Oleh: Mutia Fadillah mahasiswa ilmu budaya universitas Andalas Padang
Setiap tiupan saluang dan bait dendang di Minangkabau menyimpan gema masa lalu yang masih hidup hingga kini. Di antara irama bambu yang melengking lirih dan pantun yang berbalas tawa, terselip potret kehidupan, kritik sosial, dan kebijaksanaan orang Minang yang diwariskan lintas generasi. Pertunjukan bagurau saluang dan dendang bukan sekadar hiburan malam hari di surau atau balai, tetapi menjadi cermin perjalanan sosial masyarakat Minangkabau dari masa ke masa.
Saluang, alat musik tiup dari bambu tipis, menghasilkan suara melankolis yang dalam, seolah menirukan napas alam Minangkabau, tenang, lembut, tapi menyimpan daya hidup yang kuat. Sementara dendang, syair berirama yang disampaikan dengan pantun dan sindiran, menjadi wadah ekspresi masyarakat yang dikenal lugas namun berlapis makna. Di sinilah seni bertemu dengan kehidupan, humor, kritik, dan petuah mengalir tanpa perlu pidato panjang.
Ahimsa-Putra (2000) menyebut bahwa kesenian tradisional seperti ini adalah “cermin sosial”, yang merefleksikan perubahan struktur masyarakat. Dalam konteks Minangkabau, setiap perubahan sosial, dari sistem kekerabatan, peran gender, hingga dinamika ekonomi, terekam melalui perkembangan saluang dan dendang. Ketika perempuan mulai tampil sebagai pendendang, itu bukan sekadar perubahan artistik, melainkan simbol bergesernya tata nilai dan peran sosial di masyarakat Minang.
Sebelum tahun 1960-an, bagurau saluang dan dendang hidup di ruang-ruang kecil dan intim, di pondok sawah, di tepi ladang, atau di acara adat yang sederhana. Pertunjukan ini merupakan wadah silek lidah, adu pantun dan sindiran yang penuh etika, tempat orang Minang menertawakan kehidupan tanpa menyinggung martabat. Namun pasca-pergolakan PRRI dan krisis ekonomi di Sumatera Barat, pertunjukan ini berpindah ke ruang publik yang lebih terbuka, seperti pasar malam dan panggung kota.
Di sinilah seni rakyat menemukan bentuk baru. Dendang menjadi pertunjukan komersial, sementara saluang tidak lagi hanya mengiringi kesenian ritual, tetapi juga menjadi hiburan rakyat. Pergeseran ini bukan menurunkan nilai seni, melainkan memperluas ruang hidupnya. Tradisi bertahan karena mampu beradaptasi.
Kehadiran perempuan di panggung dendang merupakan salah satu peristiwa kultural paling penting dalam sejarah kesenian Minangkabau modern. Dahulu, perempuan tidak diperkenankan tampil di muka umum. Dunia panggung dianggap ruang laki-laki. Namun pada dekade 1970–1980-an, beberapa nama perempuan seperti Mis Ramolai, Mel Rasani, dan Upiak Malai mulai tampil sebagai pendendang.
Mereka menembus batas adat tanpa menabrak nilai-nilainya. Dalam setiap syair yang mereka lantunkan, terselip pesan moral, kisah cinta, dan sindiran sosial yang lembut namun tajam. Mereka tidak hanya menyanyi, tetapi berdialog dengan masyarakat. Di tangan mereka, dendang menjadi wadah suara perempuan Minangkabau, bukan sebagai pemberontakan, tapi sebagai penegasan eksistensi.
Fenomena ini beriring dengan melemahnya sistem pengawasan sosial dalam keluarga matrilineal tradisional. Hubungan mamak–kemenakan (paman–keponakan) perlahan digantikan oleh relasi ayah–anak dalam keluarga inti. Otoritas sosial bergeser, dan ruang privat perempuan melebar. Maka, kehadiran pendendang perempuan adalah simbol sosial dari transformasi keluarga dan peran gender dalam masyarakat Minang.
Dendang Sebagai Kritik dan Renungan
Di balik tawa dan nada ringan, bagurau saluang dan dendang adalah ruang kritik sosial. Pendendang sering menyentil isu-isu moral, politik lokal, hingga fenomena sosial yang sedang hangat. Dengan gaya berpantun, mereka dapat mengkritik tanpa memancing permusuhan, menegur tanpa mempermalukan.
Contohnya, dalam dendang modern, sering muncul pantun seperti:
"Rantau jauh badan den bawak,
Tapi adat indak den tingga,
Nan mudo kini pandai bak TikTok,
Tapi lupa jo mamak di surau lamo."
Bait seperti ini menggambarkan benturan antara nilai tradisional dan gaya hidup digital, disampaikan dengan nada humor, namun sarat pesan moral. Itulah keunikan dendang, ia menghibur sekaligus mendidik.
Kini, seni bagurau saluang dan dendang tidak hanya hidup di panggung, tetapi juga di ruang digital. Pendendang generasi baru seperti Dwi Ratna dan Rani Suherman mengunggah performa mereka ke media sosial. YouTube, Instagram, dan TikTok menjadi arena baru bagi tradisi lama. Irama saluang kini bergaung di antara algoritma digital, menjangkau penonton lintas generasi.
Namun perubahan bentuk ini bukan berarti kehilangan makna. Justru, digitalisasi memberi kesempatan bagi tradisi untuk terus eksis. Melalui rekaman dan dokumentasi, saluang dan dendang kini dapat dipelajari di luar Sumatera Barat, bahkan menjadi bagian dari studi budaya global.
Pada akhirnya, bagurau saluang dan dendang bukan sekadar pertunjukan seni, melainkan cermin perjalanan masyarakat Minangkabau dalam memahami dirinya. Dari sawah ke kota, dari laki-laki ke perempuan, dari bambu ke layar digital, semuanya menunjukkan bahwa tradisi tidak pernah mati; ia beradaptasi, menyesuaikan diri dengan zaman tanpa kehilangan ruhnya.
Ketika saluang ditiup dan dendang dilantunkan, yang terdengar bukan hanya suara musik, melainkan gema sejarah dan kebijaksanaan hidup. Seni ini mengajarkan kita bahwa perubahan bukanlah lawan tradisi, melainkan napas yang menjaganya tetap hidup.
Dan mungkin, selama masih ada orang Minang yang tertawa, bersedih, dan berpantun di bawah langit Sumatera Barat, saluang dan dendang akan terus bergaung, menjadi saksi bisu perjalanan kebudayaan yang tak pernah usai.
 




























 
 
 
 
 
 
 Media online www.jurnalissumbar.com adalah portal berita online yang didedikasikan untuk keterbukaan informasi sesuai dengan UU No.14 Tahun 2008, dimana dalam portal berita ini setiap lembaga publik, baik itu instansi pemerintah maupun lembaga non pemerintah (NGO) bisa mempublikasikan profil, kinerja, ekspost kegiatan, dan laporan keuangan dari masing-masing lembaga ke masyarakat luas guna meningkatkan kepercayaan dan meningkatkan kredibiltas dan akuntabilitas.
Media online www.jurnalissumbar.com adalah portal berita online yang didedikasikan untuk keterbukaan informasi sesuai dengan UU No.14 Tahun 2008, dimana dalam portal berita ini setiap lembaga publik, baik itu instansi pemerintah maupun lembaga non pemerintah (NGO) bisa mempublikasikan profil, kinerja, ekspost kegiatan, dan laporan keuangan dari masing-masing lembaga ke masyarakat luas guna meningkatkan kepercayaan dan meningkatkan kredibiltas dan akuntabilitas. 
0 Comments