Ticker

6/recent/ticker-posts

Lenyapnya Ingatan, Lenyapnya Diri: AnalisisPsikoanalitik terhadap Novel The Memory Police karyaYoko Ogawa


Oleh : Jaka Dwi Agusti, Mahasiswa Sastra Jepang Universitas Andalas



Abstrak

novel The Memory Police karya Yoko Ogawa dengan menggunakan teori psikoanalisis Sigmund Freud, khususnyatentang id, ego, dan superego. 

Cerita dalam novel berfokus pada kehidupan masyarakat di sebuah pulau yang aneh, dimana benda-benda secara perlahan “menghilang” tidak hanyasecara fisik, tapi juga dari ingatan orang-orang. Mereka yang masih bisa mengingat dianggap berbahaya dan harus disembunyikan dari Polisi Kenangan, otoritas yang mengawasi semua orang. Tokoh utama, seorang penulis perempuan, berusaha menyembunyikan temannya yang masih bisa mengingat, sekaligus mempertahankan rasa kemanusiaannya di tengah dunia yang semakin kosong.


Dalam esai ini, konflik yang dialami para tokoh dilihatsebagai gambaran pertarungan antara dorongan bawah sadar(id), kesadaran diri (ego), dan tekanan sosial atau norma yang memaksa (superego). 


Esai ini menunjukkan bahwa TheMemory Police bukan hanya cerita fiksi ilmiah yangmenegangkan, tetapi juga refleksi mendalam tentang ketakutan manusia terhadap kehilangan, keterasingan, dan hilangnya jati diri.PendahuluanDalam dunia sastra kontemporer Jepang, nama Yoko Ogawa dikenal sebagai salah satu penulis dengan gaya narasi yanghalus, penuh ketegangan psikologis, dan memancing perenungan eksistensial. Salah satu karya terkuatnya, TheMemory Police (1994), menghadirkan dunia fiktif yang pada awalnya tampak damai dan biasa-biasa saja, namun perlahan berubah menjadi menyesakkan dan penuh kehilangan. Melaluimetafora tentang benda-benda yang “menghilang” dari kehidupan dan ingatan, 

Ogawa membangun gambaran distopia yang menggugah pikiran.


Esai ini bertujuan untuk menelusuri makna mendalam dari novel The Memory Police dengan menggunakan pendekatan psiko analitik, khususnya teori dari Sigmund Freud. Dengan menganalisis konflik psikologis tokoh utama dan realitassosial dalam novel, kita akan melihat bagaimana traumakolektif, represi, dan mekanisme pertahanan jiwa menjadi gambaran kuat tentang kehilangan kemanusiaan dalammasyarakat totaliter.


Dunia yang Terhapus: Sinopsis SingkatThe Memory Police mengisahkan tentang seorang perempuan penulis yang hidup di sebuah pulau tak bernama. 

Di pulau tersebut, fenomena aneh terjadi: benda-benda tertentu tibatiba “hilang”, baik secara fisik maupun dari ingatan masyarakat. Jika sesuatu “dihapus”, maka semua orang harus membuang benda itu dan melupakan bahwa itu pernah ada.Polisi Kenangan (Memory Police) bertugas untuk memastikan proses pelupaan berlangsung tanpa gangguan. Mereka yang masih bisa mengingat akan dikejar dan “diamankan”.


Tokoh utama, yang tidak disebutkan namanya, berjuangmenyembunyikan editornya, R., yang masih memiliki ingatan penuh. Dalam ruang tersembunyi di rumahnya, ia merawat dan melindungi R. sambil menyaksikan dunianya perlahanlahan menyusut. Benda-benda seperti burung, jam tangan,hingga kata-kata tertentu menghilang satu per satu.


