Ticker

6/recent/ticker-posts

Tradisi Mancalik Bulan di Pariaman

Foto artikel


Tradisi merupakan suatu kegiatan masyarakat yang di mana sudah biasa dilakukan oleh masyarakat setempat. Di Indonesia banyak sekali tradisi-tradisi yang sangat unik. Indonesia sendiri merupakan negara kepulauan yang di mana setiap pulau memiliki berbagai macam tradisi. Faktor yang mempengaruhi Indonesia memiliki banyak sekali tradisi salah satunya adalah karena banyaknya suku-suku yang terdapat di Indonesia. Setiap suku di daerah tertentu pastinya memiliki tradisi yang berbeda-beda dan juga kebudayaan yang berbeda-beda. 

Dalam tulisan ini, penulis ingin menyajikan salah satu tradisi di daerah Sumatera Barat yang lebih tepatnya berada di daerah Pariaman. Pariaman adalah salah satu kota yang berada di Provinsi Sumatera Barat. Kota yang berjarak 56 km dari kota Padang ini memiliki banyak sekali tradisi yang memiliki unsur keIslaman. Islam di Kota Pariaman ini sangatlah kental karena pada zaman dulu Kerajaan Aceh pernah menduduki daerah ini. Masih banyak peninggalan-peninggalan dari tradisi di Aceh yang masih ada hingga sekarang. Salah satunya dengan adanya panggilan sutan yang berada di Kota Pariaman. Panggilan ini memiliki asal muasal kata dari Sultan dan panggilan ini biasanya digunakan sebagai penghormatan kepada seseorang yang telah menikah dan panggilan ini dilakukan ketika berada di rumah mertua.

Tidak hanya dari panggilan saja yang unik. Namun, ada beberapa tradisi kebudayaan yang dilakukan di Kota Pariaman ini yaitu dengan adanya Tradisi Mancaliak Bulan. Tradisi Mancaliak Bulan merupakan suatu tradisi yang dilakukan oleh orang-orang di Pariaman sebagai tanda awal orang akan memulai puasanya. Tradisi ini sama saja dengan melihat hilal sebagai tanda akan dimulainya puasa. Tradisi ini dilakukan secara turun-temurun dan mengikuti dari ajaran Nabi Muhammad Saw.  tradisi ini pertama kali dilakukan oleh orang-orang yang menganut Tarekat Syatariyyah. Tarekat telah muncul di Minangkabau sejalan dengan masuknya Islam di Minangkabau. Di antara tarekat yang ada dan berkembang di Minangkabau adalah Tarekat Syattariyah, Naqsyabandiyah (Van Bruinessen menyebutnya dengan Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah) dan Samaniyah. Syatariyyah merupakan salah satu tarekat

yang telah berkembang di Nusantara sekaligus di Minangkabau. 

Syeikh Burhanuddin sebagai tokoh Tarekat Syattariyyah yang pertama membawa dan memperkenalkan tarekat ini di Minangkabau tepatnya di Ulakan pantai barat Sumatera Barat. Pada periode awal dari Tarekat Syattariyyah adalah dengan mengembangkan ajaran Islam di Minangkabau melalui surau-surau. Surau pertama Tarekat Syattariyyah di Minangkabau adalah di Ulakan pantai Barat Sumatera. Pengaruh Ulakan bagi perkembangan Islam di Minangkabau cukup besar sehingga dalam tradisi sejarah dikalangan para ulama sering di anggap bahwa kota kecil ini adalah sumber penyebaran Islam dan Tarekat Syattariyyah ke berbagai daerah yang ada di Minangkabau.

 Salah satu ajaran dan identitas keberagamaan para penganut Tarekat Syattariyyah di Sumatra Barat yang menarik adalah tentang penentuan awal dan akhir Ramadhan. Pendapat mereka sering didefinisikan dengan apa yang mereka sebut sebagai “dua puluh satu amanah”, yakni sejumlah ajaran dan ritual yang bersifat mengikat dan tidak boleh diubah. Salah satu dari amanah itu adalah puasa harus dengan melihat bulan (ru’yat al-hilal). Artinya penentuan awal dan akhir Ramadhan dilakukan dengan melihat hilal atau biasa juga disebut dengan melihat bulan. Para guru Tarekat Syattariyah  dengan berpegang pada prinsip ru’yat al-hilâl (melihat bulan) menetapkan awal puasa tersebut satu atau dua hari setelah para guru Tarekat Naqsybandiyyah menetapkannya. 

Maliek Bulan

Istilah “ Maliek Bulan” merupakan istilah yang dipakai oleh pengikut Syatthariyah dalam

penentuan awal dan akhir Ramadhan. Dimana maksudnya adalah ru’yatul hilal atau melihat hilal.

Dimana pada masa ini umat Islam banyak berbeda pendapat dalam hal apakah boleh menetapkan bulan baru Qamariah (hilal) berdasarkan hisab atau harus dengan ru`yah. Dalam ru’yatul

hilal dalampenentuan awal dan akhir Ramadhan oleh Tarekat Syattariyah merupakan kegiatan melihat bulan yang biasanya dilakukan pada sore hari menjelang magrib. Ritual melihat bulan dengan mata telanjang ini menjadi kegiatan rutin Tarekat Syattariyah untuk memulai berpuasa. 

Dalam penentuan waktu "maniliak" Tarekat Satariyah tersebut berdasarkan penghitungan hisab Takwim Khamsiah yaitu diambil dari huruf tahun dan dijumlahkan dengan huruf bulan. perbedaan dalam memulai bulan puasa dengan umat Islam lainnya sudah terjadi sejak dulunya. Hal ini karena ada sedikit perbedaan dalam perhitungan tanggal atau hisab yang mereka lakukan dengan pemerintah atau aliran lainnya berpedoman kepada hadis Rasulullah yang berbunyi: "Berpuasalah kamu dengan melihat bulan (Ruqyah Hilal) dan berbukalah kamu (lebaran) dengan Ruqyah Hilal pula. Jika seandainya tidak terlihat bulan maka sempurnakan Syaban mu 30 hari,” Kalau tidak nampak bulan  maka akan koordinasi dengan lokasi lain, maka akan dilakukan sidang isbat oleh para ulama untuk menentukan puasanya. 

Melihat Bulan bagi jam’ah Syattariyah umumnya di Sumatera Barat dan lebih khususnya

bagi kalangan jama’ah syattahriyah yang datang ke Pariaman sudah menjadi agenda rutin setiap

awal bulan Ramadhan atau penentuan kapan dimulainya berpuasa. Bahkan lebih jauh dari itu

sudah menjadi tradisi dilakukan dengan porsi jam’ah yang banyak di Ulakan Padang Pariaman

dan Koto Tuo Agam. Dalam “maliek bulan” memang agak rumit karena banyak juga yang bingung yang mana yang dikatakan dengan bulan atau hilal tersebut. Namun beberapa jama’ah karena sudah melihat yang lain juga meyakini sudah terlihat. 

Dengan adanya tradisi ini masyarakat juga terbantu ekonominya karena banyak warga dari daerah luar Pariaman akan datang ke Pariaman untuk menyaksikan tradisi tersebut sehingga banyak juga warga-warga sekitar yang membuka lapak dagang mereka untuk menyediakan berbagai macam jajanan atau makan kepada masyarakat di sekitar tempat tradisi tersebut berlangsung.

Post a Comment

0 Comments


SELAMAT DATANG DI SEMOGA ANDA PUAS