1. Pendahuluan
Sastra merupakan refleksi dari kehidupan sosial dan budaya masyarakat. Melalui karya sastra, pembaca dapat menangkap berbagai realitas yang tidak selalu tersampaikan dalam narasi sejarah formal, serta penulis juga dapat menngkreasikannya sebagai bentuk kritik yang halus dalam sistem masyrakat yang tidak adil. Salah satu hal penting dalam sosiologi sastra adalah bagaimana karya sastra merepresentasikan masalah sosial, nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat, serta ketegangan antara individu dan sistem. Dalam konteks ini, novel Totto-chan: Gadis Kecil di Tepi Jendela karya Tetsuko Kuroyanagi adalah contoh otobiografi sastra yang secara halus namun kuat menggambarkan resistensi terhadap sistem pendidikan yang kaku dan otoriter di Jepang pada masa pra-Perang Dunia II.
Latar sosial novel ini menggambarkan masa ketika Jepang berada dalam pra-Perang Dunia II yang mana, pada saat itu Jepang masih kental terhadap nasionalisme dan militerisme.
Hal ini membuat Jepang menerapkan sistem pendidikan yang sangat menekankan pada kedisiplinan, keseragaman, dan loyalitas kepada negara. Anak-anak tidak diberi ruang untuk mengeksplorasi identitas diri, melainkan diarahkan untuk menjadi individu yang tunduk pada otoritas dan negara.
Dalam kondisi inilah muncul sekolah yang bernama Tomoe Gakuen, didirikan oleh Sosaku Kobayashi, yang memperlakukan anak-anak dengan layak sebagai manusia seutuhnya unik, merdeka, dan berharga.
Totto-chan tidak hanya menarik sebagai karya sastra anak, tetapi juga sebagai dokumen sosial yang menunjukkan bahwa ada sesutau yang meleset dalam Jepang menerapkan pendidikan yang berpusat pada anak. Melalui pengalaman tokoh utama, Totto-chan, kita melihat bagaimana lingkungan pendidikan yang humanistik mampu mengubah anak yang semula dianggap “bermasalah” menjadi pribadi yang percaya diri, empatik, dan penuh semangat belajar.
Pendekatan humanistik dalam Pendidikan, tercermin dalam novel ini dan sejalan dengan teori pendidikan dari Carl Rogers, seorang tokoh psikologi humanistik yang percaya bahwa pembelajaran terbaik terjadi dalam suasana yang hangat, menerima, dan mendukung pertumbuhan diri. Teori Humanistik yang dikemukakan Carl Rogers adalah sebagai berikut yaitu membebaskan (freedom to learn), dengan asumsi dasar bahwa setiap individu memiliki potensi aktualisasi diri (self-actualization) jika berada dalam lingkungan yang mendukung dan tanpa tekanan. Sementara pendekatan sosiologi sastra menjelaskan keterkaitan antara sastra dan struktur sosial tempat karya itu dilahirkan, Buku Novel Totto-chan gadis di tepi Jendela karya Tetsuko Kuroyanagi bukan sekadar cerita fiksi tetapi juga kritik sosial dan solusi bahwa perubahan masyarakat dapat dimulai dari reformasi pendidikan.
2. Gambaran Pengarang Novel, Masyarakat Jepang, dan Tokoh Cerita
2.1 Tetsuko Kuroyanagi selaku pengarang
Kuroyanagi Tetsuko adalah seorang aktris, pembawa acara televisi, asal Jepang yang lahir di Nogizaka, Akasaka, Tokyo, Jepang. Ia dikenal sebagai pelopor perempuan pertama di Jepang yang menjadi pembawa berita televisi dan pembawa acara bincang-bincang. Bernaung di bawah Yoshida Nahomi Office, Inc., ia juga merupakan anggota Akademi Seni Jepang dan telah menjabat sebagai Duta Besar Niat Baik UNICEF sejak tahun 1984.
Kuroyanagi memulai karier televisinya pada hari pertama siaran televisi di Jepang, menjadikannya aktris televisi pertama di negara tersebut. Ia memegang rekor dunia untuk jumlah episode terbanyak dari acara bincang-bincang yang dibawakan oleh satu orang yang sama melalui programnya yang terkenal, "Tetsuko's Room". Kontribusinya di dunia televisi juga mencakup menjadi pembawa acara NHK Kohaku Uta Gassen serta menulis buku laris "Totto-chan: Gadis Cilik di Jendela".
Masa kecil Kuroyanagi diwarnai tantangan; ia pernah dikeluarkan dari sekolah dasar dan kemudian dipindahkan ke Tomoe Gakuen. Selama Perang Dunia II, ia dievakuasi ke Suwanodaira, Aomori, sebelum kembali ke Tokyo setelah perang usai.
