Lingkungan akademik seharusnya menjadi benteng utama atau tempat di mana pengembangan intelektualitas, penempaan karakter, dan pemajuan etika sosial berjalan selaras.
Dalam idealitasnya, perguruan tinggi berfungsi sebagai ruang aman yang menjamin setiap individu, baik mahasiswa, dosen, maupun tenaga kependidikan, dapat mengejar ilmu pengetahuan dan berkarya tanpa rasa takut atau ancaman. Namun, idealitas ini sering kali runtuh di hadapan realitas pahit fenomena pelecehan dan kekerasan seksual yang secara sistemik menyebar di kampus-kampus Indonesia. Kasus-kasus pelecehan, baik yang bersifat verbal, non-verbal, fisik, maupun berbasis dunia maya, bukan lagi insiden terisolasi, melainkan telah menjadi masalah struktural yang mengikis fondasi kepercayaan dan keselamatan dalam institusi pendidikan tinggi.
Kekerasan seksual di kampus adalah pelanggaran hak asasi manusia yang mendasar, secara langsung merampas hak korban atas lingkungan belajar yang aman dan menghambat sepenuhnya hak mereka atas pendidikan yang bermartabat.
Upaya penanganan yang selama ini dilakukan oleh lembaga pendidikan tinggi seringkali bersifat reaktif, dan yang terpenting tidak berpihak pada korban, alih-alih berfokus pada mekanisme yang berpotensi melindungi citra institusi di atas keadilan.
Kegagalan institusional ini pada akhirnya melahirkan dan memelihara apa yang disebut sebagai "Kultur Senyap" sebuah budaya yang di dalamnya korban merasa takut untuk bersuara karena ancaman stigma, dan yang paling parah sanksi ringan atau bahkan pembebasan dari hukum bagi pelaku, terutama mereka yang memiliki relasi kuasa yang tinggi.
Pelecehan seksual di kampus adalah pelanggaran hak asasi manusia yang fundamental dan merupakan hambatan serius terhadap hak atas pendidikan (right to education) bagi korban. Pelecehan didefinisikan secara luas, mencakup segala tindakan bernuansa seksual yang tidak dikehendaki, baik fisik, verbal, maupun non-verbal. Dalam konteks kampus, faktor utama yang memfasilitasi terjadinya pelecehan adalah relasi kuasa yang timpang. Data empiris dari berbagai laporan menunjukkan korelasi yang jelas antara relasi kuasa dan perilaku predatorik, survei yang dilakukan oleh Lentera Sintas Indonesia dan The Body Shop (2020) secara mencengangkan menemukan bahwa lebih dari separuh pelaku pelecehan di kampus (50,6%) adalah dosen atau staf kampus, menggarisbawahi bagaimana jabatan dan otoritas akademik dimanfaatkan untuk eksploitasi. Secara keseluruhan, data dari Komnas Perempuan (2020) menempatkan lingkungan pendidikan sebagai salah satu ranah dengan kasus kekerasan seksual tertinggi. Tingginya prevalensi ini menegaskan bahwa masalah pelecehan di perguruan tinggi adalah isu struktural, bukan sekadar insiden individu.
Meskipun data menunjukkan tingginya angka kejadian, mekanisme penanganan kelembagaan di masa lalu sering kali gagal total, yang pada akhirnya melanggengkan impunitas. Kegagalan ini termanifestasi dalam beberapa cara yaitu yang pertama, proses pelaporan yang tidak memadai dan berbelit-belit. Korban sering kali dipaksa melalui prosedur yang traumatik dan dihadapkan pada reviktimisasi melalui interogasi yang skeptis, alih-alih mendapatkan perlindungan. Kedua, penjatuhan sanksi yang tidak konsisten dan ringan. Pelaku, terutama yang berstatus dosen atau pejabat, seringkali hanya dikenai sanksi administratif minimal, seperti mutasi atau skorsing singkat, yang secara efektif hanya memindahkan masalah tanpa memberikan efek jera yang berarti. Ketiga, kecenderungan lembaga untuk memaksakan mediasi atau jalur kekeluargaan demi menjaga citra kampus. Pendekatan ini secara inheren merugikan korban, mengabaikan dimensi keadilan, dan menutup peluang untuk perubahan struktural yang mendalam. Kegagalan-kegagalan ini membentuk sebuah lingkaran setan impunitas yang menjaga agar "Kultur Senyap" tetap utuh.
