Ticker

6/recent/ticker-posts

Tantangan, Kesiapan dan Kesehatan Mental dalam Menghadapi Bencana pada Lansia

 


Negara indonesia merupakan negara yang memiliki keindahan alam serta memiliki letak yang strategis, dimana Negara Indonesia terletak pada garis khatulistiwa yang memiliki banyak kekayaan alam, diantaranya hamparan gunung dan lautan serta berbagai hewan dan tumbuhan yang menyertai didalamnya. Namun dibalik keindahan yang dimiliki oleh Negara Indonesia, Indonesia merupakan negara yang rawan akan terjadinya bencana. Dwi, dkk (2021) menjelaskan bahwa Negara Indonesia terletak di antara pertemuan tiga lempeng tektonik yang sampai saat ini  masih aktif yaitu Lempeng Indo-Australia di bagian selatan, Lempeng Eurasia di bagian utara dan Lempeng Pasifik di bagian timur yang saling bergerak dan kapanpun bisa saja saling  bertumbukan, sehingga menghasilkan jalur gempa bumi bumi dan terbentuknya rangkaian gunung api aktif sepanjang Pulau Sumatera, Pulau Jawa, Bali dan Nusa Tenggara yang mana lempeng ini sejajar dengan jalur kedua lempeng lainnya yaitu Lempeng Indo Australia dengan Lempeng Eurasia. Selain itu, secara lebih spesifik lagi, Negara Indonesia secara regional juga berada pada jalur gempa yaitu patahan semangko yang terletak di Pulau sumatra, khususnya provinsi Sumatra Barat. Sehingga dengan keadaan seperti ini, apabila terjadi bencana akan memberikan banyak dampak negatif bagi kehidupan, dan salah satu populasi yang rentan untuk menjadi korban pada saat terjadinya bencana adalah kelompok lansia, yang mana kelompok ini  harus menghadapi tatangan dan harus mampu menjaga kesehatan mentalnya pada saat ataupun pasca bencana baik dengan kemampuan sendiri atau adanya bantuan dari orang lain.

Penyebab timbulnya banyak korban akibat bencana seperti gempa bumi memang dikarenakan oleh berbagai faktor, namun salah satunya yaitu diakibatkan kurangnya pengetahuan dan pemahaman masyarakat mengenai bencana tersebut. Selain itu, kesiapan mereka belum cukup memadai dalam mengantisipasi saat terjadinya bencana. Padahal korban yang berjatuhan sangatlah banyak, mulai dari anak kecil hingga orang dewasa. Maka dari itu, penting untuk masyarakat memulai lebih awal dalam mempersiapkan dirinya untuk menambah pengetahuan mengenai kebencanaan dan bagaimana kesiapsiagaan yang harus dimiliki untuk menghindari atau meminimalisir dampak dari bencana (Widjanarko & Ulum, 2018).

Kesiapsiagaan diperlukan dalam menghadapi bencana dengan melalui pelatihan siaga bencana. Kesiapsiagaan tersebut diberikan mulai dari pendidikan sekolah dasar hingga masyarakat umum. Hal tersebut diberikan untuk dapat memberikan keselamatan dan mengurangi korban jiwa, khususnya anak-anak yang masih menginjak bangku sekolah. Banyaknya bencana yang terjadi di Indonesia dan korban jiwa yang berjatuhan, menjadi sorotan untuk pentingnya melakukaan perencanaan dan kesiapsiagaan bagi masyarakat (Daud, dkk, 2014).

Kesiapsiagaan merupakan sesuatu hal yang dilakukan sebagai antisipasi yang dilakukan sebelum bencana tersebut terjadi. Kesiapsiagaan bencana ini dilakukan dengan maksud untuk meminimalisir dampak akibat terjadinya bencana. Menurut Hidayati (2006) menyebutkan bahwa kesiapsiagaan merupakan tindaka-tindakan yang dilakukan mulai dari pemerintah, masyarakat, komunitas, organisasi serta individu agar memiliki kemampuan yang tepat saat berhadapan dengan situasi bencana. Tindakan kesiapsiagaan tersebut dapat berupa penanggulangan bencana, melakukan pelatihan, dan pemanfaatan sumber daya.

