Ticker

6/recent/ticker-posts

Menjaga Lisan di Era Digital: Islam dan Adat Minang Bertemu di Ujung Kata



Oleh: Dzaky Herry Marino.             Mahasiswa Sastra Minangkabau, Universitas Andalas


Dalam Islam, lisan adalah amanah. Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata baik atau diam.” Prinsip inilah yang sejalan dengan pepatah Minangkabau “Bara katajam ladiang, labiah tajam muluik manusia.”


Islam dan adat Minangkabau sama-sama menempatkan ucapan sebagai cermin kepribadian. Bagi orang Minang, kata-kata adalah gambaran hati, “Nan manis kato, nan lembut baso, indah dipandang, elok didengar.” Ucapan yang baik bisa mempererat silaturahmi, sedangkan kata-kata tajam bisa memutus persaudaraan.


Di era media sosial, peringatan ini menjadi semakin relevan. Ucapan kini tidak hanya diucapkan, tetapi juga dituliskan dan disebarluaskan. Satu komentar sinis di dunia maya bisa merusak hubungan, bahkan membawa konsekuensi hukum. Pepatah lama ini seolah memanggil kembali kesadaran kita untuk menahan diri, diam bisa menjadi kebijaksanaan, sementara kata-kata bisa menjadi bumerang.


Dalam budaya Minangkabau, diam bukan tanda lemah. Ia tanda orang berakal. Seperti pepatah lain mengatakan, “Nan pandai diamnyo panjang, nan bodoh kato nyo pendek.” Artinya, orang bijak berbicara seperlunya, sedangkan orang bodoh banyak bicara tanpa isi.


Menjaga lisan berarti menjaga kehormatan diri. Kata-kata dapat menjadi doa atau racun. Maka, setiap orang Minang diingatkan untuk berbicara dengan hati yang bersih, karena dalam setiap ucapan ada tanggung jawab di hadapan Allah dan sesama manusia.


Pepatah ini, meski lahir dari masa lampau, tetap menjadi kompas moral di dunia modern.

Ketajaman ladiang mungkin bisa menumpul, tetapi ketajaman lidah, bila tak dijaga, dapat melukai hingga ke jiwa.

Post a Comment

0 Comments


SELAMAT DATANG DI SEMOGA ANDA PUAS