Ticker

6/recent/ticker-posts

PENGARUH BUDAYA AMERIKA DI KOTA PADANG: Antara Arus Tren dan Pergulatan Identitas Lokal



Oleh : Natasya aurellia (Prodi sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas)


Jika kita melintasi deretan kafe kekinian di kawasan Jalan Khatib Sulaiman hingga Ulak Karang, mudah ditemui anak-anak muda duduk berkumpul dengan gaya kasual ala barat hoodie longgar, sepatu sneakers mahal, serta ponsel tak pernah lepas dari genggaman. Percakapan mereka pun tak lagi seratus persen berbahasa Indonesia atau Minang; sesekali terselip ungkapan seperti literally, vibes, atau no offense. Fenomena ini menjadi bukti betapa budaya Amerika telah meresap dalam keseharian generasi muda Kota Padang. Pengaruh tersebut tidak datang dalam semalam. Film-film Hollywood yang mendominasi layar bioskop, musik pop dan hip hop yang memenuhi playlist digital, sampai arus konten TikTok dan Instagram yang mayoritas berakar dari budaya Barat semuanya membentuk lanskap baru dalam pola konsumsi hiburan. Dahulu, budaya asing hanya bisa diakses lewat televisi; kini semuanya hadir langsung di layar smartphone. Lebih jauh, budaya Amerika tidak hanya hadir lewat tontonan, tetapi juga melalui gaya hidup. Konsep American-style café mulai banyak diadaptasi oleh kedai-kedai kopi di Padang. Menu seperti burger, kentang goreng, hingga ayam crispy semakin populer sebagai pilihan makan cepat, perlahan menggantikan karupuak balado atau nasi goreng ala rumah. Hal ini menunjukkan keterbukaan masyarakat terhadap modernitas, tapi sekaligus memunculkan pertanyaan: apakah budaya lokal akan tetap bertahan?

Di sisi lain, tak adil jika budaya Amerika hanya dipandang membawa dampak buruk. Banyak anak muda Padang justru memanfaatkan platform digital seperti YouTube dan TikTok untuk berkreativitas. Komika Minang, gamer lokal, hingga penjual rendang online berhasil menembus pasar nasional bahkan internasional. Dalam konteks ini, budaya global justru menjadi bahan bakar untuk inovasi. Kendati begitu, kekhawatiran tetap muncul. Minat terhadap kesenian tradisional seperti randai, rabab, dan saluang mulai menurun. Baju kurung atau deta dianggap kuno dan kurang esthetic jika dibandingkan dengan hoodie atau cargo pants. Bahkan dalam percakapan, bahasa Minang kian jarang terdengar karena tergeser oleh bahasa gaul bercampur istilah Inggris.

Tak hanya itu, gaya hidup ala Amerika yang sering dikaitkan dengan konsumerisme dan kemewahan kerap berbenturan dengan falsafah hidup orang Minang yang menjunjung kesederhanaan. Tidak semua remaja mampu mengikuti tren gadget atau fashion terkini, sehingga muncul kesenjangan sosial antar sesama teman sebaya.

Walau begitu, budaya lokal tidak harus ditempatkan sebagai lawan budaya Amerika. Keduanya tetap bisa berjalan berdampingan. Kini sudah muncul berbagai karya yang mengawinkan keduanya: musik hip hop berbahasa Minang, desain batik bernuansa barat, hingga konten lucu berlatar logat khas Padang. Perpaduan ini menunjukkan bahwa adaptasi tidak selalu berarti kehilangan jati diri.

Sekolah, keluarga, dan komunitas lokal punya peran penting dalam menjaga keseimbangan. Generasi muda tidak perlu dilarang menikmati budaya luar, tetapi harus diajak memahami bahwa modern bukan berarti melupakan akar.

Budaya Amerika mungkin membawa gelombang tren, tetapi budaya Minangkabau menghadirkan akar yang meneguhkan. Jika keduanya dapat disikapi dengan cerdas, Padang tak perlu memilih antara menjadi kota global atau kota adat. Ia bisa tampil progresif tanpa kehilangan marwah maju dalam gaya, tetap Minang dalam jiwa.

Sumber Referensi:

• Badan Pusat Statistik Kota Padang. (2023). Data Sosial dan Kepemudaan Kota Padang.

• Heryanto, A. (2018). Identitas dan Budaya Populer di Indonesia Era Globalisasi. Jakarta: Kompas.

• Nasution, M. (2021). “Pengaruh Budaya Populer Barat terhadap Remaja di Indonesia.” Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora, 12(2), 45–53.

• Ritzer, G. (2011). The McDonaldization of Society. Los Angeles: SAGE Publications.

• Observasi lapangan dan wawancara informal dengan pelajar dan mahasiswa di Kota Padang (2024).

• Platform digital seperti YouTube, Instagram, dan TikTok — diakses sebagai sumber analisis tren budaya (2024).

Post a Comment

0 Comments


SELAMAT DATANG DI SEMOGA ANDA PUAS