Kesiapsiagaan tidak hanya terdiri dari pelatihan saja, namun juga meliputi perencanaan tanggap darurat. Hal tersebut berarti ketika adanya perencanaan, maka masyarakat mempunyai pengetahuan mengenai tindakan yang mesti dilakukan saat bencana tersebut terjadi. Perencanaan tanggap darurat ini bergantung pada beberapa faktor, seperti dampak atau risiko yang akan terjadi, kerentanan, serta berbagai jenis ancaman yang dapat menimpa. Maka dari itu, pelaksanaan kesiapsigaan sangat dibutuhkan dari berbagai kalangan yang tidak hanya pada masyarakat umum namun juga pada tingkat komunitas (Pahleviannur, 2019). 

Kesiapsiagaan bencana yang dilakakukan dengan sistuasi yang berbeda sesuai dengan bencana seperti apa yang sedang dihadapi. Contoh dari kegiatan kesiapsiagaan terhadap bencana antara lain yaitu mempersiapkan perencanaan apabila banjir terjadi, meningkatkan pengetahuan dengan mengikuti berbagai program pelatihan, mengetahui arah evakuasi, dan lainnya. Upaya tersebut dilakukan dengan maksud agar masyarakat dapat tanggap saat berhadapan dengan peristiwa bencana serta kesiapsiagaan dalam menjadi solusi yang digunakan saat terjadi bencana  (Sutton & Tierney, 2006).

Penelitian yang dilakukan oleh Khairuddin, dkk (2012) memperoleh hasil yang menyatakan bahwa kesiapsiagaan masyarakat dalam meminimalisir risiko dari bencana masih sangat rendah, mereka hanya mengetahui tentang bagaimana cara untuk menyelamatkan diri, namun belum memahami tentang keterampilan dalam kesiapsiagaan. Sehingga, masih sangat diperlukan evaluasi terhadap kesiapsigaan bencana. 

Tahap selanjutnya yang bisa dilakukan dalam kesiapsiagaan bencana adalah melakukan mengidentifikasi, menemukan, dan mengakses lansia dalam bencana. Identifikasi dilakukan untuk mendata dan juga melakukan pencatatan secara detail terhadap kelompok rentan bencana termasuk lansia yang merupakan salah satu kelompok rentan bencana. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan data lengkap yang nantinya akan membantu proses evakuasi saat terjadi bencana dan juga menjadi salah satu saran inventaris bagi badan yang melakukan identifikasi. Setelah melakukan identifikasi akan dilakukan proses penemuan, dimana proses ini bertujuan menemukan hal yang dapat menjadi penghambat dan pendorong kesiapsiagaan lansia. Faktor penghambat kesiapsiagaan lansia adalah mungkinnya lansia tidak memahami sinyal yang dijadikan tanda bencana terjadi sepeti sirine, isyarat visual, dan termasuk teks tertulis yang menggambarkan sinyal bencana. Faktor pendorong kesiapsiagaan lansia dapat dilakukan dengan mengidentifikasi hal apa saja yang dapat dijadikan tanda bencana pada lansia, sehingga tanda dan sinyal yang diberikan dapat dipahami dan dimengerti lansia. Semua hal ini didapatkan dengan cara identifikasi dan menemukan kebutuhan lansia untuk kesiapsiagaan bencana. Dalam melaksanakan kesiapsiagaan bencana pemerintah sudah melakukan banyak usaha. Faktor internal lansia menjadi salah satu faktor yang cukup berpengaruh dalam proses kesiapsiagaan. Salah satu faktor internal yang cukup berpengaruh dalam persiapan bencana pada kalangan rentan seperti lansia adalah dukungan keluarga dimana ketika keluarga memberikan dukungan yang cukup pada lansia hal ini akan membantu lansia untuk siap mengahadapi bencana (Nurhidayati,2018)

Lansia saat mengalami bencana pastinya memiliki kebutuhan khusus yang berbeda dari kalangan lainnya. Oleh karena itu dibutuhkan pengetahuan dan juga kemampuan dari tim penyelamat untuk memahami kebutuhan tersebut. Pengetahuan dan juga kemampuan dapat berupa penanganan pertama yang harus dilakukan pada kalangan lansia, kebutuhan khusus yang dibutuhkan lansia. Selama dalam pengungsian lansia merupakan salah satu kalangan yang rentan karena lansia adalah kalangan yang memiliki kemungkinan kurang stabilnya emosi setelah terjadinya bencana. Peran dari agen federal seperti Badan Penanggulangan Bencana dan agen nasional seperti Palang Merah menjadi sangat penting saat bencana terjadi. Hal ini dapat ditinjau dari bagaimana badan ini dapat menjadi garda terdepan ketika bencana terjadi bahkan sebelum bencana terjadi. Mulai dari melakukan seminar, workshop¸ simulasi yang mengindikasikan informasi tanggap bencana. Saat bencana terjadi badan ini merupakan badan yang memberikan intervensi pertama saat bencana terjadi. Lansia merupakan salah satu kalangan yang akan menjadi prioritas saat bencana terjadi, entah dari segi kesehatan fisik, kesehatan mental, dan juga hal lainnya yang mungkin berdampak pada lansia.