Masyarakat pun berubah menjadi pasif, dingin, dankehilangan makna hidup.Teori Psikoanalisis Sigmund FreudSigmund Freud, bapak psikoanalisis, memperkenalkan modelstruktur kepribadian manusia melalui konsep id, ego, dansuperego. Id a dalah bagian dari alam bawah sadar yangberisi dorongan naluriah. Ego adalah bagian sadar yangbertugas menengahi antara id dan realitas luar. Superegoadalah suara moral dan nilai-nilai sosial yang diinternalisasisejak kecil.Freud juga menjelaskan bagaimana manusia seringmenggunakan mekanisme pertahanan seperti represi(penekanan ingatan atau perasaan yang menyakitkan),denialisasi, proyeksi, dan lainnya untuk melindungi ego darikecemasan dan trauma. Dalam konteks The Memory Police,konsep-konsep ini sangat relevan, mengingat tema utamanovel adalah penghapusan, pelupaan, dan represi kolektifterhadap ingatan.Pelupaan sebagai Represi KolektifFenomena utama dalam novel ini—penghilangan benda darirealitas dan ingatan—dapat dibaca sebagai metafora darirepresi kolektif. Dalam teori Freud, represi terjadi ketika suatupengalaman yang menyakitkan atau tidak dapat diterimaditekan ke dalam alam bawah sadar. Dalam The MemoryPolice, masyarakat secara tidak sadar “sepakat” untukmelupakan benda-benda yang dihapuskan. Tidak ada upayauntuk melawan, tidak ada kesedihan yang diungkapkan secaraterbuka. Semua mengikuti prosedur, seolah-olah pelupaanadalah bagian dari rutinitas.Sikap pasif masyarakat terhadap hilangnya benda-bendamenunjukkan bagaimana represi telah menjadi kebiasaan. Inimenggambarkan kondisi di mana ego masyarakat telahdilemahkan, tidak mampu lagi menengahi realitas dengandorongan batiniah. Dalam dunia Freud, ketika ego tidak kuat,maka individu menjadi rentan terhadap kontrol dari luar—dalam hal ini, dari otoritas Memory Police yang bisadiibaratkan sebagai superego represif yang ekstrem.Tokoh Utama dan Dilema EksistensialnyaTokoh utama dalam novel ini adalah seorang penulis yangmencoba terus menulis meski dunianya perlahan-lahankehilangan makna. Ketika benda-benda dan bahkan kata-katamenghilang, proses kreatif menjadi tantangan berat. Namun,ia terus menulis, seolah-olah menulis adalah satu-satunya caramempertahankan keberadaan dirinya.Dalam pandangan psikoanalitik, menulis bisa menjadi bentuksublimasi—yakni transformasi dorongan bawah sadar kedalam bentuk yang bisa diterima secara sosial. Dalam kasustokoh utama, dorongan untuk mengingat, untukmengekspresikan rasa kehilangan dan kegelisahan, disalurkanlewat tulisan. Ini menunjukkan bahwa meskipun represiterjadi secara luas di masyarakat, masih ada ruang bagiindividu untuk melawan secara batiniah.Konflik batin tokoh utama semakin kuat ketika iamemutuskan menyembunyikan R., editornya yang masihmemiliki ingatan. Di sini, ia tidak hanya melawan sistemsecara fisik, tetapi juga mencoba mempertahankan sisa-sisadari apa yang disebut Freud sebagai superego yang sehat—nilai-nilai moral dan rasa tanggung jawab terhadap sesama.R. sebagai Simbol KesadaranKarakter R. memiliki peran penting dalam struktur naratifnovel. Ia adalah satu dari sedikit orang yang tidak kehilanganingatannya. Dalam konteks psikoanalitik, R. bisa dianggapsebagai simbol dari kesadaran penuh, atau bagian dari diriyang menolak tunduk pada represi. Perlindungan terhadap R.menjadi simbol dari usaha mempertahankan kebenaran batin,identitas, dan rasa kemanusiaan.Namun, konflik juga muncul dari hubungan ini. Tokoh utamakadang merasa berat menanggung beban menyembunyikanR., seolah-olah ia takut pada “kebenaran” yang masih dimilikioleh R. Ini mencerminkan konflik antara ego yang inginbertahan di dunia yang telah berubah, dan realitas batin yangtahu bahwa semua ini tidak normal. Dalam banyak momen,tokoh utama terjebak antara dua dunia: dunia pelupa dandunia sadar. Ketegangan inilah yang menjadi inti emosi dalamnovel.Bahasa yang Terhapus: Kekosongan MaknaSalah satu simbol paling kuat dalam novel ini adalahhilangnya bahasa. Ketika kata-kata tertentu mulai dihapus,masyarakat tidak hanya kehilangan alat komunikasi, tetapijuga makna dari hidup itu sendiri. Dalam psikoanalisis, bahasamerupakan alat utama dalam mengungkap isi alam bawahsadar. Ketika bahasa terdistorsi atau dihilangkan, makakomunikasi antara ego dan id juga terganggu.Hal ini bisa disandingkan dengan konsep “language loss”dalam teori Jacques Lacan, seorang pengikut Freud yangmenyatakan bahwa manusia membentuk identitasnya melaluibahasa (the symbolic order). Dalam The Memory Police,hilangnya bahasa berarti hilangnya simbol-simbol yang membentuk identitas. 


