Ticker

6/recent/ticker-posts

Maisi Sasuduik

 


oleh : Muthia Azizah Malsi

Sastra Minangkabau Universitas Andalas

Maisi Sasuduik adalah salah satu tradisi dalam upacara pernikahan masyarakat Minangkabau. Tradisi yang juga sering disebut dengan sasuduik, manyuduik, atau isi biliak berasal dari Luhak Lima Puluk Kota, atau bisa dibilang di Kabupaten Lima Puluh Kota dan Kota Payakumbuh. Meskipun, ada wilayah lain seperti Pesisir, Agam, dan Bukittinggi yang melaksanakan tradisi ini. Namun, Luhak Lima Puluh Kota yang masih menjaga eksistensinya dalam tradisi Maisi Sasuduik.

Sesuai dengan artinya dalam Bahasa Indonesia yang berarti “mengisi sesudut”, tradisi ini mengharuskan sang calon mempelai pria untuk membeli beberapa perabot kamar tidur, seperti: kasur, lemari, dan meja rias. Selebihnya akan menyesuaikan dengan kemampuan sang mempelai pria. 

 “Kok indak panuah ka ateh, panuah ka bawah.”

Uang dalam tradisi Maisi Sasuduik tidak ada ketetapan pasti dalam adat, semuanya akan merujuk kepada kesepakatan antara calon pengantin pria dengan calon pengantin wanita. Ungkapan di atas juga menggambarkan bahwa adat memberikan keleluasaan pada sang pria dalam memenuhi syarat Maisi Sasuduik. Pihak keluarga wanita akan mentolerir kepada kemampuan finansial calon menantunya. Pastinya, tradisi ini adalah bentuk presentasi kepada kesanggupan dan tanggung jawab sang pria jika berumah tangga nantinya.

Ketiadaan uang Maisi Sasuduik hakikatnya tidak akan membatalkan prosesi akad nikah, sebab tradisi ini tidak masuk dalam rukun nikah secara islam. Namun dikarenakan perkawinan adat dan perkawinan syara’ merupakan serangkaian yang tidak bisa dipisahkan makanya uang sasuduik dapat menunda hingga ada yang batal perkawinan. Dampak baiknya Maisi Sasuduik, kedua mempelai sudah memiliki perabot/furnitur rumah tangga yang cukup setelah menikah. Sehingga, tujuan dari tradisi ini juga untuk kenyaman kedua mempelai.

Jarak antara lamaran dan penyerahan uang sasuduik ditentukan oleh kesepakatan kedua belah pihak, tetapi tidak melampaui akad nikah dan baralek itu sendiri. Jika pihak laki-laki tidak menepati janjinya, maka pihak perempuan atau niniak mamak akan menunda pernikahan sampai pihak laki-laki mampu membayar uang sasuduik sesuai kesepakatan. Para niniak mamak melapor ke kantor "Kerapatan Adat Nagari" (KAN) setelah penundaan, dalam hal ini kepada Kepala "Kerapatan Adat Nagari". Para pemuka adat akan datang untuk menghadiri dan mengawasi proses penghitungan jumlah uang sasuduik hingga tanggal pernikahan.

Tradisi maisi sasuduik secara eksklusif dipraktekkan secara adat salingka nagari, sehingga hanya berkaitan dengan lokasi tertentu. Tradisi ini boleh ada atau tidak ada jika perkawinan berbeda dengan nagari dan mempunyai adat yang berbeda dengan luhak, tetapi kedua orang yang akan menikah harus sepakat. Karena sistem matrilineal yang digunakan oleh orang Minangkabau, sang suami terpaksa tinggal bersama mertuanya, sehingga harus maisi sasuduik.

Ketentuan maisi sasuduik akan dimusyawarahkan saat acara manaikan siriah, atau disebut juga makan lamang dan manjarah. Acara ini akan diadakan kurang lebih dua bulan atau paling lambat satu bulan sebelum akad nikah. Maisi sasuduik juga menandakan bahwasanya laki-laki tersebut memang berniat untuk meminang perempuan tersebut. Sebenarnya adat maisi sasuduik ini tidak akan merugikan pihak laki-laki, karena isi kamar perempuan yang telah diisi oleh pihak laki-laki akan mejadi milik dari laki-laki itu juga, laki-laki juga yang akan memakai kamar tersebut. Sementara itu pihak perempuan juga harus membayar uang jemput kepada mamak dari pihak laki-laki. Jadi sebenarnya adat ini dibuat untuk menguntungkan satu sama lai bukan untuk merugikan salah satu pihak atau menguntungkan salah satu pihak saja. Adat yang akan dipakai atau dilaksanakan tergantung oleh kesepatan antar dua belah pihak keluarga si mempelai.

Pemenuhan uang sasuduik ini merupakan bagian dari “adaik nan diadaikkan”. Maksudnya adalah adat kebiasaan yang ditetapkan atas dasar “bulat mufakat” para penghulu, tua-tua adat, cerdik pandai, dalam majelis kerapatan adat zaman dahulu atas dasar “halur” dan “patut”. Ketentuan ini dapat berubah menurut keadaan tempat dan waktu. Sebagaimana sifat dari adat yang diadatkan ini lain padang lain belalang, lain lubuk lain ikannya dan uang sasuduik ini hanya berlaku di Nagari atau daerah-daerah yang telah disebutkan di atas.

Dalam adat upacara pernikahan ini yang menjadi daya tarik orang Minang adalah hiasan kamar pengantin dihias begitu indah dan dalam baralek/ pesta pernikahannya seluruh rumah dihiasi dan dihidangkan makanan daerah tersebut. Uang sasuduik tersebut digunakan untuk mengisi kamar pengantin tersebut serta hiasannya dan juga digunakan untuk acara baralek tersebut.

***

Post a Comment

0 Comments


SELAMAT DATANG DI SEMOGA ANDA PUAS