Selanjutnya, bencana dapat menyebabkan berbagai dampak secara fisik maupun mental pada kelompok rentan seperti lansia. Penelitian menjelaskan bahwa lansia merupakan kelompok yang paling rentan terhadap dampak langsung dari bencana alam. Semakin tua seseorang maka semakin tinggi pula resiko masalah kesehatan fisik, mental, kognitif, spiritual, ekonomi dan sosialnya (Qonita dkk, 2021). Keluarga perlu mengidentifikasi kerentanan yang mungkin dialami oleh lansia. dan juga perlu ditekankan bahwa kesiapsiagaan untuk menjaga kesehatan dan kesejahteraan lansia tidak hanya dari segi fisik tetapi juga dari sisi psikologisnya. 

Masalah fisik pada lansia menyebabkan ia mengalami keterbatasan sehingga ia ketergantungan pada keberadaan orang lain. Lansia memiliki beragam masalah fisik seperti keterbatasan mobilitas, gangguan sensori dan penyakit terkait penurunan fungsi fisiknya. Keterbatasan mobilitas membuat lansia kesulitan untuk bergerak bebas. Sedangkan evakuasi bencana untuk meninggalkan lokasi bencana menuju tempat ekuasi yang aman membutuhkan pergerakan yang cepat. Kesiapan anggota keluarga dan peralatan yang dapat membantu mobilitas lansia dapat dipersiapkan sebagai upaya dalam kesiapsiagaan bencana. Masalah sensori juga dapat menghambat kesiapan menghadapi bencana karena keterbatasan informasi yang didapatkan. Hal ini dikarenakan kurangnya penglihatan ataupun pendengaran dalam gangguan sensori membuat lansia tidak waspada pada situasi bencana. Lansia dengan penyakit dapat dibantu dengan kesiapan dalam penyediaan obat-obatan oleh kelurganya. Obat-obatan khusus mungkin akan sulit diakses ketika bencana terjadi karena perubahan fokus pada kebutuhan pokok, pengobatan darurat, dan fasilitas kesehatan yang minim pasca bencana.

Kesehatan mental adalah landasan kesehatan masyarakat, terutama pada lansia (Banerjee, 2020). Perubahan mental pada lansia berhubungan dengan perubahan fisik, kesehatan umum, tingkat pendidikan, keturunan dan lingkungannya. Dan juga kerentanan lansia terhadap dampak psikologis pasca bencana dapat dihubungan dengan faktor resiko berupa kehilangan anggota keluarga, kematian orang terdekat, dan adanya anggota keluarga yang mengalami cedera parah akibat bencana (Jia, 2010). Dampak psikologis yang sering terlihat pada lansia pasca bencana adalah gangguan Post traumatic sindrom disorder (PTSD). PTSD dapat diartikan dengan gejala kecemasan yang berlangsung selama lebih dari satu bulan setelah paparan aktual (APA, 2013). Paparan yang dimaksud salah satunya paparan langsung dari peristiwa traumatis seperti pengalaman menghadapi bencana. 

Hal yang dapat dilakukan dalam kesiapsiagaan bencana untuk sehatan fisik dan psikologislansia tidak hanya berfokus pada persiapan perlindungan lansia saja tetapi juga dapat memberdayakan lansia untuk mengurangi resiko bencana. Dalam beberapa penelitian ditunjukkan bahwa melibatkan lansia dalam kegiatan sosial secara perorangan atau kelompok dapat memberikan dukungan, mengkatkan kekuatan fisik dan menurunkan rasa cemas pada lansia. Pertisipasi lansia sebagai relawan dapat mengurangi kerentanan mereka terhadap dampak bencana dari segi kesehatan fisik dan mentalnya (Siregar, 2019)


