Ticker

6/recent/ticker-posts

PARLEMEN JALANAN: MENGUKUR RELEVANSI GERAKAN MAHASISWA PASCA REFORMASI



Oleh : Aini Ryva Ananta  Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Andalas


Dalam narasi besar sejarah politik Indonesia, gerakan mahasiswa selalu menempati posisi yang sakral, sering kali dipuja sebagai "moral force" atau penjaga hati nurani bangsa yang berdiri tegak ketika pilar-pilar negara mulai keropos, sebuah reputasi yang mencapai puncaknya pada peristiwa monumental tahun 1998 yang berhasil meruntuhkan rezim Orde Baru. Namun, lebih dari dua dekade pasca-reformasi, muncul sebuah pertanyaan eksistensial yang menggelitik, apakah konsep "parlemen jalanan” adalah sebuah metafora untuk tekanan politik ekstra-parlementer yang dilakukan mahasiswa melalui demonstrasi massal yang masih memiliki relevansi yang sama di tengah iklim demokrasi prosedural yang sudah mapan saat ini? Jawabannya tidaklah sesederhana ya atau tidak, melainkan tersembunyi dalam kompleksitas dinamika politik kontemporer di mana lembaga formal sering kali mengalami disfungsi, sehingga memaksa jalanan kembali menjadi mimbar terakhir bagi aspirasi rakyat yang tersumbat. 


Meskipun demokrasi elektoral telah berjalan dan kebebasan berpendapat dijamin oleh konstitusi, realitas politik menunjukkan bahwa saluran-saluran resmi perwakilan rakyat, yakni Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), kerap kali bermetamorfosis menjadi sekadar stempel bagi keinginan oligarki atau koalisi gemuk pemerintah, sehingga fungsi check and balances menjadi tumpul dan mandul. Dalam kekosongan oposisi formal inilah, parlemen jalanan menemukan kembali urgensinya, bukan sebagai upaya untuk merongrong legitimasi negara, melainkan sebagai mekanisme korektif darurat ketika lonceng bahaya demokrasi berbunyi namun diabaikan oleh mereka yang duduk di kursi empuk Senayan.



Namun demikian, memandang gerakan mahasiswa hari ini hanya dengan kacamata romantisme masa lalu adalah sebuah kesalahan fatal, karena tantangan yang dihadapi oleh gerakan mahasiswa kontemporer jauh lebih cair, terfragmentasi, dan rumit dibandingkan dengan musuh tunggal yang dihadapi oleh pendahulu mereka di tahun 1998. Jika dahulu musuhnya adalah otoritarianisme yang kasat mata, hari ini mahasiswa berhadapan dengan musuh yang menyusup dalam regulasi-regulasi yang sah secara hukum namun cacat secara moral, seperti pengesahan berbagai Undang-Undang kontroversial (misalnya Omnibus Law atau revisi UU KPK) yang dilakukan secara kilat dan minim partisipasi publik, yang menuntut kemampuan mahasiswa untuk tidak hanya lantang berteriak di jalanan, tetapi juga tajam dalam kajian intelektual dan analisis kebijakan. Sayangnya, relevansi gerakan ini sering kali tergerus oleh kritik internal mengenai menurunnya kualitas diskursus intelektual di kalangan aktivis, adanya fragmentasi gerakan yang terbelah berdasarkan afiliasi organisasi primordial, hingga tuduhan pragmatisme di mana elit-elit mahasiswa dituding menjadikan gerakan sebagai batu loncatan untuk karir politik praktis. Oleh karena itu, efektivitas parlemen jalanan pasca-reformasi tidak lagi bisa diukur semata-mata dari jumlah massa yang berhasil memacetkan jalan protokol, melainkan dari seberapa kuat narasi yang dibangun mampu menembus tembok kekuasaan dan memengaruhi opini publik secara luas. Tanpa landasan intelektual yang kuat, parlemen jalanan berisiko terjebak menjadi ritual tahunan yang bising namun kosong substansi, yang pada akhirnya hanya akan mengalienasi simpati publik yang mereka perjuangkan.

Di era digital yang serba terhubung ini, relevansi parlemen jalanan juga harus dibaca ulang melalui integrasi antara aksi fisik dan aktivisme digital, di mana jalan raya dan jalan maya (media sosial) tidak lagi bisa dipisahkan, melainkan harus menjadi dua sisi mata uang yang saling menguatkan. Fenomena tagar-tagar viral seperti #ReformasiDikorupsi atau #PeringatanDarurat membuktikan bahwa tekanan publik di dunia maya mampu menjadi katalisator yang memobilisasi massa ke dunia nyata, sekaligus memberikan tekanan psikologis yang masif kepada pemangku kebijakan yang kini sangat peduli pada citra publik. Gerakan mahasiswa pasca-reformasi harus mampu beradaptasi dengan hibridasi ini, mereka harus menjadi jembatan yang menerjemahkan keresahan warganet menjadi aksi nyata, dan sebaliknya, memviralkan isu-isu lapangan yang luput dari sorotan media arus utama ke panggung digital. Jika gerakan mahasiswa gagal beradaptasi dan hanya mengandalkan metode konvensional tanpa amplifikasi teknologi, mereka akan tertinggal dan dianggap usang, namun jika mereka terlalu larut dalam clicktivism tanpa keberanian turun ke jalan, mereka akan kehilangan daya tawar politik yang sesungguhnya. Pada akhirnya, parlemen jalanan tetaplah relevan dan krusial sebagai rem darurat dalam sistem demokrasi kita, asalkan ia terus berevolusi, menjaga kemurnian independensinya dari tunggangan politik praktis, dan tetap setia pada mandat utamanya yaitu menjadi penyambung lidah rakyat yang jujur ketika parlemen resmi memilih untuk membisu.

Post a Comment

0 Comments


SELAMAT DATANG DI SEMOGA ANDA PUAS