Ticker

6/recent/ticker-posts

Kesehatan Mental Tim Rescue di Lokasi Bencana Sering Terabaikan : Bagaimana Menanggulanginya?

 


Artikel Kelompok 7 :

Desi Kurniati 

Mutyara 

Fauziah Afrilda


Bencana menurut D. Guha-Sapir, P. Hoyois, R. Below (dalam Mao, X., Fung, O. W. M., Hu, X., & Loke, A. Y., 2018) adalah situasi atau peristiwa yang tidak terduga dan sering terjadi secara tiba-tiba, membutuhkan banyak kapasitas, memerlukan permintaan terhadap bantuan eksternal di tingkat nasional atau internasional, serta menyebabkan kerusakan besar, kehancuran, dan penderitaan manusia. Sedangkan menurut Undang-undang Republik Indonesia No. 24 (2007) tentang penanggulangan bencana, bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan oleh faktor alam dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia yang menimbulkan korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.

Adapun dampak yang dihasilkan dari setiap bencana tidak memiliki ukuran pasti, hal ini disebabkan karena besar kecilnya dampak bencana tergantung pada tingkat kerugian yang dirasakan masyarakat di daerah bencana terjadi (Irawan & Widyawati, 2020). Dampak dari bencana ini dapat dirasakan oleh semua kalangan, baik itu dari anak-anak hingga kalangan lansia sekalipun. Dapat dikatakan bahwa terjadinya bencana memberikan banyak pengaruh terhadap banyak orang dalam berbagai aspek dan menyebabkan kerugian ekonomi yang signifikan. Bencana tidak hanya memberikan dampak terhadap korban dan penyintas dari bencana tersebut, namun juga berdampak buruk terhadap kesehatan fisik, psikologis, dan sosial dari orang-orang yang terlibat dalam upaya penyelamatan.

Salah satu pihak yang terlibat dalam upaya penyelamatan adalah rescue workers. Menurut Sifaki-Pistolla, D., Chatzea, V. E., Vlachaki, S. A., Melidoniotis, E., & Pistolla, G. (2016), istilah “rescue workers’’ atau ‘‘rescuers” dapat diartikan sebagai individu yang terlibat dalam aktivitas yang penuh tekanan dan memiliki tujuan untuk memberikan bantuan kepada orang lain dalam keadaan darurat, di mana hal ini dapat dilakukan secara profesional ataupun sukarela. Jadi, rescue workers atau tim penyelamat adalah individu yang memberikan bantuan kepada orang-orang saat keadaan darurat seperti bencana. Beberapa jenis pekerjaan yang termasuk rescue workers adalah petugas pemadam kebakaran, polisi, petugas militer/tentara, tenaga kesehatan profesional, dan sukarelawan (Mao et al., 2018).

Keberadaan rescue workers dan bantuan yang mereka berikan saat bencana terjadi sangat penting dan dibutuhkan. Rescue atau penyelamatan yang bisa dilakukan oleh rescue workers dapat berupa membantu menyelamatkan masyarakat setempat dari bahaya bencana, mengevakuasi korban, memberikan pelayanan dan perawatan medis, membantu memindahkan korban ke tempat yang aman, menghubungkan korban dengan akses fasilitas dan perawatan yang memadai dan lebih baik. Selain itu, rescue workers juga dapat membantu memberikan pemulihan sosial dan psikologis seperti mengajak anak-anak di pengungsian untuk bermain bersama dan menyelenggarakan kegiatan yang variatif untuk menghilangkan kebosanan, kesedihan, dan membangkitkan semangat.

Saat memberikan bantuan pada korban maupun penyintas di lokasi terjadinya bencana, rescue workers dihadapkan secara nyata pada kondisi yang tidak menyenangkan. Tidak semua orang memiliki kemampuan untuk menjalani tugas dan terlibat dalam situasi pasca bencana yang tidak tenang. Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa rescue workers dihadapkan pada berbagai tantangan. Tantangan tersebut dapat berupa tantangan fisik dan psikologis. Tantangan yang dihadapi rescue workers saat melakukan pekerjaannya biasanya adalah rentan untuk mengalami kerusakan fisik hingga cedera serius, serta tantangan psikis seperti rentan mengalami kekecewaan ketika mereka tidak berhasil menyelamatkan hidup korban serta menyaksikan reaksi emosional para penyintas seperti distress, kesedihan, dan kemarahan (Mao et al., 2018). Ozen S, Sir A (dalam Sifaki-Pistolla, D., 2016) juga menjelaskan bahwa rescue workers menyaksikan adegan korban dari segala usia yang terluka, sekarat, atau kematian yang mengerikan sekarat, jeritan orang yang meminta bantuan, duka atau penderitaan dari orang yang melihat keluarga atau orang yang mereka cintai sedang berada dalam bahaya. Oleh karena itu, rescue workers harus memiliki kekuatan mental untuk dapat terlibat penuh dalam lingkungan tempat terjadinya bencana dan menjalani tugasnya dengan maksimal.