Tahap selanjutnya dalam kesiapsiagaan menghadapi bencana oleh lansia yaitu menghindari terjadinya eksploitasi dan penyalahgunaan terhadap kelompok usia lansia. Kelompok usia lansia merupakan kelompok yang rentan saat terjadinya bencana selain ibu hamil, anak-anak, dan penyandang disabillitas (Nurhidayati, 2018). Kelompok lansia sangat membutuhkan kesiapsagaan dalam menghadapi bencana sebab kelompok usia lansia ini juga rentan terhadap eksploitasi dan penyalahgunaan oleh pihak tertentu setelah terjadinya bencana. Karena pada usia lansia, fungsi tubuh mereka sudah tidak sebagus fungsi tubuh individu usia yang lebih muda, sehingga terkadang dalam beberapa hal membutuhkan bantuan pihak yang usianya lebih muda dari usia lansia ini. Kesiapsiagaan bencana merupakan aktivitas yang bertujuan untuk menghadapi bencana dengan lebih siap (Surwaningsih, 2019). Pada usia lansia cenderung disalahgunakan oleh orang lain, seperti contohnya yaitu setelah serangan terror 11 September, pemerintah dan lembaga swasta mendesak kelompok lansia untuk waspada terhadap penjahat dan meyakinkan mereka untuk menyumbangkan uang milik mereka. Hal ini dicurigai merupakan bentuk tindakan eksploitasi dan penyalahgunaan terhadap kelompok lansia dalam menghadapi bencana. Oleh karena itu, kesiapsiagaan terhadap bencana pada kelompok usia lansia sangat diperlukan agar tidak di eksploitasi dan disalahgunakan oleh beberapa pihak yang tidak bertanggung jawab. 

Bentuk lain eksploitasi dan penyalahgunaan terhadap kelompok lansia seperti pada peraturan yang diterapkan di tempat penampungan darurat atau pengungsian yang bisa saja menimbulkan bahaya bagi kelompok usia lansia, terutama mereka yang memiliki gangguan pada segi fisik, mental, dan kognitif (Baylor College of Medicine and American Medical Association, 2006). Mereka bisa menghadapi berbagai bahaya di tempat penampungan darurat. Kelompok usia lansia perlu dibekali dengan ilmu-ilmu pengetahuan mengenai kesiapsiagaan saat menghadapi bencana sebab lansia merupakan kelompok yang rentan dan dengan diberikannya pendidikan mengenai kesiapsiagaan bencana, mereka setidaknya bisa menyelamatkan ataupun melindungi diri sendiri, sehingga bisa mengurangi resiko terjadinya eksploitasi ataupun penyalahgunaan oleh beberapa pihak. Beberapa upaya harus dilakukan untuk mendidik atau memberi ilmu kepada kelompok usia lansia, orang yang mengasuh mereka, dan penyedia layanan kesehatan kelompok lansia mengenai bahaya melakukan eksploitasi terhadap kelompok usia lansia, kemudian mengenai penyalahgunaan kelompok usia lansia sebab mereka mungkin tidak mengetahui bahaya bencana sebaik kelompok usia yang lebih muda, kemudian kebanyakan kelompok usia lansia bergantung pada kelompok usia lebih muda yang berperan sebagai pengasuh mereka. Kebijakan yang dibuat dalam upaya kesiapsiagaan terhadap bencana harus dibuat untuk mencegah beberapa pihak melakukan eksploitasi dan penyalahgunaan terhadap kelompok usia lansia selama keadaan darurat bencana. Sebaliknya, kelompok usia lansia harus dijaga dan diperlakukan dengan baik selama terjadinya bencana sebab mereka termasuk kedalam kelompok usia yang rentan saat bencana terjadi.

Tahap yang kelima dalam kesiapsiagaan bencana bagi lansia yaitu adanya akses dan memanfaatkan sumber daya yang tersedia. Ada banyak hal yang mempengaruhi seseorang untuk mencari bantuan ketika bencana, seperti kurangnya sumber daya ekonomi, kurangnya dukungan sosial yang tersedia, dan lain-lain. Para lansia terlihat kurang memanfaatkan layanan yang tersedia saat bencana terjadi ataupun setelah bencana terjadi. Setelah bencana terjadi, lansia mungkin kehilangan alat-alat bantu yang biasanya digunakan dalam kehidupan sehari-hari, seperti kacamata baca, alat bantu dengar, tongkat untuk membantunya berjalan dan alat-alat lainnya. Ketika para lansia yang membutuhkan alat bantu untuk mempermudah kehidupannya kehilangan alat bantu tersebut, hal ini akan menyulitakan lansia untuk beradaptasi saat bencana telah terjadi. Contohnya, seorang lansia yang kehilangan kacamata bacanya akan sulit mengisi formulir di suatu layanan, sehingga pada akhirnya lansia tidak akan pergi ke tempat layanan tersebut. 

