Ticker

6/recent/ticker-posts

Aksi Kolektif Menghadang Covid-19




Oleh : Elfindri dir SDGs Unand


Ide untuk bergerak bersama, baik konsumsi maupun penyediaan barang publik tidaklah merupakan hal yang baru. 


Bahkan Mancur Olson tahun 1965 telah menghasilkan teori "collective actions". Intinya agar terjadi efisiensi, maka setiap produksi barang publik dapat dinikmati secara bersama.


Lantas dalam masa pandemi ini masalah mendasar ada pada sikap dan perilaku bersama. Mulai dengan mau patuh penerapan 3M, mau ikuti ketentuan syarat perjalanan dan syarat kerja dan bisnis dengan terlebih dahulu ada upaya "screening" bersama. Test tes dab test. Supaya ketahuan siapa yang memiliki kasus agar segera diputus mata rantainya.


Mulai dari persiapan, pelaksanaan, sampai selesai antara keyakinan falam membentuk perilaku. Dan perilaku hendaknya dapat meminimumkan dampak negative.


Selain pemeriksaan PCR mau untuk seluruh penumpang yang bepergian, petugas pelayan pemerintah mulai dari tenaga medis, guru, pelayan restoran dan seluruh pelayan mesti patuh bersama. 


Demikian juga jika pelayan sudah patuh maka yang di layani juga patuh mulai dari wisatawan, yang akan memperoleh layanan medis, ibu hamil, siswa dan mahasiswa, penumpang dan seluruhnya mesti tunduk dengan teorinya Mancur Olson itu. 


Dimana tindakan bersama secara kompak akan membuat barang publik menjadi optimal. Dalam konteks sekarang tentu fasilitas publik yang membuat penularan covid mendekati nol. Gara gara semua masyarakat mau kompak disiplin.


Demikian juga selain pada area publik, pada skala yang lebib kecil kampung, masjid dan rumah tangga juga demikian. Keterpakaian teori Olson tetap tinggi. 


Kenapa tidak, jika saja ada peserta sholat yang tertular apalagi tidak pakai masker akan memudahkan untuk memindah kepada jamaah lain di masjid yang sama.


 Hubungan interaksi dengan Allah pun ketika sholat tidak pakai masker bisa juga diingapi oleh covid. Simulasi di restoran bersin dan oeroindahan  covid antar pengunjung bisa jadi pegangan kita.


Di dalam rumah tangga, anggota rumah tangga semua pakai masker, namun ketika ada diantara yang tidak memakainya maka akan mudah tertular. Baik via benda atau langsung dengan mekanisme virus untuk masuk ke dalam hidung seseorang atau lewat mulut. 


Dengan kata lain dalam masa pandemi ini tidak bisa tindakan untuk disiplin tidak dilakukan secara bersama.


Sebuah kajian yang dilakukan oleh BPS antara 7-14 September 2020 cukup menarik kita simak sebagaimana dianalisa oleh saudara Sonny H B Harmadi dalam Kompas tanggal 29 Desember 2020. 


Sekitar 17 persen masyarakat yg disurvei tak yakin akan tertular covid-19. Maluku 29,2 persen tertinggi dan Yogyakarta 11,7 persen termasuk terendah.


Kami lihat pada waktu survei itu kondisi covid-19 masih adem adem saja dengan testing rate rendah dan positive rate mulai naik.


Pada masa itu Maluku temuan angka covid-19 termasuk tinggi dan Jogyakarta sebaliknya rendah. 


Tapi lihat di awal Desember angka positive rate Jogyakarta sudah di atas 40 persen  dan Maluku sudah di bawah 10 persen.


Bisa jadi keyakinan yang tinggi akan tidak tertular covid membuat masyarakat kembali meremehkan masalah ini. Dan daerah yang tinggi justru mulai berhati hati.


Yang jelas pembalikan antara keyakinan akan tidak tertular  covid dengan kenyataan dimana covid itu sudah dimana mana dan menyasar seluruh segmen tanpa kecuali. Mau kaya mau miskin sama saja.


Tinggal kita yakin bahwa gerakan bersama itu penting agar kelakuan sebagian kecil masyarakat yang abai akan berkonsekwensi negative kepada kelompok yang sama.


Covid ini mirip dengan nila. Gara gara setitik nila rusak susu sebelangga. 


Gara gara sebagian kecil masyarakat yang tidak yakin maka bisa menjadikan usaha yang besar jadi sia sia. Waspadalah selalu.

Post a Comment

0 Comments


SELAMAT DATANG DI SEMOGA ANDA PUAS