Selain membantu korban dan memastikan keselamatan korban, rescue workers juga harus siap untuk menghadapi berbagai keterbatasan akibat bencana (Melina, Grashinta, & Vinaya, 2012). Diantaranya yaitu keterbatasan kesediaan bahan pangan dan makanan yang seadanya serta kekuatan fisik yang terbatas. Hal ini mengharuskan rescue workers untuk tidak hanya menyumbangkan tenaganya untuk menolong korban bencana, tapi juga harus mampu untuk menolong dirinya sendiri. Keterbatasan dalam situasi yang membutuhkan banyak sumber daya juga dapat menjadi sumber stres pada rescue workers saat berada di lokasi terjadinya bencana.

Paparan yang berulang terhadap peristiwa yang menyebabkan stres dan tidak menyenangkan akibat bencana dapat mempengaruhi kondisi kesehatan mental rescue workers. Semua stressor ini bisa meningkatkan potensi dampak negatif pada rescue workers dibanding dengan populasi umum yang tidak terkena bencana (Walker, A., McKune, A., Ferguson, S., Pyne, D. B., & Rattray, B., 2016). Meski tidak terpapar langsung dengan bencana, namun rescue workers memiliki stressor yang diakibatkan oleh bencana. Rescue workers memiliki risiko tinggi untuk mengalami masalah psikologis, seperti acute stress disorder (ASD), kecemasan dan depresi, post-traumatic stress disorder (PTSD), dan gangguan psikologis lainnya. Dampak negatif pada petugas penyelamat bisa bertahan lama (Mao et al., 2018).

Untuk PTSD, support rescuers lebih mungkin untuk mengembangkan gangguan tersebut dan memiliki penilaian yang lebih rendah terhadap kualitas hidup mereka (Kang, Peng; Lv, Yipeng; Hao, Lu; Tang, Bihan; Liu, Zhipeng; Liu, Xu; Liu, Yuan; Zhang, Lulu, 2015). Support rescuers merupakan rescue workers yang tidak berasal dari lokasi terjadinya bencana, sedangkan local rescuers berasal dari lokasi terjadinya bencana. Saat bencana terjadi, local rescuers mungkin juga merasakan penderitaan karena kehilangan keluarga dan orang-orang tersayang. Namun, mereka juga memiliki tanggung jawab untuk segera membantu orang-orang di sekitar mereka. Terkadang, local rescuers bahkan tidak sempat menghubungi keluarga mereka sendiri karena harus segera bergegas pergi ke daerah yang terkena dampak bencana paling serius.

Pada beberapa kasus lapangan, yakni salah satunya bencana di daerah Eropa yang menghadirkan banyak rescue workers dari berbagai daerah untuk melakukan layanan pencarian, penyelamatan, dan pertolongan pertama untuk para korban bencana, diketahui memiliki gangguan kesehatan mental setelah menyelesaikan tugas pekerjaannya. Pada penelitian tersebut juga menggambarkan dampak pada kesehatan mental dari rescue workers yang mengakibatkan berkembangnya Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD). Dampak yang terjadi selain dari segi fisik, ialah segi mental dari individu yang terlibat dalam suatu bencana. pemahaman tingginya tekanan dan stres kerja yang dialami rescue workers, menyebabkan munculnya anggapan bahwa terkena Post-Traumatic Stress Disorder adalah suatu hal yang relatif normal dan umum. Hal ini didukung oleh hasil tinjauan sistematis dan meta analisisi yang menggambarkan prevalensi PTSD di dunia adalah 10% dari pekerja rescue workers (Pistolla et al., 2016).

