Ticker

6/recent/ticker-posts

Hak dan Kedudukan Perempuan dalam Hukum Kewarisan Adat Minangkabau

Foto artikel


Oleh : Habibul Rahman Hanifah
 
Perempuan dalam adat Minang memiliki kedudukan yang sangat penting. Perempuan Minang sangat diagung-agungkan oleh masyarakatnya. Keberadaan perempuan sangat diharapkan. Tingginya kedudukan perempuan ini dilambangkan sebagai “limpapeh rumah nan gadang, sumarak anjuang nan tinggi. Wanita dewasa dipanggil sebagai Bundo Kanduang panggilan Bundo Kanduang bukan sekadar istilah, tapi merupakan penggilan penghormatan.
Bundo kanduang melambangkan seorang ratu dari kerajaan Minangkabau yang mendampingi ninik mamak dalam acara seremony. Bundo kanduang juga merupakan salah satu unit lembaga dalam kerapatan adat. Wanita dengan sebutan Bundo Kanduang bukan hanya dinilai dari penampilan fisik saja, tapi juga kepribadiannya. Perempuan yang diberi julukan ini harus mempunyai kepribadian yang baik, sopan santun dan memahami tatanan adat yang berlaku.
Selanjutnya wanita wajib berpakaian secara pantas. Oleh karena itu, kaum ibu merupakan warga masyarakat yang sangat besar fungsi dan peranannya dalam hidup ini, mereka juga dilambangkan sebagai sosok yang amat mulia dan filosofis. Wanita di Minangkabau mempunyai hak suara dan pendapatnya mendapat perhatian dan selalu diutamakan. Wanita merupakan pewaris harta keluarga dan pembawa nama keluarga. Garis keturunan mengikuti garis keturunan ibu, bukan dari pihak bapak. Selain itu rumah-rumah gadang dengan ukiran yang indah di Minangkabau adalah milik wanita Minang.
Penerapan sistem kekerabatan, pengelolaan harta pusaka, rumah gadang dan pelaksanaan perkawinan juga dilaksanakan oleh kaum wanita. Penyelenggaraan sistem kekerabatan dilengkapi dengan dukungan ekonomi yang bersumber dari pengelolaan harta pusaka dan sebuah tempat kediaman yang disebut “Rumah Gadang”. Tinggi adalah milik kaum secara turun temurun. Menurut sistem matrilineal seperti sawah, ladang, rumah gadang dan lainnya. Harta pusako dimanfaatkan oleh perempuan dalam kaumnya. Hasil sawah dan ladang menjadi bekal hidup perempuan dengan anak-anaknya. Rumah gadang menjadi tempat tinggalnya. Laki-laki/mamak berhak untuk mengatur harta pusaka, tetapi tidak berhak untuk memilikinya. Oleh karena itu, laki-laki punya hak terhadap pusako kaum, tetapi dia bukan pemilik pusako kaumnya.
Pewarisan harta pusaka tinggi mempunyai hubungan yang erat dengan sistem kekerabatan matrilineal yang menjadi tata cara pelaksanaan kewarisan tersebut adalah: “adaik nan sabana adaik” (adat yang sebenarnya adat). Yang harus dijalankan, artinya pewarisan harta mengikuti garis keturunan pihak ibu atau perempuan, serta kewenangan untuk mengatur harta pusaka tinggi dipegang oleh perempuan yang tertua dalam garis keturunan ibu yang disebut Amban Paruik (suatu keluarga besar atau famili) serta yang bertugas untuk melindungi, memelihara, dan mengembangkan harta pusaka tinggi ini di bawah wewenang Mamak Penghulu atau Mamak Kepala Suku Minangkabau.
Pewarisan harato pusako tinggi ini merupakan sistem kewarisan kolektif yaitu sistem kewarisan peninggalan harta pusaka tinggi yang teruskan dan dialihkan kepemilikannya dari pewaris kepada ahli waris sebagai kesatuan yang tidak terbagi-bagi penguasaan dan kepemilikannya. Maksudnya adalah setiap ahli waris berhak untuk mengusahakan, menggunakan, dan mendapatkan hasil dari harta peninggalan itu serta adanya aturan bahwa tidak semua harta peninggalan dapat dibagi-bagi.
