Ticker

6/recent/ticker-posts

Perbandingan Teologi Islam di Kesultanan Buton dengan Gerakan Paderi di Minangkabau

 


 

Nama : Hasanah Yolanda (Mahasiswa)

Prodi  : Sastra Minangkabau

 

     Sebelum Islam datang kenusantara, sebenarnya kepulauan Nusantara sudah di pengaruhi Kebudayaan Hindu-Budha yang penyebaran pengaruhnya tidak merata.

       Buton, sebuah kerajaan masa Islam, yang muncul dari abad ke-14 tumbuh berkembang hingga terbentuknya Negara kesatuan Republik Indonesia. Pengaruh ajaran agama Hindu sebenarnya cukup kuat sebelum datangnya Islam menjadi agama resmi.

       Kesultanan Buton terletak di Kepulauan Buton (Kepulauan Sulawesi Tenggara) Provinsi Sulawesi tenggara. Pada zaman dahulu memiliki kerajaan sendiri yang bernama kerajaan Buton dan berubah menjadi bentuk kesultanan yang dikenal dengan nama Kesultanan Buton. Nama Pulau Buton dikenal sejak zaman pemerintahan Majapahit, Patih Gajah Mada dalam Sumpah Palapa.

       Muhammad Aydrus merupakan Sultan Buton ke-29, memerintah kesultanan Buton dari tahun 1824 hingga tahun 1851, atau selama 27 tahun. Muhammad Aydrus merupakan seorang sultan yang tergolong langka di Nusantara.

       Tidak hanya memerintah kesultanannya saja, ia juga disebut sebagai tokoh multidimensional, sebab ia juga dikenal sebagai tokoh politik, penulis, ulama dan budayawan. Ia memiliki kemampuan khusus dalam mengkomunikasikan ide-ide keagamaannya kepada masyarakat luas.

       Seperti karyanya kitab Hadiyat al-Basir fi Ma’rifat al-Qadir. Dalam teks ini menyimpulkan bahwa teks Hadiyat al-Basir ini berperan dalam mempurifikasi teologi Islam di Kesultanan Buton, terumatama kepercayaan warisan mengenai reinkarnasi roh orang mati. Namun purifikasi yang dilakukan berbeda dengan gerakan paderi di Minangkabau yang terkesan puritan. Purifikasi yang ditempuh Muhammad Aydrus lebih bersifat santun karena ia menjadikan proses edukasi yang terbilang elegan sebagai sarana.

       Gerakan purifikasi juga dilakukan didaerah wilayah Sumatra Barat Minangkabau. Gerakan purifikasi teologi dalam Islam atau disebut dengan teologi pemurnian di daerah Minangkabau. Hal ini dilakukan ketika kembalinya tiga tokoh haji pada tahun 1803 M yang sangat dikenal di Minangkabau yaitu Haji Sumanik, Haji Miskin dan Haji Piobang.

       Pada tahun 1821-1838 Gerakan Padri atau disebut dengan istilah “kaum putih” diambil dari gerakan Islam dengan mazhab Hambali atau lebih dikenal dengan gerakan Wahabi.

Di daerah Minangkabau gerakan Wahabi ini mulai berkembang sebelum tahun 1803-1807 dengan di bawah naungan kepemimpinan Tuanku Nan Rentjeh, Haji Piobang, Haji Miskin, Haji Sumanik, Tuanku Rao dan Tuanku Imam Bondjol.

      Gerakan Padri di Minang memiliki orientasi pemahaman tentang Wahabi yang memiliki akar kesejarahan dengan cara menggerakkan kembali pada syariat di tahun 1784-1790, Sebagaimana telah dipelopori Tuanku Nan Tuo dari Ampek Angkek dengan orientasi pada ortodoksi fikih dengan corak rangkaian islami pada abad ke 18.

       Watak keras dalam keagamaan dalam purifikasi Islam dalam perang Padri yang sudah dikaitkan dengan purifikasi ala Wahabi, tentu saja hal tersebut merupakan sebuah faktor tunggal. Dalam konteks gerakan wahabiyah dalam gerakan Padri yang terjadi di Minangkabau selalu berkaitan dengan relasi sosial politik  keagamaan yang tumbuh dan berkembang ketika gerakan tersebut lahir.

       Dari sini bisa dilihat perbedaan kalau di Buton mempurifikasi teologi Islam di Kerajaan Buton  menggunakan naskah Hidayat Al Basir yang membahas tentang reinkarnasi roh orang mati di daerah Buton yang dibawakan oleh Muhammad aydrus, sedangkan di Minangkabau membahas purifikasi melalui gerakan Padri yang mana menggunakan pemahaman Wahabi  salafiyah yang bersumberkan dari Al-Quran dan sumber Hadis. Dan  dibawakan oleh tokoh tokoh Minang seperti Haji miskin, Haji Piobang, Haji Sumanik, Tuanku Imam Bonjol dan Tuanku Rao.

Post a Comment

0 Comments


SELAMAT DATANG DI SEMOGA ANDA PUAS