Oleh karena itu, diperlukan pergeseran paradigma menuju Kebijakan Nol Toleransi (KNT). KNT adalah sebuah janji kelembagaan yang menggarisbawahi bahwa setiap bentuk pelecehan seksual, tanpa memandang jabatan atau status pelaku, akan dikenai sanksi yang telah ditetapkan secara jelas, tegas, dan konsisten. Penerapan KNT kini didukung oleh Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 30 Tahun 2021 (Permendikbudristek No. 30/2021) tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Perguruan Tinggi. Regulasi ini menjadi instrumen hukum yang krusial karena secara eksplisit mendefinisikan bentuk-bentuk kekerasan seksual dan, yang paling penting, mewajibkan setiap perguruan tinggi membentuk Satuan Tugas (Satgas) PPKS.
Permendikbudristek No. 30/2021 memberikan landasan yang kokoh bagi kampus untuk menjatuhkan sanksi administratif berat, termasuk pemberhentian tetap sebagai pendidik, tenaga kependidikan, atau mahasiswa. Untuk mewujudkan Kebijakan Nol Toleransi (KNT) yang efektif, penegakan sanksi harus memenuhi kriteria berikut:
a) Sanksi Punitif Maksimal: Bagi pelaku yang berstatus dosen atau staf, sanksi harus berupa pemecatan atau pemberhentian tidak hormat. Sanksi ini harus bersifat non-negosiasi dan bertujuan untuk meniadakan kesempatan pelaku menyalahgunakan wewenang di lingkungan akademik.
b) Independensi dan Transparansi Proses: Satgas PPKS harus diberi otoritas penuh dan independen dari hierarki birokrasi kampus untuk melakukan investigasi yang adil, cepat, dan merekomendasikan sanksi. Proses penjatuhan sanksi harus transparan, dengan tetap menjamin kerahasiaan dan keamanan korban.
c) Prioritas Perlindungan dan Restorasi Korban: Penjatuhan sanksi harus diiringi dengan layanan pemulihan holistik bagi korban. Ini mencakup perlindungan dari ancaman atau intimidasi (retaliation), bantuan hukum, konseling psikologis, dan jaminan keberlanjutan studi atau akademik (misalnya, pemindahan kelas/dosen tanpa mengurangi hak akademik). Keadilan harus diukur dari pemulihan martabat korban.
Di luar penegakan sanksi, KNT juga menuntut upaya pencegahan masif. Hal ini termasuk menyelenggarakan edukasi wajib mengenai konsep persetujuan dan etika profesional bagi seluruh sivitas akademika, serta penguatan mekanisme pelaporan yang aman dan anonim untuk mendorong korban berani bersuara tanpa rasa takut. Dengan mengimplementasikan KNT secara utuh yang mencakup pencegahan, penindakan tegas, dan pemulihan perguruan tinggi dapat menunaikan tanggung jawab moral dan hukumnya untuk menciptakan lingkungan yang beradab dan kondusif. Melawan Senyap adalah tugas kolektif; ia menuntut komitmen institusional yang tidak tergoyahkan untuk memprioritaskan keselamatan dan hak-hak korban di atas reputasi dan status pelaku.
Hanya dengan sanksi yang tegas dan kebijakan yang non-kompromi, kampus dapat benar-benar menjadi ruang aman bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan pembentukan karakter bangsa.





























0 Comments