Ticker

6/recent/ticker-posts

Tanah Adat Dijanjikan Untuk Wisata, Kini Jadi Kantor Pemerintah: Kaum Suku Pitopang Tuntut Keadilan Di Payakumbuh


Penulis 
1. SYI’ARUL HIKAM, S.H., 
2. SOFI ZILVANIA PUTRI, S.H. 
3. NURMALA DEWI, S.H. PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER KENOTARIATAN FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS PANCASILA




Payakumbuh, Sumatera Barat

Polemik mengenai tanah adat kembali mengguncang Kota Payakumbuh. Kaum adat dari Suku Pitopang, salah satu suku Minangkabau yang berakar kuat di wilayah ini, secara resmi menyampaikan tuntutan kepada Pemerintah Kota Payakumbuh terkait kepemilikan dan penggunaan sebidang tanah ulayat yang kini telah berubah fungsi menjadi kantor pemerintah daerah.

Awal Mula Masalah: Janji yang Tak Terpenuhi

Menurut pernyataan dari ninik mamak dan tokoh adat setempat, pada tahun 1996, kaum Suku Pitopang menyerahkan sebidang tanah yang berlokasi strategis di jantung Kota Payakumbuh kepada Pemerintah Kota. Penyerahan tersebut dilakukan secara sukarela, dengan maksud untuk mendukung pengembangan objek wisata budaya Minangkabau.

Namun, alih-alih menjadi kawasan wisata sebagaimana dijanjikan, tanah tersebut justru dibangun secara permanen dan kini digunakan sebagai Kantor Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Daerah Kota Payakumbuh. Tidak ada realisasi pembangunan wisata budaya, dan lebih buruk lagi, tidak terdapat kompensasi atau ganti rugi yang diberikan kepada kaum adat.


Ini adalah bentuk pengingkaran terhadap adat dan etika bermasyarakat. Kami tidak menolak pembangunan, tapi kami menolak pembohongan publik dan pengabaian terhadap tanah ulayat kami," ujar Datuk Marajo, salah satu ninik mamak Kaum Pitopang, dalam pernyataan kepada media lokal pada 26 Februari 2025 (Presindo.com).


Posisi Hukum Tanah Ulayat

Secara hukum, tanah ulayat memiliki perlindungan khusus. Beberapa dasar hukum yang relevan dalam kasus ini antara lain:

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA):

Pasal 3 menyatakan bahwa "pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak serupa dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa".


Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012:

MK menegaskan bahwa hutan adat adalah milik masyarakat hukum adat, bukan milik negara, memperkuat eksistensi hukum tanah adat dan tanah ulayat.


Peraturan Menteri ATR/Kepala BPN No. 18 Tahun 2019 tentang Tata Cara Penatausahaan Tanah Ulayat:


Menyediakan prosedur pendaftaran dan pengakuan hak atas tanah ulayat, sebagai bentuk penguatan perlindungan terhadap masyarakat hukum adat.


Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa:


Memberikan legitimasi kepada keberadaan masyarakat hukum adat dan pengelolaan aset desa berbasis kearifan lokal, termasuk tanah ulayat.

Konstitusi RI Pasal 18B ayat (2):

“Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya.”


Respons Pemerintah Daerah: Belum Ada Tanggapan Resmi

Hingga berita ini ditulis, Pemerintah Kota Payakumbuh belum memberikan tanggapan resmi terhadap tuntutan Kaum Suku Pitopang. Beberapa pihak mengaku bahwa penggunaan lahan tersebut dilakukan secara sah karena tidak ada dokumen tertulis yang menunjukkan klaim kepemilikan adat.


Namun, kaum adat menegaskan bahwa penyerahan pada tahun 1996 bersifat sementara dan tidak untuk kepentingan birokrasi, melainkan untuk pengembangan budaya.


"Kalau ada surat perjanjian hitam di atas putih, tentu kami lebih mudah memperjuangkannya. Tapi adat di Minangkabau dulu kuat secara lisan. Ini bukan soal dokumen, tapi soal kejujuran," tambah Dt. Marajo.



Tanggapan Akademisi dan Aktivis Hukum

Kasus ini mendapat perhatian dari kalangan akademisi dan pemerhati hukum agraria. Yusrizal, SH, MH, dosen hukum agraria dari Universitas Negeri Padang, menyebutkan bahwa kasus ini mencerminkan kesenjangan antara hukum tertulis dan hukum adat yang hidup di masyarakat.


“Negara seharusnya hadir sebagai penengah. Tanah ulayat bukan hanya soal hak milik, tapi simbol identitas dan martabat kaum adat. Jika pemerintah tidak bijak, konflik ini bisa berdampak luas,” tegasnya.


Ia menyarankan agar dilakukan mediasi tripartit yang melibatkan pemerintah, kaum adat, dan lembaga independen seperti Komnas HAM atau Lembaga Adat Minangkabau untuk menyelesaikan masalah ini secara adil dan bermartabat.


Langkah Selanjutnya: Mediasi atau Gugatan?


Kaum Suku Pitopang telah mempertimbangkan dua opsi hukum:

Permintaan mediasi resmi kepada Wali Kota Payakumbuh dengan difasilitasi oleh LKAAM (Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau).


Pengajuan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri Payakumbuh atas dasar penguasaan tanpa hak dan wanprestasi terhadap kesepakatan adat.


Penutup: Mewujudkan Keadilan untuk Masyarakat Adat


Kasus ini adalah cermin dari banyak konflik agraria di Indonesia, di mana tanah adat menjadi korban dari kebijakan pembangunan yang tidak partisipatif. Mengabaikan hak masyarakat adat bukan hanya pelanggaran hukum, tapi juga pengkhianatan terhadap sejarah dan budaya bangsa.


Pemerintah daerah, sebagai pemangku kebijakan, diharapkan dapat membuka ruang dialog dan menyelesaikan perkara ini secara transparan, adil, dan bermartabat.





📌 Sumber Referensi:

Presindo.com, “Kaum Suku Pitopang Tuntut Pengembalian Lahan”, 26 Februari 2025

UUPA No. 5 Tahun 1960

Putusan MK No. 35/PUU-X/2012

Permen ATR/BPN No. 18 Tahun 2019

Konstitusi RI Pasal 18B ayat (2)

UU Desa No. 6 Tahun 2014



Wawancara dengan Datuk Marajo (Tokoh Adat Pitopang)

1. SYI’ARUL HIKAM, S.H., 

2. SOFI ZILVANIA PUTRI, S.H. 

3. NURMALA DEWI, S.H. PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER KENOTARIATAN FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS PANCASILA


Post a Comment

0 Comments


SELAMAT DATANG DI SEMOGA ANDA PUAS