Seperti yang diketahui, frekuensi bencana semakin meningkat di seluruh belahan dunia, isu kesehatan mental terkhusus pada dampak bencana sudah menjadi banyak fokus penelitian saat ini. Rescue workers yang mengalami gangguan kesehatan mental akan berpengaruh terhadap well-being dan fungsi tubuhnya sehingga menghambat aktifitas sehari-hari lainnya (Mao et al., 2019). Selain dari gangguan kesehatan mental PTSD, terdapat beberapa gangguan lainnya yang cukup signifikan ikut hadir dalam masalah kesehatan mental rescue workers. Diantaranya seperti, acute stress disorder (ASD), anxiety, depression, dan beberapa symptom lainnya. Kesalahan fatal saat rescue workers kurang mampu menjaga kesehatannya saat bekerja adalah durasi atau lamanya efek gangguan yang muncul. Terbukti bahwa gangguan kesehatan mental yang muncul akibat bencana berlangsung lama dari sebuah kasus, dimana rescue workers pada bencana serangan World Trade Center (WTC) menunjukkan 9,7% mengalami Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD) yang remitten yang sudah berlangsung 11-13 tahun yang lalu semenjak proses pekerjaanya di tempat peristiwa bencana.

Terganggunya psychological well-being dan dunia kerja akibat dampak risiko bekerja sebagi rescue workers bisa diindikasikan sebagai individu yang mempunyai simptom Acute Stress Disorder (ASD). Meskipun tergolong tidak begitu banyak diteliti, namun ASD juga termasuk kedalam proses penurunan kesehatan mental rescue workers yang biasanya akan menjadi akar munculnya PTSD. Hal ini didukung oleh data bahwa individu dengan Acute stress disorder berisiko tiga kali lebih tinggi yaitu sebanyak 7,3 % untuk memunculkan PTSD. Gangguan kesehatan mental yang sering muncul selanjutnya ialah kecemasan atau anxiety. Kecemasan muncul akibat pikiran yang sulit dikendalikan dan belum bersifat realistis, sehingga membuat seseorang mempunyai gejala fisik dan mental seperti perasaan yang tidak jelas, gemetaran, berkeringat, pusing hingga berdebar-debar akibat apa yang dibayangkannya (Mao et al., 2018).

Selain anxiety, depresi juga dianggap sebagai gangguan kesehatan yang cukup rentan dalam permasalahan yang tidak terselelaikan. Depresi juga dapat diklasifikasikan diatas gangguan anxiety, hal ini dikarenakan dampaknya yang cenderung lebih besar. Contoh dampak dari gangguan kesehatan mental depresi seperti sulit mengatur pola tidur, makan, fokus yang berantakan, dan sebagainya. Dalam penelitian Mao et al. (2018) juga menyebutkan prevalensi dari anxiety dan depresi antara 0,7% hingga 31,7% dan 1,3 hingga 27,1%,. Beberapa dampak pada kesehatan mental akibat bencana lainnya bisa terlihat dalam kehidupan sehari-hari, seperti mengkonsumsi alcohol, gangguan panik, hingga percobaan bunuh diri (Mao et al., 2018).

Namun, pada dasarnya, gangguan kesehatan mental yang sudah valid dari beberapa penelitian yang menjelaskan Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD) adalah gangguan dengan kerentanan dan risiko tinggi terhadap individu yang terpapar suatu bencana. kemudian, besaran dampak yang dialami individu rescue workers juga dipengaruhi oleh usia dan gender serta tingkat jenis pekerjaan. Hal ini sesuai dengan contoh pada sebuah penelitian, dimana individu sebagai rescue workes yang biasa disandingkan dengan polisi pada bencana tersebut, maka didapatkan polisi yang relatif lebih kecil dibandingkan rescue works biasa (Mao et al., 2018). Dari segi usia, terdapat kaitan antara usia dan PTSD, pada hasilnya terdapat butkti, semakin tinggi usia maka semakin rentan juga mengalami PTSD. Penemuan lainnya juga menggambarkan dengan jelas bahwa rescue workers perempuan menunjukkan prevalensi yang cukup tinggi terhadap munculnya Post Traumatic Stress Disorder (PTSD).

Munculnya gangguan kesehatan mental pada rescue workers juga dibuktikan dari berbagai penelitian yang mendapatkan hasil tingginya pengaruh dari bencana terhadap kerentanan kambuhnya gangguan psikiatris dari individu yang berhubungan langsung dengan bencana. Walaupun rescue workers merupakan tenaga profesional yang diyakini paham dengan risiko kerjanya, namun tetap dibutuhkan manajemen yang baik dan tepat sebagai sumber utama dalam mengurangi risiko terganggunya kesehatan mental para rescue workers (Math, 2015).

