Ticker

6/recent/ticker-posts

Konten Artis Berujung Tragis Bagi Satwa

 

Oleh : Annisa Riyanti mahasiswa Universitas Andalas 


Peneliti satwa liar menyayangkan ulah beberapa selebriti yang memaksa satwa liar untuk berperilaku seperti manusia. Menurut para peneliti, aksi memamerkan beragam aktivitas satwa liar yang tidak sesuai kebiasaan alamiahnya melanggar prinsip kesejahteraan hewan. Kesejahteraan tersebut, dalam konsep etika lingkungan, terjabar dalam lima poin kebebasan (five freedoms). Salah satunya poinnya menegaskan bahwa satwa seharusnya bebas mengekspresikan kebiasaan alamiahnya.

 

Beberapa kolektor satwa memang mencoba melakukan upaya reproduksi peliharaannya. Namun,  konservasi bukan hanya sekadar menambah jumlah. Sebab, satwa liar memiliki fungsi yang terkait erat dengan ekosistem aslinya.

Misalnya, harimau di hutan berperan sebagai predator atas babi – hewan yang kerap memakan tanaman pertanian ataupun perkebunan. Nah, berkurangnya jumlah harimau akhirnya meningkatkan populasi babi sehingga menambah beban bagi petani atau pekebun.

Akhir April lalu, media sosial diramaikan dengan konten yang diunggah seorang selebriti, Alshad Ahmad, yang menolak untuk mengembalikan tiga harimau peliharaannya ke alam liar. Dia berdalih upaya mengoleksi binatang liar sebagai bagian dari upaya pelestarian satwa, karena hutan yang menjadi habitat bagi sebagian satwanya tengah ‘dalam bahaya’.

Bukan hanya harimau, Alshad juga memelihara satwa liar yang dilindungi seperti binturong, rusa, hingga elang. Binatang-binatang ini kerap dipamerkan Alshad melalui akun Youtubenya, yang ditonton jutaan orang. Dia juga membawa satwa liar tersebut saat melakukan sejumlah aktivitas seperti berbuka puasa, bahkan saat menyambangi anak sepupunya, Raffi Ahmad, yang baru lahir.


Selain Alshad, media sosial juga jadi ajang sejumlah orang untuk memamerkan aktivitasnya dengan satwa liar. Misalnya, akun Audrey A, mengunggah video beruk peliharaannya tengah melahap nasi padang, pisang goreng, hingga es krim. Video ini meraup 808 ribu penonton.

Ada juga selebritas Irfan Hakim, melalui akun Youtube deHakims Aviary, yang kerap memamerkan peliharaan burung-burungnya. Beberapa di antaranya termasuk kategori satwa dilindungi.

Selain peristiwa tersebut, analisis terhadap postingan media sosial telah menyoroti bagaimana perhatian di Twitter tidak sejalan dengan ancaman paling mendesak terhadap gajah liar, yang mungkin memiliki konsekuensi negatif bagi konservasi gajah dan menyebabkan kebencian dari komunitas lokal yang hidup dengan gajah.

Penelitian yang dipimpin oleh Griffith University, yang dipublikasikan di Conservation Science and Practice, mengakui media sosial sebagai sumber berita yang berkembang untuk berbagi informasi konservasi. Tetapi hanya ada sedikit penelitian yang meneliti dampak media sosial terhadap konservasi satwa liar.

Untuk mengatasi kekhilafan ini, Ph.D. Kandidat Niall Hammond dari Center for Planetary Health and Food Security menggunakan gajah sebagai spesies uji untuk melakukan analisis konten tweet yang diposting tentang gajah selama 2019.

Menurut otoritas konservasi global, International Union for Conservation of Nature (IUCN), ancaman yang paling mendesak terhadap konservasi populasi gajah liar adalah hilangnya habitat, konflik manusia-gajah , dan perburuan, dengan besaran ancaman yang berbeda-beda di setiap wilayah tiga spesies gajah (Gajah Hutan Afrika, Gajah Savana Afrika, dan Gajah Asia).

Kenyataan yang terjadi adalah di banyak daerah, gajah dan manusia hidup di ruang bersama, di mana tidak ada pagar untuk memisahkan manusia dan satwa liar. Masyarakat di daerah ini membuat pengorbanan besar untuk gajah. Dalam beberapa kasus bahkan sampai memberlakukan jam malam sendiri di malam hari, karena kehadiran gajah atau petani tidur di ladang mereka untuk melindungi tanaman mereka dari gajah.

"Ini adalah pertanian subsisten yang sering dilakukan orang-orang, jadi jika seekor gajah masuk ke ladang mereka, seluruh mata pencaharian mereka bisa hilang."

Menurut Hammond, penting untuk mengakui pengorbanan yang dilakukan komunitas ini setiap hari dalam hidup berdampingan dengan gajah dan mengadvokasi hak yang lebih besar bagi masyarakat untuk mengelola satwa liar mereka secara berkelanjutan karena tanpa dukungan berkelanjutan mereka, konservasi gajah tidak akan mungkin terjadi.

Hammond mengatakan mengingat representasi pemangku kepentingan lokal yang relatif rendah dan terbatasnya liputan ancaman konservasi utama, ada kebutuhan untuk memastikan bahwa diskusi media sosial tidak terlalu memengaruhi pembuat keputusan.

Di internet, warga bisa turut berkontribusi dengan melaporkan berbagai konten yang tak mengindahkan etika kesejahteraan hewan, termasuk satwa liar. Cara lainnya adalah dengan menandatangani petisi yang terkait dengan perlindungan satwa.

Namun, langkah ini tak bisa menjadi kartu truf untuk kesuksesan upaya konservasi. Upaya penelitian, pelestarian, dan pemanfaatan yang berkelanjutan tetap harus dilakukan pihak terkait seperti pemerintah, swasta, perguruan tinggi, hingga masyarakat sekitar.


Post a Comment

0 Comments


SELAMAT DATANG DI SEMOGA ANDA PUAS