Dengan umur yang semakin tua, tidak jarang lansia mengalami gangguan fisik serta gangguan lainnya yang mungkin dialami oleh beberapa lansia. Dengan adanya gangguan fisik atau lainnya para lansia mungkin sulit untuk mendapatkan kebutuhan sehari-harinya seperti obat dan lain halnya karena ada toko yang tutup setelah bencana. Sehingga dengan adanya akses transportasi yang mudah ke tempat tersebut, sangat mempermudah orang-orang terutama lansia untuk membeli kebutuhannya. Ketika mengalami kondisi darurat bencana ataupun dalam kondisi  bencana lansia sangat membutuhkan dukungan atau dukungan perlindungan untuk mengakses layanan yang dibutuhkan oleh lansia. 

Sesuai dengan yang sudah dijelaskan sebelumnya, menurut Kim dan Zakour (2017) juga mendukung bahwa beberapa hal yang mempengaruhi sikap kesiapsiagaan pada lansia. Pertama, lansia sangat membutuhkan dukungan sosial informal. Dengan adanya dukungan sosial yang diberikan seseorang kepada lansia dapat meningkatkan kesiapsiagaan para lansia ketika bencana terjadi. Para lansia dapat memeproleh informasi darurat bencana dari orang terdekatnya  seperti keluarga, teman atau tetangga. Dengan adanya pertukaran infomarasi mengenai darurat bencana dari orang terdekatnya akan mengakibatkan kesiapsiagaan lansia meningkat. Kedua, adanya dukungan dari suatu komunitas seperti lembaga masyarakat selama bencana akan membantu lansia mendapatkan informasi saat menanggapi bencana, informasi mengenai pelaksanaan evakuasi, dan informasi lainnya. Dan terakhir, pendapat dan pendidikan lansia. Lansia yang memiliki pendapatan dan pendidikan yang rendah, cendrung tidak siap ketika suatu bencana terjadi. Sebaliknya, lansia yang memiliki pendidikan dan pendapatan yang lebih tinggi akan merasa siap ketika suatu bencana terjadi. Adanya dukungan informal dari orang terdekat akan berpengaruh pada kondisi ekonomi dan kesiapsiagaan sumber daya seseorang. Ketika seorang lansia dihadapi pada suatu situasi yang darurat, mereka dapat memperoleh sumber daya seperti meminta bantuan dalam hal transportasi, ekonomi dan akses perawatan medis, akan meminta tolong kepada orang terdekatnya bukan lembaga masyarakat. 

Dalam Nurhidayati & Ratnawati (2018) menyebutkan bahwa kesiapsiagaan pada bencana ini merupakan perlindungan pada setiap anggota keluarga yang rentan saat bencana yang mana lansia merupakan salah satu kelompok rentan dalam situasi bencana. Kerentanan yang terjadi pada lansia saat terjadinya bencana ataupun pasca bencana adalah seperti penyakit yang muncul akibat bencana baik itu secara fisik maupun mental ataupun terganggunya kemampuan mobilitas pada saat melakukan kegiatan evakuasi diri turut menjadi salah satu yang rentan terjadi pada lansia diakibatkan adanya keterbatasan fisik ataupun mental yang dialami oleh lansia. Masalah pendengaran, mobilitas fisik, penglihatan maupun daya ingat juga mempengaruhi tingkat survival saat bencana atau peristiwa kegawatdaruratan terjadi. Walaupun pada keadaan normal keterbatasan yang dialami dapat ditoleransi, hal tersebut sangat berpengaruh saat bencana terjadi. Keterbatasan  tersebut membuat lansia kesulitan untuk bergerak lebih cepat atau meninggalkan rumah mereka pada saat kejadian bencana, baik itu gempa bumi yang diakibatkan oleh gunung berapi ataupun gempa tektonik akibat patahan lempeng di lautan serta bencana lain seperti tanah longsor atapun bencana akibat adanya kelalaian dalam proses teknologi. Dukungan sosial juga menjadi faktor pendukung bagi lansia untuk menghadapi situasi bencana, karena bagi lansia yang terkendala secara fisik dan mental sangat membutuhkan bantuan dari sosial baik itu keluarga ataupun pada lansia yang tinggal sendiri juga membutuhkan bantuan dari pengasuh yang merawat mereka. Dengan demikian, pada kelompok lansia pengetahuan akan kesiapan menghadapi tantangan pada saat terjadinya bencana ataupun pasca bencana serta sikap yang akan diambil merupakan faktor penting untuk menjadi dasar bagi individu dalam menghadapi situasi bencana, sehingga karena hal ini dapat melakukan suatu respon atau tanggapan yang baik dalam menghadapi bencana nantinya.


