Ticker

6/recent/ticker-posts

Diki Pano, Kesenian dari Pasaman yang Patut Dilestarikan



Oleh: Muthia Azizah Malsi

Sastra Minangkabau Universitas Andalas

Minangkabau memiliki kesenian yang beraneka ragam. Adat dan budayanya sudah banyak dikenal di kancah nasional, hingga internasional, seperti tari piriang, rendang, rumah gadang, silek, dan lainnya. Kepopuleran tersebut menjadi salah satu upaya perawatan kesenian Minangkabau. Kebudayaan tersebut juga menjadi ciri khas dan daya tarik tersendiri di Minangkabau.

Geertz (1983) mengatakan bahwa seni adalah sistem budaya. Di mana nilai tersebut diberikan, dilekatkan, dan dibiasakan oleh masyarakat sebagai pedoman interaksi pada warga masyarakat Kesenian Minangkabau sering didengar dan digaungkan. Namun, nampaknya kesenian-kesenian tersebut hanya mengangkat apa yang sudah dikaji sebelumnya. Bahkan, melupakan kesenian lainnya yang juga dirasa penting untuk dipromosikan. Jika tidak, kesenian tersebut akan berkurang kepopulerannya, bahkan terancam punah. Salah satu kesenian dari Minangkabau yang jarang didengar, bahkan oleh masyarakat Minangkabau itu sendiri adalah dikia pano.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pengertian budaya adalah sebuah pikiran, akal budi, dan sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan yang sudah sukar diubah. Budaya juga merupakan hasil pemikiran, gagasan, dan implementasi kreatifitas yang sudah melekat dalam kehidupan bermasyarakat. 

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kesenian adalah keindahan. Sehingga, penulis menyimpulkan bahwa kesenian adalah sebuah kesenian yang memiliki unsur keindahan yang membuat penikmatnya merasa puas atau mendapatkan nilai estetika ketika menonton atau mendengar kesenian badikia tersebut. 

Dikia Pano adalah salah satu kesenian tradisional Minangkabau yang bernapaskan Islam yang dapat menyentuh rasa dan pikiran pada aktifitas sosial maupun personal, karena itu setiap kegiatan syarak (agama) maupun adaik (adat) selalu diwarnai oleh kegiatan seni yang islami. Kesenian bernuansa Islam menjaga keseimbangan antara dakwah islamiah dan hiburan, salah satunya adalah kesenian Dikia Pano. Dikia Pano berasal dari dua patah kata yaitu Dikia dan Pano, Dikia yang berasal dari kata zikir dan Pano berasal dari nama satu alat musik Rebana. Instrumen musik ini digunakan dalam berbagai aktivitas sosial dan budaya pada masyarakat Minangkabau. 

Dikia Pano merupakan sebuah kesenian tradisional yang sering digelar di berbagai acara adat, seperti pernikahan, syukuran, akikah, dan lain sebagainya. Kesenian dikia pano memiliki ciri khas tersendiri di setiap wilayah di Kabupaten Pasaman, Sumatera Barat. Para penggiat kesenian ini akan mendatangi setiap acara yang membutuhkan pertunjukannya, bahkan hingga ke luar Kabupaten.

Dikia Pano masih bisa ditemukan di berbagai wilayah di Kabupaten Pasaman Timur. Salah satunya berada di Kecamatan Bonjol, Pasaman Timur, tepatnya di Koto Kaciak. Hanya saja dalam pelaksanaannya tidak ada kabar atau panggilan kepada semua orang, itu karena diadakan untuk hiburan keagamaan ketika acara maulid nabi, akekah, turun mandi, khitan dan semacamnya. Sekali-sekali juga diadakan untuk pesta, namun saat ini keberadaan dikia pano di Nagari Koto Kaciak sudah terancam punah, sebab tidak ada penerus generasi di kesenian ini.


Kesenian ini masih rutin digiatkan di daerah Nagari Koto Kaciak yaitu Kampuang Anguih, pada tahun 90-an hingga tahun 2005. Selain Kampung Anguih, daerah lain di Nagari Koto Kaciak seperti Palo Banda dan Kampuang Ateh, masih menerapkan dikia pano, bahkan grupnya pun masih ada, hanya saja tidak pernah dipanggil orang sebab kurangnya kebutuhan masyarakat.


