Ticker

6/recent/ticker-posts

Pendekatan Teori Marxisme Louis Althusser pada Novel The Memory Of Police Karya Yoko Ogawa

 

Oleh: Edwar Mareldo, mahasiswa Program Studi Sastra Jepang, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas




1. Pendahuluan

Sastra bukan sekadar cerminan kenyataan, melainkan dapat dijadikan alat untuk

memahami ideologi yang tersembunyi dalam masyarakat. Dalam kerangka sosiologi sastra, karya sastra menjadi gambaran di mana struktur sosial dan kekuasaan diperhitungkan dan dikritik. 


Teori Marxisme Louis Althusser memberikan cara untuk memahami bagaimana

ideologi bekerja melalui lembaga-lembaga sosial, termasuk sastra, untuk mempertahankan kekuasaan kelas tertentu.

Novel The Memory Police karya Yoko Ogawa adalah cerita tentang dunia yang buruk yang menampilkan masyarakat di sebuah pulau yang perlahan-lahan kehilangan benda-benda beserta makna dan ingatannya. Kehilangan ini dikendalikan oleh aparat bernama Polisi

Kenangan. 


Ogawa menggambarkan bagaimana kekuasaan bekerja melalui represi dan

interpelasi, dua konsep penting dalam teori Althusser. Melalui novel ini, Ogawa memberikan gambaran masyarakat yang tanpa sadar tunduk pada ideologi negara, di mana individu yang tidak patuh akan dihapus secara langsung maupun tidak langsung. 


Dengan demikian, The Memory Police adalah narasi perlawanan yang sunyi terhadap sistem represif yang menyerap bahkan kesadaran dan kenangan individu.

2. Gambaran Pengarang Novel, Masyarakat Jepang, dan Tokoh Cerita

2.1 Yoko Ogawa Selaku Pengarang

The Memory Police, terjemahan tahun 2019 dari novel Ogawa Yōko yang pertama kali ditulis 25 tahun sebelumnya, telah membawa perhatian baru pada sebuah buku yang, mungkin secara mengejutkan, dianggap berbicara secara khusus pada masa abad kedua puluh satu. Versi Stephen Snyder dari Hisoyaka na kesshō karya Ogawa pada tahun 1994 merupakan finalis National Book Award for Translated Literature, dan pada saat artikel ini ditulis, telah mencapai tahap daftar panjang International Booker Prize. 


Novel ini telah menarik perhatian para pembaca baru sebagai kisah universal tentang ingatan dan kehilangan, sekaligus ditafsirkan dalam tren fiksi distopia di dunia berbahasa Inggris.

Menceritakan pengalamannya dalam wawancara dengan media Amerika, Ogawa mengatakan bahwa meskipun ia merasakan esensi dari karyanya telah tersampaikan dengan baik melalui terjemahannya, ia terkejut dengan kaitan yang dibuat oleh para reporter dengan situasi politik Amerika saat ini. "Mereka mengajukan pertanyaan-pertanyaan politik yang tidak pernah ditanyakan oleh siapa pun 25 tahun yang lalu. Saya tidak berniat menggambarkan latar masa depan sebagai sebuah pernyataan politik-itu lebih dimaksudkan untuk menggambarkan masa lalu, sebelum saya lahir. 


Namun, ketika saya membaca ulang buku tersebut untuk pertama kalinya setelah sekian lama, saya terkejut karena saya memasukkan tsunami, dan saya merasa takut ketika berpikir bahwa alih-alih semakin menjauh dari dunia yang saya ciptakan dalam buku tersebut, para pembaca masa kini justru menghubungkannya dengan masa depan yang dekat."

