Ticker

6/recent/ticker-posts

Filosofi MARAWA BASA



Oleh : Minas Syajidin Mahasiswa Jurusan Sastra Minangkabau Fakultas Ilmu Budaya

 Universitas Andalas


Marawa Basa adalah perlambang kebesaran adat yang merupakan simbol identitas keminangkabauan asal mula bangsa Melayu.


Marawa Basa diadopsi berdasarkan filosofi adat Minangkabau yakni Alam Takambang jadi guru, asalnya adalah Adat Sabana Adat yakni kato bayang baso Minang disebut "Ula Ngiang" dan tidak boleh ditunjuk dengan jari lurus tapi dibengkokkan, karena Marawa Basa adalah kehormatan yang sangat dimuliakan, kemudian menjadi Adat Taradat yang sekarang menggunakan kain yang di ambil dari gambaran Ula Ngiang atau kita kenal dengan nama PELANGI.


Sebait lirik lagunya


Pelangi pelangi alangkah indahmu,

Merah kuning hijau dilangit yang biru,

Pelukismu agung.


Marawa Basa awalnya di buat dari kulit hewan yang diwarnai sampai ditemukan kain yang dijahit dan berlaku sebagai Marawa Basa Minangkabau sejak 100-500 tahun sebelum Masehi.


Marawa Basa yang berwarna merah kuning hijau dan melengkung meniru aslinya ula Ngiang atau pelangi di Minangkabau dipakai sejak zaman purbakala sampai penjajah Belanda berkuasa dan berubah warna sejak Regent Tanah Datar lalu setelah Minangkabau menjadi wilayah Indonesia sampai berakhirnya Provinsi Sumatra Tengah yang beribukota di Bukittinggi.


Wilayah Sumatera Tengah resmi berakhir ketika pemerintah pusat mengesahkan Undang-Undang Nomor 61 Tahun 1958 seiring terjadinya Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Provinsi Sumatra Tengah dimekarkan menjadi Provinsi Sumatra Barat, Provinsi Riau, dan Provinsi Jambi.


Namun Provinsi Sumatera Barat kembali memakai Marawa Basa Kerajaan Pagaruyung versi Sultan Alam Bagagarsyah ketika menjabat menjadi Regent Tanah datar, yang merubah Marawa menjadi warna merah kuning hitam, sedangkan Riau dan Jambi yang merupakan sapiah balahan kerajaan Pagaruyung dari pendahulunya Sultan Bagagarsyah, masih memakaikan Marawa Basa Minangkabau berwarna merah kuning hijau sampai saat ini.


artinya saat ini Marawa Basa di Sumbar adalah Marawa Sultan Alam Bagagarsyah bukan Marawa Basa Minangkabau yang merujuk pada Alam Takambang jadi guru sebagaimana acuan Filosofi Adat Minangkabau secara turun temurun.


walaupun beberapa Nagari di Sumbar masih memakaikan Marawa Basa Adat Minangkabau seperti di wilayah Junjuang Sirih dan lainnya tapi pada umumnya di Sumbar memakaikan Marawa Sultan Alam Bagagarsyah yang dipopulerkan kembali sejak berdirinya ormas Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) pada tahun 1966 sampai sekarang.


Sesusai bak petuah adat.


Sakali air gadang

Sakali tapian barubah

Nan tapian indak baranjak dari asa.


Begitulah dinamika perubahan zaman dan keadaan sesuai kepentingan kekuasaan pada masanya, namun Marwah Minangkabau tidak bisa dirubah oleh apapun kecuali atas kehendak Allah SWT.


Demikianlah sekilas sejarah singkat tentang Marawa Basa Minangkabau.

Post a Comment

0 Comments


SELAMAT DATANG DI SEMOGA ANDA PUAS