Diki pano termasuk kategori musik yang bernuansa Islam dan liriknya berbahasa melayu. Konsep dari diki pano sendiri adalah semacam alat rebana yang dalam pelaksanaannya, akan tetapi diiringi berzikir dan iringan musik serta irama yang khas, lalu juga dibacakan sejarah nabi, sholawat kepada nabi maupun barzanji. 


Musik pada dikia pano merupakan melodi vokal (nyanyian) diiringi oleh alat musik pano atau rabano yaitu gendang muka satu berbingkai (single-headed frame drum). Pano memiliki perbedaan dengan rebana pada umumnya. Pano berbentuk lebih lebar dan besar. Alat musik pano di daerah Lubuak Sikapiang misalnya, memiliki resonator berupa bingkai seperti kuali berlobang dan ada pula yang berbingkai (frame) lebih tinggi dari head ke bagian bawah resonator dan sebagian resonator pada bagian belakang ditutup sebagian. Jenis alat musik pano dengan resonator seperti itu memproduksi bunyi dengan karakter yang khusus pula, dimana resonansi pukulan membrannya pantul-memantul ke dinding resonator dan kemudian keluar dengan bunyi bass lebih menonjol. 

Jadi, bunyinya bergetar lebih dahulu dalam resonator lalu didorong ke luar. Sementara pada alat musik yang digunakan oleh kelompok-kelompok dikia rabano genre yang sama mempunyai rabano dengan resonator berbentuk bingkai juga tetapi tidak ditutup di belakangnya, tentu resonansi yang dihasilkan oleh getaran kulit langsung keluar dari resonator. 

Pano merupakan alat sejenis gendang yang dibuat dari kulit kambing betina. Kulit kambing betina akan menghasilkan bunyi yang lebih baik daripada kulit kambing jantan, hal ini dikarenakan kulit kambing betina lebih tipis. Untuk bagian penyangga pano, bahan yang dipilih adalah kayu nangka, kayu nangka dipilih karena lebih tahan daripada jenis kayu lainnya. Untuk pembuatan pano, kulit kambing betina ditempelkan ke kayu nangka yang sudah dibentuk seperti lingkaran dan kemudian dijemur untuk menghasilkan bunyi yang bagus.


Pano yang berkualitas adalah pano yang dapat menghasilkan suara yang bagus dan keras. Pano yang baru dibuat, tidak boleh langsung dipakai untuk badikia, hal ini dikarenakan pano yang baru dibuat belum bisa menghasilkan suara yang bagus dan keras. Untuk itu, sebelum dipakai pada acara badikia, pano tersebut terlebih dahulu dijemur beberapa hari supaya suara yang dihasilkan bagus dan keras yang tentunya memperindah penampilan dikia tersebut.

Pano memiliki berbagai jenis ukuran, mulai dari yang terkecil hingga yang terbesar. Ukuran pano memang bervariasi karena setiap pano memiliki perbedaan. Perbedaannya terletak pada jumlah pukulan yang dilakukan oleh si pemain kepada pano tersebut. Jumlah pukulan untuk pano yang berukuran kecil tidak sama dengan jumlah pukulan untuk pano yang berukuran sedang. Jumlah pukulan untuk pano yang berukuran sedang tidak sama dengan jumlah pukulan untuk pano yang berukuran besar.

Kesenian dari Pasaman ini masih bisa kita temukan di berbagai acara adat. Kelompok kesenian Diki Pano turut diundang untuk memeriahkan acara. Alunan nyanyian dan tabuhan  Pano menambah suasana religius bagi sang pemilik acara, sehingga diharapkan acara bisa lancar dan aman hingga usai. Pelaku kesenian akan berpindah ke satu tempayt, ke tempat yang lain memenuhi pelanggan yang mengundang mereka.

Urgensi yang dialami oleh kesenian Diki Pano saat ini adalah kurangnya minat generasi muda untuk terus melestarikannya. Padahal, tanpa ada penerus sebuah tradisi/kesenian akan punah secara perlahan dimakan zaman. Lalu, apakah Diki Pano akan tinggal nama saja? Hal demikian adalah perhatian kita bersama dalam mewariskan kesenian Minangkabau. Sehingga, Diki Pano dapat dialunkan hingga zaman mendatang.

Post a Comment

0 Comments


SELAMAT DATANG DI SEMOGA ANDA PUAS