Daftar Pustaka


Brunner, J.,& Lewis, D. (2006). Planning for emergencies. Journal Principal Leadership, 6(8), 65-66

Daud, dkk. (2014). Penerapan pelatihan siaga bencana dalam meningkatkan pengetahuan, sikap, dan tindakan komunitas sma negeri 5 banda aceh. Jurnal Ilmu Kebencanaan, 1(1), 26-34 

Dwi,dkk (2021). Kerja Sama Pengurangan Risiko Bencana Indonesia Australia 2016-2018 (Studi Kasus : Implementasi Kerja Sama Pengurangan Risiko Bencana Di Nusa Tenggara Timur).Jurnal Academia Praja Volume 4 Nomor 1 – Februari 2021

Pahleviannur, M. R. (2019). Edukasi sadar bencana melalui sosialisasi kebencanaan sebagai upaya peningkatan pengetahuan siswa terhadap mitigasi bencana. Jurnal Pendidikan dan Ilmu Sosial, 29(1), 40-55

Widjanarko, M., & Ulum, M. (2018). Pengaruh pendidikan bencana pada perilaku kesiapsiagaan siswa. Jurnal Ecopsy, 5(1), 1-7

Nurhidayati, I., & Bahar, K. (2018). Dukungan Keluarga Meningkatkan Kesiapsiagaan Lansia Dala

Neria, Y., Galea, S., & Norris, F. H. (2009). Mental Health and Disasters. Cambridge University Press.

Nurhidayati, I., & Bahar, K. (2018). Dukungan Keluarga Meningkatkan Kesiapsiagaan Lansia Dalam Menghadapi Bencana Gunung Berapi. Jurnal Keperawatan Respati Yogyakarta, 5(1), 302-308.

Suwarningsih, S., Nurwidiasmara, L., & Mujahidah, Z. (2019). Lansia Dalam Menghadapi Bencana Di Kota Bogor. Jurnal Ilmiah Kesehatan, 11(2), 134-146.

Kim, H., & Zakour, M. (2017). Disaster Preparedness among Older Adults: Social Support, Community Participation, and Demographic Characteristics. Journal of Social Service Research, 43(4), 498–509.

Neria, Y., Galea, S., & Norris, F. H. (2009). Mental Health and Disasters. New York : Cambridge University Press.

Nurhidayati & Ratnawati (2018). Kesiapsiagaan Keluarga Dengan Lanjut Usia Pada Kejadian Letusan Merapi Di Desa Belerante Kecamatan Kemalang. Jurnal Keperawatan Dan Kesehatan Masyarakat Stikes Cendekia Utama Kudus

Siregar, S. J., Wibowo, A. (2019). Upaya pengurangan risiko bencana pada kelompok rentan. Jurnal Dialog Penanggulangan Bencana, 10 (1), 30-38.

Qonita, F. N., dkk. (2021) Kesehatan pada orang lanjut usia. Jurnal Psikologi Wijaya Putra, 2(1).

Banerjee, D. (2020). The impact of covid-19 pandemic of elderly mental health. International Journal of Geriatric Psychiatry, 35(12), 1466-1467.

Jia, Z., Tian, W., Liu, W., Cao, Y., Yan, J., & Shun, Z. (2010). Are the elderly more vulnerable to psychological impact of natural disaster? A population-based survey of adult survivors of the 2008 Sichuan earthquake. BMC Public Health, 10(1), 172. 

APA. (2013). Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, Fifth Edition (DSM-5). Arlington: American Psychiatric Publishing.

Post a Comment

0 Comments


SELAMAT DATANG DI SEMOGA ANDA PUAS