2.2 Gambaran Masyarakat Jepang yang tercerminkan dalam Novel

Latar tempat Novel Police Memories memang berlatar di tempat yang fiksi, namun ada sangkut paut yang bisa kita kaitkan permasalahan yang sama dialami Masyarakat Jepang dan Masyarakat pada Novel Police Memories. Salah satu ciri menonjol dalam masyarakat yang digambarkan Ogawa adalah budaya homogenitas dan konformitas. Masyarakat dalam novel menerima secara tidak sadar proses “penghilangan” sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari tanpa ada pertanyaan atau perlawanan. Hal ini merefleksikan nilai-nilai dalam masyarakat Jepang yang sering kali menekankan pentingnya keteraturan sosial, rasa hormat terhadap sistem, serta kecenderungan untuk menghindari konflik atau konfrontasi langsung demi harmoni kelompok (wa). Ketika suatu benda dinyatakan harus "dihapus", masyarakat segera memusnahkannya dan berusaha melupakan, seolah itu merupakan kewajiban moral dan sosial mereka.

Budaya diam (chinmoku / 沈黙) juga faktor penting. Tokoh-tokoh dalam cerita jarang mengekspresikan perasaan atau mempertanyakan peristiwa yang terjadi secara terbuka. Mereka menerima nasib dengan pasif. Ini mencerminkan bagaimana masyarakat Jepang, terutama generasi yang hidup dalam atau pasca Perang Dunia II, mengembangkan cara bertahan hidup melalui kepatuhan diam terhadap struktur kekuasaan.

Lebih dalam lagi, novel ini mencerminkan pengalaman Jepang terhadap sensor dan represi sejarah. Dalam sejarah modern Jepang, terdapat masa-masa ketika sensor pemerintah sangat ketat, termasuk pada masa militerisme sebelum dan selama Perang Dunia II, maupun pada masa kontrol informasi pasca-perang. Seperti contoh yang kita tau bahwa Masyarakat Jepang modern tidak mengetahui bahwa negaranya pernah menjajah Indonesia, dan setelah pengeboman Hiroshima dan Nagasaki yang sebagai penyebab kekalahan Jepang, pemerintahnya hanya memasukkan Sejarah kemalangan Jepang atas apa yang terjadi pada mereka setelah kekalahan perang dunia kedua, tanpa mengajarkan generasi muda mereka tentang kehebatan Jepang dahulu hingga bisa menjajah suatu negara. Proses “penghapusan” dalam The Memory Police menjadi gambaran terhadap bagaimana sejarah, trauma, dan identitas budaya dapat dihilangkan dari kesadaran masyarakat melalui kekuasaan negara dan media.

Selain itu, Ogawa juga menyoroti keterasingan individu dalam masyarakat modern Jepang. Tokoh utama dalam novel, seorang penulis, hidup sendirian, mengalami kehilangan orang yang disayangi, dan perlahan kehilangan koneksi dengan dunia di sekitarnya. Ini menggambarkan kondisi sosial masyarakat Jepang modern yang sering kali mengalami isolasi sosial, terutama di kalangan lansia sebuah fenomena yang dikenal dengan istilah kodokushi (孤独死, "kematian dalam kesendirian".

2.3 Tokoh Aku

Tokoh utama adalah tokoh yang tak pernah disebutkan Namanya dan hanya dibilang aku, adalah seorang penulis. Ia adalah contoh subjek yang digambarkan oleh ideologi yang dianut oleh dominan dalam Masyarakat. Seperti, ia tidak melawan, tetapi menerima, menyesuaikan diri, bahkan membantu membuang barang-barang yang hilang. Ia semula memiliki ingatan tentang benda-benda yang hilang, tetapi lambat laun, ia juga lupa.

Namun pertemuannya dengan "R", yang tidak bisa melupakan, memunculkan niat perlawanan terhadap otoriter dengan menyembunyikan R. Meskipun sang tokoh utama menyembunyikan "R", ia tetap tidak mampu menghindari keruntuhan internalnya sendiri, seperti kehilangan inspirasi menulis, kehilangan bahasa, dan akhirnya kehilangan dirinya sendiri. Ia adalah simbol manusia yang telah dikosongkan oleh kekuasaan, bukan melalui kekerasan langsung, melainkan melalui penekanan ideologi itu sendiri.