Tanah atau barang pusaka lainnya tetap merupakan harta famili bersama-sama dalam adat suku Minangkabau Sebagai penerima hak waris harta pusaka tinggi, perempuan di Minangakabau wajib menjaga harta pusaka tersebut agar tetap utuh untuk menjaga keutuhan kaum kerabat, sebagaimana diajarkan falsafah alam dan hukum adat.
Harta pusaka mempunyai fungsi sosial yang berada dalam penguasaan kaum wanita. Bila diperhatikan keseluruhannya menyangkut kepentingan masyarakat suku Minangkabau, wajar bila harta yang dipergunakan diambil dari harta pusaka tinggi yang menjadi milik masyarakat tersebut. Dalam tahap pertama dengan segala usaha dicoba mengusahakan sendiri atas kebutuhan masyarakat yang dibutuhkan, bila tidak memungkinkan, sedangkan kebutuhan sudah sangat mendesak maka berlakulah pepatah “Tidak Kayu Jenjang dikeping, Tidak Emas Bungkal Diasah”, artinya adat membenarkan harta Pusaka Tinggi itu dikurangi secara gadai atau dijual dengan tata cara yang dibenarkan oleh adat suku Minangkabau.
Proses peralihan harta pusaka tinggi dilakukan melalui pewarisan yang terus menerus yakni dengan cara saat pewaris telah meninggal dunia maka mamak Kapalo Waris meneruskan kedudukan atau jabatan adat, kewajiban dan hak-hak, serta harta kekayaan yang ditinggal oleh pewaris jatuh kepada ahli warisnya yaitu kamanakan. Semua harta yang bergerak dan yang tidak bergerak seperti Tanah, Rumah Gadang merupakan harta pusaka tinggi dalam suku Minangkabau. Dalam hukum kewarisan harta ini tidak diberlakukan hukum Faraid sebagaimana mestinya. Harta pusaka tinggi seperti tanah dan rumah diberikan hanya kepada anak perempuan tanpa menghiraukan bagian anak laki-laki.
Dalam pengaturan pewarisan pusako, semua harta yang akan diwariskan harus ditentukan dulu kedudukannya. Kedudukan harta pusako ini terbagi dalam pusako tinggi dan pusako randah. Adapun terhadap harta pusaka rendah, maka pembagiannya dilakukan menurut hukum faraid, bahwa anak laki dan perempaun sama-sama mendapatkan bagian dari warisan kedua orang tuanya, hanya bagian anak laki-laki mendapat dua kali bagian dari anak perempuan. Adapun fungsi harta pusaka tinggi dalam kaum adalah agar keluarga besar kaum tidak melarat dan mempunyai bekal ketika ahli waris meninggal, “Ganggam bauntuak”, hiduik bapangadok”.  
Harta pusaka tinggi juga berfungsi membentengi tanah-tanah Minang dari penguasaan orang-orang dari luar Minang. Namun tujuan baik untuk kemaslahatan ini tidak boleh mengabaikan syara’ (syari’at Islam) yang menjadi landasan adat Minangkabau. Adapun tujuan pewarisan harta pusaka tinggi kepada kaum perempuan di Minangkabau adalah:
a) Terpeliharanya kehidupan suku Minangkabau, khususnya perempuan dari terbuang dari kampungnya sendiri. Ketika keluarganya tidak mampu secara ekonomi atau bercerai dari suaminya, maka tanah pusaka dapat menjadi penopang kehidupannya dan menjauhkan dari perbuatan meminta-minta.
b) Terpeliharanya tanah kaum muslimin, agar tidak beralih kepada selain muslim. Tiada penguasaan mutlak atas sesorang utuk menguasai berjuta-juta hektar tanah. Sehingga tidak ada monompoli atas tanah di Minangkabau kecuali tanah hanya milik masyarakat adat. Hal ini mengacu kepada ijtihad Umar bin Khatab dalam mengembalikan tanah rampasan di Irak dan Iran kepada penduduk dan mewajibkan membayar kharaj dan jizyah atas jaminan keamanan.
c) Terpeliharanya system kekerabatan dan silaturrahmi antara kaum di Minangkabau. Di mana setiap peralihan dan alih fungsi tanah memerlukan musyawarah bersama datuk (kepala kaum), niniak mamak dan juga bundo kanduang (pihak ibu).

Post a Comment

0 Comments


SELAMAT DATANG DI SEMOGA ANDA PUAS