Pada sebuah literasi bencana oleh Mao, et al. (2021), dijelaskan bahwa karakteristik utama yang rentan mengalami gangguan kesehatan mental adalah sulitnya mengendalikan diri (self-control), mudah merasa takut, cemas yang sulit dikondisikan, adaptive coping, rendahnya self-efficacy, kurangnya dukungan sosial yang dimiliki dan resilience dari dalam individu rescue workers tersebut. Pemahaman dari rescue workers akan kebutuhan yang bersangkutan dengan risiko pekerjaannya akan meningkatkan kesehatan mental saat ia bekerja. Disamping itu, paparan kejadian-kejadian traumatis cukup menjadi trigger dalam mengalami kekambuhan gangguan kesehatan mental dari individu rescue workers. Hal tersebut guna menghindari risiko dan konsekuensi dari gangguan kesehatan mental saat melakukan rescue evakuasi di daerah bencana terjadi.

Berdasarkan permasalahan dan kondisi mental yang dirasakan oleh rescue workers pada saat bencana tersebut, maka rescue workers memerlukan sebuah cara agar bangkit dari tekanan dan menjaga kesehatan mentalnya. Hal ini sesuai dengan pernyataan Dillashandy dan Pandjaitan (2018) bahwa terjadinya bencana bisa menimbulkan kerentanan pada komunitas, sehingga komunitas harus mampu beradaptasi dengan situasi yang baru. Kemampuan dalam hal penyesuaian diri atau adaptasi yang dimiliki oleh rescue workers ini berperan penting sebagai salah satu upaya untuk menjaga kesehatan mental rescue workers di lokasi bencana.

Untuk menjaga kesehatan mental para rescue workers tersebut, mereka harus menumbuhkan resiliensi di dalam diri mereka terlebih dahulu. Resiliensi merupakan kemampuan individu untuk bangkit setelah adanya peristiwa yang menekan. Menurut Maddi dan Khoshaba (2005) resiliensi adalah sebuah kapasitas yang dimiliki individu untuk bertahan dan mengembangkan dirinya meskipun berada dalam situasi yang sulit, dan dari hal tersebut individu juga mampu untuk belajar, berubah, dan mengatasi masalah yang ada di kehidupannya. Resiliensi juga memiliki arti dimana sebuah komunitas mampu untuk mengatasi gangguan atau perubahan dan mampu mempertahankan sikap adaptif dalam dirinya (Maguire & Cartwright, 2008).

Dari penjelasan tersebut, rescue workers yang resilien harus mampu menguasai sumber daya dan kapasitas penyesuaian diri dengan cara yang proaktif dan pre-emptive, sementara kelompok yang memiliki resiliensi rendah biasanya cenderung mengambil tindakan setelah terjadinya dampak atau perubahan dari sebuah peristiwa (Maguire & Cartwright, 2008). Resiliensi dari sebuah komunitas dapat dikatakan tercapai apabila sistem kehidupan setelah terjadinya bencana dapat berfungsi kembali dan komunitas tersebut dapat merasa nyaman dengan kehidupan yang baru (Dillashandy & Pandjaitan, 2018). Begitu pula sebaliknya, apabila suatu komunitas seperti rescue workers masih merasa tidak nyaman dengan kehidupan pasca bencana, maka dapat dikatakan bahwa resiliensi yang dimiliki oleh komunitas tersebut tergolong rendah.

Resiliensi telah dipandang sebagai hal yang berperan penting bagi kehidupan individu yang mengalami peristiwa menekan seperti bencana, dan resiliensi ini dapat mengurangi tekanan psikologis yang dirasakan oleh individu tersebut (Mao et al., 2021). Lebih lanjut, hasil penelitiannya menyebutkan bahwa resiliensi dapat melindungi individu terhadap gangguan stres pasca trauma (PTSD) yang dialami individu pada saat terjadinya bencana. Oleh karena itu, resiliensi sangat penting dimiliki oleh rescue workers agar mampu meningkatkan kesehatan mentalnya meskipun mereka tetap harus bekerja untuk menyelamatkan dan mengevakuasi korban bencana.

