdasarkan ideologi perjuangan politiknya, melainkan lebih bersifat pragmatis. Hal ini dapat membuat rakyat menjadi objek politik dan kekuasaan, bukan subjek kekuasaan seperti yang diharapkan oleh demokrasi.


Budaya politik di Indonesia masih bertahan pada sikap paternalisme (selalu mengikuti pola) dan patrimonial (warisan bapak). Selain itu, juga terdapat keraguan interaksi tentang modernisasi dengan pola yang sudah berakar kuat sebagai tradisi dalam sebuah lingkup masyarakat, sehingga melahirkan  masyarakat yang cenderung apatis terhadap kehidupan politik di Indonesia.


Sikap apatis masyarakat ini dapat terjadi karena adanya kebijakan yang tidak sesuai dan tumpang tindih dalam masyarakat yang membuat masyarakat menjadi kebingungan. Selain itu, kurangnya dukungan dan sikap keteladanan dari para tokoh pemerintahan, tokoh agama, dan yang lainnya sehingga menyebabkan masyarakat mengikuti pola perilaku mereka. Kemudian, pola penegakan hukum juga tidak menyentuh rasa keadilan dalam masyarakat, hingga munculnya suatu peribahasa tentang hukum bahwasannya hukum di Indonesia “ tajam ke bawah dan tumpul ke atas”. Hal ini mengakibatkan masyarakat memberi respons yang negatif dan kontradiktif terhadap kebijakan dan aturan yang dibuat pemerintah.


Jika hal ini terus berlanjut, fondasi demokrasi Indonesia akan melemah dan negara tidak akan berkembang karena kurangnya dukungan dan tuntutan dari masyarakat. 

Solusi yang dapat dilakukan mengenai permasalahan ini adalah dengan pembukaan kesempatan yang sebesar-besarnya oleh pemerintah untuk masyarakat agar berpartisipasi dalam seluruh kegiatan dan proses politik. 

Selain itu, dapat dilakukan pembelajaran bagi masyarakat untuk mengubah mindset masyarakat agar peduli terhadap kegiatan politik. Pemerintah juga seharusnya lebih peduli kepada masyarakat dengan mendengarkan dan melibatkan suara dan aspirasi masyarakat dalam pembuatan kebijakan


oleh : Azkiyah Putri Romadhon

Mahasiswa Universitas Andalas

Post a Comment

0 Comments


SELAMAT DATANG DI SEMOGA ANDA PUAS