Ticker

6/recent/ticker-posts

Ketika 'Filosofi Warna' Menyusup: Mempertanyakan Arah Gerakan Mahasiswa dan masyarakat saat demonstrasi



Nama : Aditya Warman, Mahasiswa ilmu Politik universitas Andalas 


  Beberapa pekan terakhir kita menyaksikan trending topic warna Pink–Hijau–Biru yang mewarnai gerakan sosial. Hashtag #ResetIndonesia dan demonstrasi besar-besaran menampilkan filter media sosial berwarna pink, hijau, dan biru sebagai simbol solidaritas massa. Bahkan, unjuk rasa “Perempuan Melawan Kekerasan” di depan Gedung DPR (3 September 2025) dipenuhi ribuan demonstran—terutama kaum perempuan—yang mengenakan pakaian dominan pink. Gerakan visual ini memang mengundang decak kagum karena berhasil membangkitkan semangat dan memosisikan suara rakyat dalam bentuk simbol berani (pink), solidaritas (hijau), dan perlawanan (biru). Namun, di balik tatanan warna-warni itu muncul pertanyaan krusial: apakah “tiga warna” ini benar-benar memajukan perjuangan rakyat, atau justru mengalihkan dan memecah konsentrasi gerakan?

para demonstran (terutama massa perempuan) tampak mengenakan pakaian serba pink dalam aksi “Perempuan Melawan Kekerasan” di depan Gedung DPR (3 September 2025). Warna pink dalam momentum ini menjadi simbol keberanian menentang ketertindasan. Namun, kekuatan simbol visual ini patut dikritisi lebih jauh: benarkah “tiga warna” memperkuat perlawanan atau malah menyusupi arah gerakan rakyat?

Di satu sisi, simbolisasi warna dianggap sebagai inovasi komunikasi politik yang efektif. Media kampanye mengganti foto profil menjadi Brave Pink dan Hero Green menunjukkan solidaritas terhadap isu-isu demo—upaya yang konon terinspirasi dari aksi nyata tokoh rakyat di lapangan. Situs UMJ bahkan menyebut tiga warna itu sebagai “ikon perlawanan rakyat” yang merepresentasikan keberanian, harapan, dan solidaritas. Dari sudut pandang penggerak, nada positif ini menegaskan bahwa generasi muda kreatif memanfaatkan media digital untuk menyuarakan tuntutan politik.

Namun ada kekhawatiran bahwa peralihan ke symbol visual justru bisa menutupi substansi perjuangan. Daripada berkutat pada kajian kritis dan strategi aksi lapangan, sebagian massa terfokus pada estetika warna. Sebuah gerakan yang semata-mata dimobilisasi lewat filter Instagram dan Twitter mudah jatuh pada “slacktivism” – dukungan yang hanya bersifat simbolik Misalnya, jika perhatian publik habis pada ramai-ramainya warna pink-hijau-biru, siapa yang mengawal penerjemahan tuntutan ke dalam kebijakan nyata? Tanpa dialog dan aksi lanjutan, pertanyaan 17+8 tuntutan rakyat bisa saja berhenti pada tagar populer tanpa perubahan substansial.

Ketiga warna ini lahir secara organik dari denyut nadi publik,” klaim media massa. Tetapi kita perlu bertanya: organik bagi siapa? Warna-warna demonstrasi di lapangan tidak terjadi dalam ruang hampa politik. Misalnya, Resistance Blue sengaja dipilih untuk membedakannya dari biru muda kampanye koalisi penguasa pada Pilpres 2024. Padahal warna biru terang sudah identik dengan salah satu kubu politik – istilah “biru oligarki” dipakai untuk menyindir perbedaan ini. Hal ini menunjukkan batas simbolik sangat tipis: mudah saja sekelompok penggerak sayap kiri atau sayap kanan memanfaatkan trend “biru tua” sebagai cara melawan dominasi, tanpa menjelaskan secara gamblang afiliasi mereka. Akibatnya, penyusupan kepentingan politik bisa terjadi, entah disengaja oleh elite partai maupun karena resonansi sosial yang tidak bijaksana. 

Sejarah pergerakan Indonesia mengajarkan bahwa pemuda adalah “pelopor dalam setiap perjuangan”. Agar gelora itu tidak sirna, gerakan mahasiswa dan sipil sebaiknya mengkritisi setiap tren terkini. Warna–warna boleh menjadi bahasa ekspresi, tapi idealisme tidak boleh tertinggal. Sebagaimana ditulis aktivis PMII, konsistensi gerakan terjaga ketika benar-benar independensekali terjerembap menjadi alat politik praktis, banyak hal seharusnya diperjuangkan malah akan jadi komoditas tawar-menawar. Kini tugas kita bersama: menyaring pesan di balik ‘tiga warna’. Jangan biarkan solidaritas visual menjadikan gerakan terfragmentasi atau sekadar ajang branding kelompok tertentu.

Alih–alih terombang-ambing trend, mahasiswa dan masyarakat harus tetap bertanya: apakah langkah kami saat ini sungguh mendorong terwujudnya keadilan dan perbaikan? Bila tidak, marilah berhenti sejenak, menyatukan visi alih-alih kode warna. Ingatlah, kekuatan sejati gerakan bukan hanya pada estetika, melainkan pada konsistensi idealisme dan keberanian bertindak demi kepentingan rakyat.

Post a Comment

0 Comments


SELAMAT DATANG DI SEMOGA ANDA PUAS