Selain resiliensi, dukungan sosial juga berperan terhadap kondisi mental rescue workers ketika terjadinya bencana. Dukungan sosial adalah suatu proses pemeliharaan sosial, peningkatan harga diri, penyediaan feedback, serta pemberian pertolongan kepada seseorang yang sedang memiliki masalah dan tekanan dalam hidup (Cutrona & Russell, 1987). Sedangkan menurut Sarafino (dalam Kumalasari, 2012) dukungan sosial adalah suatu pertolongan yang diberikan individu kepada individu lain yang membutuhkan sehingga membuat penerimanya merasa nyaman, dicintai, dan dihargai. Oleh karena itu, seseorang yang berperan dalam penanggulangan bencana seperti rescue workers juga membutuhkan bantuan atau dukungan, agar mereka mampu mengatasi dan mengurangi tekanan yang sedang dihadapinya akibat bencana serta merasa nyaman dan dihargai oleh lingkungan sekitar.

Sebuah penelitian oleh Rahayu, Sjattar, dan Seniwati (2021) menyatakan bahwa dukungan sosial bisa berpengaruh terhadap kejadian traumatik yang dialami oleh tim SAR. Dukungan sosial yang dapat diberikan contohnya adalah dukungan moril dari orang-orang sekitar, serta tersedianya tempat untuk berbagi pengalaman dan masukan dari lingkungan sekitar. Dengan adanya dukungan sosial, maka rescue workers bisa merasa bahwa lingkungan sekitar peduli terhadap permasalahan yang terjadi dengan dirinya, dan mengurangi permasalahan yang dirasakannya tersebut. Sejalan dengan penelitian yang dilakukan yang dilakukan oleh Cheng, Wang, Wen, & Shi (2014); Zang et al. (2017) bahwa gejala traumatik bisa ditimbulkan karena rendahnya dukungan sosial yang diperoleh oleh individu.

Dukungan sosial berkaitan pula dengan resiliensi yang dimiliki oleh seseorang pada saat peristiwa bencana. Hal ini karena dukungan sosial seiringan dengan bagaimana cara yang dilakukan oleh individu dalam mengontrol dan mengurangi munculnya tekanan stres yang dialami ketika bencana. (Rahayu, Sjattar, & Seniwati, 2021). Semakin tinggi dukungan sosial yang diperoleh oleh individu dari lingkungannya, maka semakin rendah pula kemungkinan individu tersebut untuk merasakan stres pada saat bencana (Tentama, 2014). Hal ini sejalan dengan pernyataan Mao et al. (2021) bahwa dukungan yang diberikan pada saat bencana bisa memberikan kontribusi terhadap pengembangan resiliensi individu, termasuk rescue workers.

Berdasarkan berbagai ulasan di atas, dapat kita simpulkan bahwa bencana tidak hanya memberikan dampak terhadap korban dan penyintas bencana, namun juga berdampak pada kesehatan mental dari orang-orang yang terlibat dalam penyelamatan seperti rescue workers. Adapun dampak yang dirasakan oleh rescue workers tersebut meliputi kerusakan fisik hingga cedera serius serta gangguan emosional seperti kekecewaan, kesedihan, kemarahan akibat tidak mampu menolong korban bencana, bahkan gangguan traumatis. Selain itu, masalah psikologis lainnya juga turut dialami oleh rescue workers seperti ASD, kecemasan, PTSD, dan lain sebagainya. Kemudian, untuk mengatasi berbagai dampak psikologis dan gangguan kesehatan mental, serta mengurangi tekanan akibat bencana tersebut, rescue workers membutuhkan kemampuan resiliensi dalam dirinya serta dukungan sosial dari lingkungan sekitar. Oleh karena itu, kontribusi yang dapat kita berikan sebagai anggota masyarakat adalah berupa dukungan emosional, pemberian motivasi, informasi, saran dan masukan, serta donasi terhadap rescue workers. Selain itu, kita juga bisa membantu rescue workers dengan cara ikut serta dalam penanggulangan bencana dan meningkatkan pengetahuan mengenai kesiapsiagaan bencana.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Cheng, Y., Wang, F., Wen, J., & Shi, Y. (2014). Risk Factors of Post-Traumatic Stress Disorder ( PTSD ) after Wenchuan Earthquake : A Case Control Study. 9(5), 1–7.