Ia menyelesaikan pendidikan di Tomoe Gakuen, Sekolah Putri Korlan, dan Departemen Musik Vokal Sekolah Musik Oriental.
Awalnya bercita-cita menjadi penyanyi opera, Kuroyanagi kemudian beralih fokus ke pertunjukan boneka dan membaca buku bergambar. Ia bergabung dengan Perusahaan Teater Penyiaran NHK pada Januari 1953, dan menjadi aktris televisi pertama di Jepang. Ia kemudian belajar akting di Lembaga Riset Teater Bungakuza dan tampil dalam musikal Toho berjudul "Scarlett" pada tahun 1970.
Undangan untuk belajar di New York membawanya tinggal di sana selama satu tahun, di mana ia juga belajar tari modern di Luigi Dance School.
2.2 Masyarakat Jepang
Masyarakat Jepang pada masa novel ini yaitu pada masa Pra-Perang Dunia ke 2, Pemerintah militer Jepang saat itu menggunakan sistem pendidikan sebagai alat untuk membentuk warga negara yang patuh, disiplin, dan siap berkorban demi negara dan Kaisar. Bisa kita lihat sebagai contohnya tentara Jepang yang melakukan Namikaze yaitu menyerang musuh dengan menabrakkan pesawat mereka demi menyerang musuh, yang mana serangan ini adalah serangan bunuh diri, dan tentara Jepang sendiri sudah tertanam dan terbentuk sifat loyalitas yang tinggi terhadap negara.
Anak-anak diajarkan untuk menghormati otoritas tanpa banyak bertanya dan untuk mendahulukan kepentingan negara di atas ekspresi diri. Kurikulum pendidikan dirancang untuk memperkuat ideologi negara. Pelajaran seperti pendidikan moral, pelatihan fisik, dan sejarah Jepang diajarkan dengan tujuan membentuk pemahaman yang setia pada negara. Guru tidak hanya berperan sebagai pendidik, tetapi juga sebagai orang yang menanami ideologi nilai-nilai kepatuhan terhadap negara dan loyalitas. Akibatnya, anak-anak yang memiliki perilaku berbeda dari norma yang ditetapkan sering kali dianggap menyimpang atau bermasalah. Mereka tidak diberi ruang untuk mengekspresikan diri atau belajar sesuai dengan karakter masing-masing. Dalam lingkungan seperti ini, perilaku alami anak-anak seperti banyak bertanya, bergerak aktif, atau berimajinasi dianggap sebagai bentuk anomali yang harus diperbaiki.
Peristiwa ini tergambar jelas dalam pengalaman tokoh utama novel Totto-chan. Ia dikeluarkan dari sekolah pertamanya karena dianggap terlalu aktif, suka membuka dan menutup jendela, serta berbicara dengan burung gagak di halaman. Meskipun perilaku tersebut hanyalah ekspresi keingintahuan khas anak-anak, sekolah tidak mau menerima atau memahaminya.
Hal ini mencerminkan bagaimana sistem pendidikan anak pada masa perang sangat membatasi ruang tumbuh dan kebebasan anak. Segala hal yang tidak sesuai dengan aturan dianggap sebagai bentuk ketidakpatuhan dan harus dihilangkan.
Dalam masyarakat seperti ini, individualitas tidak diberi tempat. Namun di Novel ini diberikanlah sesosok kepala sekolah yang bernama Kobayashi, sebagai bentuk perlawanan terhadap sistem pendidikan Jepang yang bersifat Homogen dan membatasi kebebasan berpikir dan tumbuh anak.
2.3 Tokoh Totto-Chan
Dalam cerita, Totto-chan kerap digambarkan melakukan hal-hal yang dianggap tidak sopan di lingkungan sekolah formal. Ia sering membuka dan menutup jendela kelas, berdiri dari tempat duduknya tanpa izin, dan bercakap-cakap dengan burung gagak. Tindakan-tindakan ini yang akhirnya menyebabkan ia dikeluarkan dari sekolah pertamanya. Namun, perilaku tersebut tidak lahir dari niat membangkang, melainkan dari dorongan alami anak-anak untuk mengeksplorasi lingkungan dan mengekspresikan diri. Ini menunjukkan bahwa Totto-chan adalah anak yang sangat sensitif terhadap lingkungan, memiliki minat tinggi terhadap hal-hal kecil di sekitarnya, dan meresponsnya dengan keingintahuan yang besar.