3. Pembahasan Teori Marxisme Louis Althusser

3.1 Aparatus Represif Negara (RSA) Sebagai penggambaran The Memory Police

Seperti pada kutipan “mereka sama sekali tidak peduli dengan ku dan berjalan menaiki tangga” (Hal 17) hal ini menjadi peran polisi memori sebagai RSA (Repressive State Apparatus) lembaga yang mempertahankan kekuasaan melalui kekuatan atau ancaman fisik. Pada kutipan tersebut menjadi bukti bahwa polisi memori sebagai aparat hukum, tetap melakukan pengeladahan rumah aku, karena di ruangan ayah aku ada barang-barang yang seharusnya sudah dihapus ingatannya.

Tindakan mereka yang keras dan menakutkan seperti penangkapan, penghilangan, dan intimidasi dilakukan untuk memastikan masyarakat tetap tunduk pada tatanan yang berlaku. Melalui Polisi memori, Ogawa memperlihatkan bagaimana kekuasaan bekerja secara langsung dan brutal untuk mempertahankan stabilitas sosial yang ditentukan oleh pihak yang berkuasa.

3.2 Aparatus Ideologis Negara (ISA) sebagai atasan Police memory

menurut Althusser, aparatus ideologis negara (ISA) Ideological State Apparatus adalah sosok yang lebih berbahaya ketimbang (RSA) karena (ISA) yang bekerja secara halus untuk membentuk kesadaran Masyarakat. Tidak disebutkan dengan jelas siapa otoritas tertinggi yang police memory layani, sang penulis tetap merahasiakan dan membiarkan identitas tersebut sebagai sosok anonim.

3.3 Interpelasi: Subjek yang Dibentuk oleh Ideologi

Menurut Althusser, ideologi bekerja dengan cara memanggil individu menjadi subjek yang taat melalui lembaga-lembaga seperti sekolah, keluarga, media, dan praktik keseharian. Dalam The Memory Police, prosesnya terjadi secara kolektif dan polisi memori cukup menghapus subjek dan objek yang ingin dihapus keberadaannya. Masyarakat telah sedemikian rupa menerima bahwa jika sesuatu dihapus, maka itu wajar dan harus dilupakan.

Seperti pada kutipan “Ketika Topi dihilangkan, tukang topi yang tinggal di Seberang jalan beralih membawa payung” (Hal 14) hal ini menggambarkan Interpelasi Athusser, bahwa saat tukang topi melupakan topi, ia merasa wajar saja kehilangan identitas topi, lalu beralih ke payung sebagai penggantinya.

4. Kesimpulan

Melalui teori Marxisme dari Louis Althusser, The Memory Police dapat dibaca sebagai perumpamaan tentang bagaimana ideologi dan kekuasaan bekerja dalam masyarakat. RSA (Repressive State Apparatus) Memory Police menjaga ketertiban melalui pengendalian secara paksa, sedangkan ISA (Ideological State Apparatus) membentuk subjek yang patuh melalui pemasukan ideologi. Proses penghilangan dalam novel ini adalah simbol dari proses penghapusan identitas dan kesadaran diri yang dikondisikan oleh sistem ideologis. Dengan

menggunakan teori Althusser, kita bisa memahami bahwa novel ini bukan hanya tentang memori yang hilang, melainkan tentang bagaimana masyarakat dapat dibentuk bahkan sampai ke tingkat kesadaran dan ingatan oleh struktur kekuasaan yang tidak terlihat namun sangat kuat.


Daftar Pustaka

Romadona, M. T. (2020). Louis Althusser dan Filsafat Sebagai Yang Politis. Louis Althusser dan Filsafat Sebagai Yang Politis, 197-225.

Post a Comment

0 Comments


SELAMAT DATANG DI SEMOGA ANDA PUAS