Cutrona, C. E., & Russell, D. W. (1987). The provisions of social relationships and adaptation to stress. Advances in Personal Relationship, 1(January), 37–67.

Dillashandy, N. A., & Panjaitan, N. K. (2018). Kapasitas Adaptasi dan Resiliensi Komunitas Menghadapi Bencana Erupsi Gunung Merapi. Jurnal Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat [JSKPM], 2(5), 617-626.

Irawan, M. N., & Widyawati, S. (2020). Penggunaan Social Stories untuk Menurunkan Perilaku Nonadaptif Saat Berada dalam Kendaraan Bagi Autisme Dewasa. Philanthropy: Journal of Psychology, 1(2), 103-114.

Kang, Peng; Lv, Yipeng; Hao, Lu; Tang, Bihan; Liu, Zhipeng; Liu, Xu; Liu, Yuan; Zhang, Lulu (2015). Psychological consequences and quality of life among medical rescuers who responded to the 2010 Yushu earthquake: A neglected problem. Psychiatry Research, 230(2), 517–523.

Kumalasari, F., & Ahyani, L. N. (2012). Hubungan antara dukungan sosial dengan penyesuaian diri remaja di panti asuhan. Jurnal Psikologi: PITUTUR, 1(1), 19-28.

Maddi, S. R., & Khoshaba, D. M. (2005). Resilience at work: How to succeed no matter what life throws at you. Amacom Books.

Maguire B, Cartwright S. 2008. Assessing A Community’s Capacity to Manage Change: A Resilience Approach To Social Assessment. Canberra (AU): Commonwealth of Australia.

Mao, X., Fung, O. W. M., Hu, X., & Loke, A. Y. (2018). Psychological impacts of disaster on rescue workers: A review of the literature. International Journal of Disaster Risk Reduction, 27, 602-617.

Mao, X., Loke, A. Y., Fung, O. W. M., & Hu, X. (2019). What it takes to be resilient: The views of disaster healthcare rescuers. International journal of disaster risk reduction, 36, 101112.

Mao X, Hu X, & Loke AY. (2021). A concept analysis on disaster resilience in rescue workers: The psychological perspective. Disaster Medicine Public Health Preparedness, 1-10, https://doi.org/10.1017/dmp.2021.157

Math, S. B., Nirmala, M. C., Moirangthem, S., & Kumar, N. C. (2015). Disaster management: mental health perspective. Indian journal of psychological medicine, 37(3), 261-271.

Melina, G. G., Grashinta, A., & Vinaya, V. (2012). Resiliensi dan altruisme pada relawan bencana alam. Jurnal Psikologi Ulayat: Indonesian Journal of Indigenous Psychology, 1(1), 17-24.

Pinto, R. J., Henriques, S. P., Jongenelen, I., Carvalho, C., & Maia, Â. C. (2015). The strongest correlates of PTSD for firefighters: Number, recency, frequency, or perceived threat of traumatic events?. Journal of traumatic stress, 28(5), 434-440.

Rahayu, S., Sjattar, E. L., & Seniwati, T. (2021). Factors Affecting Secondary Traumatic Stress Disorder among Search and Rescue Team in Makassar. Indonesian Contemporary Nursing Journal, 49-57.

Sifaki-Pistolla, D., Chatzea, V. E., Vlachaki, S. A., Melidoniotis, E., & Pistolla, G. (2016). Who is going to rescue the rescuers? Post-traumatic stress disorder among rescue workers operating in Greece during the European refugee crisis. Social psychiatry and psychiatric epidemiology, 52(1), 45-54.

Tentama, F. (2014). Dukungan Sosial dan Post- Traumatic Stress Disorder. 13(2), 133–138.

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Pengaggulangan Bencana, (2007).

Walker, A., McKune, A., Ferguson, S., Pyne, D. B., & Rattray, B. (2016). Chronic occupational exposures can influence the rate of PTSD and depressive disorders in first responders and military personnel. Extreme physiology & medicine, 5(1), 1-12.

Zang, Y., Gallagher, T., McLean, C. P., Tannahill, H. S., Yarvis, J. S., & Foa, E. B. (2017). The impact of social support, unit cohesion, and trait resilience on PTSD in treatment-seeking military personnel with PTSD: The role of posttraumatic cognitions. Journal of Psychiatric Research, 86, 18–25.

Post a Comment

0 Comments


SELAMAT DATANG DI SEMOGA ANDA PUAS