Ketika Totto-chan bergabung dengan Tomoe Gakuen, karakter alaminya mendapat ruang untuk tumbuh. Di bawah asuhan Kepala Sekolah Kobayashi, ia merasa diterima dan dihargai. Perubahan ini memperlihatkan bahwa Totto-chan sebenarnya bukanlah anak yang sulit atau bermasalah, melainkan anak yang membutuhkan pendekatan pendidikan yang sesuai dengan sifat individual dan kebutuhannya.
Totto-chan berkembang menjadi sosok yang memiliki empati tinggi, mampu menjalin pertemanan dengan anak-anak dari latar belakang berbeda termasuk anak berkebutuhan khusus, dan terus mempertahankan keingintahuannya.
3. Pembahasan Teori Humanistik Carl Rogers
3.1 Penerimaan Tanpa Syarat
Pada kutipan "Ayo, coba cerita apa saja kepada Bapak. Semua, apa saja, yang ingin kau ceritakan kepada Bapak. Pokoknya, boleh bicara apa saja."(hal 19). Hal itu sebagai langkah awal Kepala Sekolah pak Kobayashi ingin mengetahui Totto-chan lebih lanjut, dengan bersedia mendengarkan cerita Totto-chan. Lalu pada kutipan "Jadi, kepala sekolah telah mendengarkan cerita Totto selama empat jam penuh. Belum pernah ada dan tidak akan pernah ada orang dewasa yang mau mendengarkan cerita Totto dengan sesungguh hati kecuali kepala sekolah ini" (Hal 21). Pada kutipan tersebut adalah bentuk penerimaan tanpa syarat yang ada di novel ini, yang mana selama empat jam tersebut, Kepala Sekolah mendengarkan setiap cerita Totto dengan senang hati, dan tanpa menunjukkan ekspresi tidak puas. Setelah itu Totto chan merasa bingung sekaligus bahagia karena setelah mendengarkan cerita tersebut, kepala sekolah langsung menerima Totto chan untuk bergabung ke sekolah.
3.2 Empati dan Kebebasan Berekspresi
Pada halaman 28 pada kutipan “Ayo anak-anak kalian boleh memulai dari apa yang kalian sukai” pada kutipan tersebut, anak-anak diberikan kebebasan untuk belajar darimana dulu yang mereka mau pada awal jam pertama. Berdasarkan kutipan ini, sekolah memberikan mereka kesempatan untuk tumbuh dengan cara membiarkan mereka melakukan hal yang dapat menyenangi diri terlebih dahulu dan memberikan ruang untuk mengeskpresikan masing-masing keunikan pada setiap anak.
3.3 Aktualisasi Diri
Berkat Totto berada di lingkugan tepat yang mau menerima dia apa adanya, dia menjadi sosok yang percaya diri dan penuh rasa ingin tahu. Pada kutipan “Namaku Yasuaki Matsumoto, namamu siapa?” pada kutipan tersebut adalah contoh bahwa Yasuaki tidak keberatan menjadi teman Totto, karena Yasuaki memahami jika Totto tidak bermaksud untuk menertawakan penyakitnya dan hanya sekedar bertanya mengenai penyakitnya. Hal itu membuat Totto Bahagia saat ia mendapatkan teman baru.
4. Kesimpulan
Cerita Novel Totto-chan gadis tepi jendela sendiri adalah karya sastra yang bersifat menyindir tentang Pendidikan Jepang pada masa Pra-Perang dunia kedua, yang mana sistem Pendidikan tersebut bersifat Homogen, dan tidak mentoleransi anak-anak yang unik dan melenceng dari ideologi mereka. Novel ini juga memberikan fakta dan bermaksud menyadarkan pembaca bahwasannya tidak semua anak dapat di didik dengan cara yang sama, ada juga anak yang memerlukan perlakuan khusus agar bisa berkembang selayaknya anak-anak normal.
Melalui pengalaman tokoh utama, Totto-chan, kita melihat bagaimana lingkungan pendidikan yang humanistik mampu mengubah anak yang semula dianggap “bermasalah” menjadi pribadi yang percaya diri, empatik, dan penuh semangat belajar.
Daftar Pustaka
AFIFAH, A. N. (2024). NILAI-NILAI PENDIDIKAN KARAKTER dalam Novel Totto chan dan relevansinya pada anak usia SD. NILAI-NILAI PENDIDIKAN KARAKTER dalam Novel Totto chan dan relevansinya pada anak usia SD, 15.
Carl Rogers. (2022, 10 15). Retrieved from Dosen Psikologi: https://dosenpsikologi.com
Dosen Psikologi. (2022, 10 15). Retrieved from DosenPsikologi.com: https://dosenpsikologi.com/
0 Comments