Ketika orang tidak lagi bisa menyebutburung atau bunga, maka mereka juga kehilangan perasaan .terhadap hal-hal itu. 

Ini adalah bentuk pemutusan total antara manusia dengan dunia batinnya.Kritik terhadap Totalitarianisme dan KekuasaanDi balik narasi psikologisnya, The Memory Police juga dapat dibaca sebagai kritik terhadap rezim totalitarian. 


Penghapusan benda, kontrol atas ingatan, dan pengawasan terhadap emosi individu adalah ciri khas dari sistem otoriter yang ingin mengendalikan bukan hanya tindakan, tetapi juga pikiran.Seperti yang dikatakan oleh George Orwell dalam 1984,“Who controls the past controls the future. Who controls thepresent controls the past.”Ogawa tidak secara langsung menggambarkan kekerasan. fisik, tetapi justru lebih menyeramkan: kekerasan psikologisyang lambat, tenang, namun menghancurkan dari dalam.Kekuasaan dalam The Memory Police bekerja melalui represidan normalisasi pelupaan. 

Ketika masyarakat terbiasa dengankehilangan, mereka berhenti mempertanyakan atau merasasedih. 


Inilah bentuk kekuasaan paling efektif—ketika korban tidak lagi menyadari bahwa mereka telah dirampas.Penutup: Mengingat sebagai Tindakan Manusiawi The Memory Police adalah novel yang sunyi, namun gemamaknanya terus membekas. 

Lewat kisah tentang ingatan yangdihapus dan benda-benda yang hilang, Ogawa mengajak kita merenungkan apa artinya menjadi manusia. 

Dalam dunia dimana pelupaan dianggap wajar, di mana kehilangan tidak menimbulkan duka, maka yang hilang bukan hanya benda—tetapi juga hati, makna, dan kemanusiaan itu sendiri.Dengan menggunakan teori psikoanalisis Freud, kita bisamelihat bahwa novel ini menggambarkan keruntuhan strukturkepribadian manusia dalam masyarakat yang menekan egodan membunuh superego yang sehat. Represi kolektif,penghilangan bahasa, dan pelupaan sejarah bukan hanya temasastra, tetapi juga cerminan dari realitas yang mungkin sedangterjadi di sekitar kita.Karena itu, 

The Memory Police adalah pengingat—bahwa mengingat adalah bentuk perlawanan. Bahwamempertahankan kenangan, betapapun menyakitkannya,adalah salah satu cara kita menjaga identitas dan martabat sebagai manusia.


Referensi

1. Freud, Sigmund. (1923). The Ego and the Id.London: The Hogarth Press.

2. Ogawa, Yoko. (2019). The Memory Police (Tr.Stephen Snyder). New York: Pantheon Books.

3. Lacan, Jacques. (1977). Écrits: A Selection. NewYork: Norton.

4. Orwell, George. (1949). 1984. London: Secker &Warburg.

5. Eagleton, Terry. (1996). Literary Theory: AnIntroduction. Minneapolis: University of Minnesota Press.

Post a Comment

0 Comments


SELAMAT DATANG DI SEMOGA ANDA PUAS