Ticker

6/recent/ticker-posts

Kutukan 'Serangan Fajar': Ketika Suara Rakyat Diobral Murah di Pasar Politik


Oleh: Indah Putri Andini Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Andalas



Fenomena "serangan fajar" atau praktik politik uang menjelang hari pencoblosan bukanlah isu baru dalam lanskap demokrasi Indonesia, namun keberlanjutannya dan penerimaannya yang meluas di tengah masyarakat telah menempatkan kita pada krisis politik yang serius. Budaya politik kita telah bergeser drastis dari berorientasi pada ideologi dan visi menjadi berorientasi pada transaksi dan pragmatisme sesaat. Realitas ini menunjukkan kemerosotan fatal dalam budaya politik partisipatif, yang diubah menjadi budaya politik pasif-transaksional: sebagian besar pemilih tidak lagi bertanya, "Apa yang akan dia lakukan untuk daerahku?" melainkan, "Berapa banyak yang akan dia berikan padaku hari ini?".

Tingkat kepedulian terhadap latar belakang, kompetensi, atau bahkan rekam jejak korupsi seorang kandidat menjadi sangat rendah karena uang tunai yang diterima beberapa jam sebelum mencoblos seringkali dinormalisasi sebagai 'kompensasi' atau 'hadiah' atas partisipasi, bukan sebagai suap yang merusak fondasi demokrasi. Inilah pangkal masalahnya. Penerimaan terhadap politik uang secara langsung melahirkan pejabat yang tidak kompeten dan tanpa integritas. Dalam lingkaran setan ini, kandidat dipaksa mengeluarkan modal politik yang absurd besar—jauh di atas batas wajar—untuk memenangkan suara melalui 'serangan fajar'. Ketika terpilih, prioritas utama pejabat tersebut bukanlah melayani publik, melainkan mengamankan pengembalian modal (Return on Investment) secepatnya, membuka jalan lebar bagi korupsi, kolusi, dan nepotisme.

Beberapa kasus nyata yang berulang di berbagai daerah: kepala daerah yang baru menjabat dua tahun terjerat operasi tangkap tangan (OTT) karena menjual-beli jabatan atau perizinan proyek strategis. Kemenangan mereka didasarkan pada besaran logistik uang, bukan pada kapasitas dan program kerja yang teruji. Mereka adalah produk dari budaya politik transaksional yang kita izinkan. Pejabat yang dipilih karena uang tidak memiliki ikatan moral atau ideologis dengan pemilih—ikatan mereka hanyalah transaksi yang telah selesai di bilik suara. Akibatnya, kita melihat program-program pembangunan yang mandek, pelayanan publik yang buruk, dan kebijakan yang lebih mengutamakan kelompok oligarki penyokong modalnya alih-alih kepentingan rakyat.

Mengubah budaya politik ini adalah tantangan sosiologis yang harus diselesaikan dari hulu. Solusinya terletak pada revitalisasi pendidikan politik yang menyentuh etika kewarganegaraan, mengajarkan masyarakat bahwa menerima 'serangan fajar' sama dengan menjual haknya atas pelayanan publik yang baik selama lima tahun ke depan. Selain itu, tokoh masyarakat, agama, dan media massa harus berperan aktif dalam mendelegitimasi praktik politik uang secara konsisten, didukung oleh penegakan hukum yang tegas terhadap pemberi maupun penerima suap. Selama masyarakat masih memegang teguh keyakinan bahwa uang adalah penentu utama kemenangan politik, maka kita akan terus terperangkap dalam lingkaran setan di mana pemimpin yang tidak kompeten dan tidak berintegritas akan terus memimpin, menggerogoti setiap potensi kemajuan bangsa. 


Pilihan ada di tangan kita: melanjutkan transaksi sesaat yang menjamin kemunduran, atau membangun masa depan berdasarkan visi dan integritas.

Post a Comment

0 Comments


SELAMAT DATANG DI SEMOGA ANDA PUAS