Ticker

6/recent/ticker-posts

Darurat Ekologis: Akibat Fatal Penambangan Pasir Laut


 Oleh: Reggita Mulyani  Mahasiswa Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Andalas


Begitu banyak hal yang dapat mengancam ekosistem kita di bumi ini, maka dari itu kita harus menjaga serta melindungi agar ekosistem di bumi dapat terjaga keseimbangannya dan melakukan peranannya masing-masing dengan baik. Salah satunya yang dapat kita lindungi saat ini adalah pasir laut, dimana pasir laut memiliki peranan penting dalam menjaga ekosistem laut dan pesisir. Pasir laut merupakan material yang terdiri dari partikel mineral, pecahan garam, dan sisa-sisa organisme yang terdapat di dasar laut atau pantai serta dipengaruhi oleh lingkungan laut seperti kandungan garam, ukuran butir, dan jenis material penyusunnya. Pasir laut memiliki peranan besar dalam ekosistem seperti habitat bagi biota laut, penyaring alami, sebagai penahan abrasi pantai, pendukung siklus nutrisi alami, dan bekerjasama dengan mangrove serta terumbu karang dalam menjaga keseimbangan ekosistem laut.

 Berbagai ancaman datang merusak ekosistem laut, salah satunya adalah penambangan pasir laut. Penambangan pasir laut merupakan kegiatan ekstraksi atau pengambilan, penggalian di sekitar pesisir atau tengah laut dengan menggunakan alat-alat tertentu. Dimana penambangan ini akan menyebabkan dampak yang sangat besar seperti merusak habitat ikan dan biota laut, merugikan para nelayan yang bergantung ekonomi dan manfaat langsung yang berasal dari laut tersebut serta dapat memungkinkan terjadinya erosi akibat pengerukan yang berulang-ulang. Beberapa daerah yang terdampak akibat penambangan pasir laut antara lain Kepulauan Riau, Bangka Belitung, Kalimantan Barat, Bali, Jawa Barat, dan lain-lain.

Salah satu daerah yang terdampak akibat kegiatan penambangan pasir laut adalah Kepulauan Riau. Dimulai pada tahun 1970-an, pemanfaatan potensi pasir laut di Kepulauan Riau adalah demi mencegah terjadinya pendakalan laut dan alat yang digunakan pun masih sederhana serta teknologi yang masih manual. Namun seketika memuncak pada tahun 1990-an dan awal 2000-an karena reklamasi besar-besaran di Singapura, dimana negara tersebut memerlukan pasir Indonesia untuk memperluas wilayahnya serta alat yang digunakan sudah tidak sederhana lagi melainkan sudah menggunakan alat berat dan kapal khusus untuk menyedot pasir dari dasar laut. 

 Pada tahun 2003, larangan eskpor pasir laut Indonesia secara resmi diberlakukan melalui Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 117/MPP/Kep/2/2003 tentang Penghentian Sementara Ekspor Pasir Laut. Kebijakan ini dikeluarkan pada tahun 2003 sebagai respons atas dampak negatif yang signifikan dari aktivitas penambangan pasir laut, baik secara ekologis, sosial, maupun geopolitik. Akibat penambangan pasir laut di Kepulauan Riau saat itu menyebabkan banyak timbul masalah seperti kerusakan ekosistem laut, abrasi Pantai, hilangnya pulau-pulau kecil, dan terjadinya penurunan hasil tangkapan pada nelayan. Reklamasi besar di Singapura, yang menggunakan pasir dari Kepulauan Riau, berhasil menambah luas wilayahnya secara signifikan. Namun, di sisi lain, Indonesia menghadapi kerusakan ekosistem pesisir yang membutuhkan waktu puluhan tahun untuk pulih.

 Baru-baru ini, pemerintah melalui Kementrian Perdagangan resmi membuka kran ekspor pasir laut setelah 20 tahun terakhir kegiatan ekspor pasir laut dilarang karena menimbulkan dampak negatif serta untuk memulihkannya sangat lama. Berdasarkan PP Nomor 26 Tahun 2023 yang ditekan Jokowi Widodo pada 15 Mei 2023 silam, bahwa Jokowi menegaskan ekspor yang dilakukan bukan pasir laut melainkan sedimen, dimana sedimen tersebut menganggu alur jalan nya kapal. Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kemendag, Isy Karim juga menyatakan dalam keterangan tertulisnya menegaskan, ekspor pasir laut hanya hanya dapat dilakukan setelah memenuhi kebutuhan di dalam negeri terpenuhi dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Kebijakan ini pun menuai pro dan kontra, dimana tanggapan beberapa pihak yang mendukung, termasuk pelaku industri melihat kebijakan ini sebagai langkah strategis yang memanfaatkan sumber daya laut secara ekonomis. Lain hal dengan tanggapan kontra, sejumlah organisasi masyarakat sipil (LSM), seperti Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) dan Wahana Lingkungan Hidup (WALHI), bersama dengan beberapa anggota DPR RI, mendesak pemerintah untuk mencabut kebijakan terkait ekspor pasir laut yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023. Mereka menilai kebijakan ini membawa dampak negatifnya jauh lebih besar dibandingkan manfaat yang diharapkan 

 Masyarakat Indonesia khawatir karena kebijakan ini dapat sekaligus membuka potensi eskpor pasir laut yang sebelumnya dilarang. Kemudian yang dikhawatirkan adalah akibat dari pengambilan sedimen ini dapat menimbulkan dampak seperti 20 tahun terakhir seperti merusak habitat dasar laut, menganggu kehidupan biota laut, menyebabkan penurunan biodiversitas, aktivitas pengerukan dapat menyebabkan erosi, mengancam pulau-pulau yang rentan tenggelam, degradasi terumbu karang dan hasil tangkapan ikan menurun karena terganggunya ekosistem. Selain itu, kebijakan ini juga dianggap lebih mengutamakan kepentingan ekonomi jangka pendek dibandingkan keberlanjutan lingkungan dan kesejahteraan masyarakat pesisir. Kritik lainnya mencakup kurangnya transparansi dalam proses pengkajian dan pengambilan keputusan oleh pemerintah, yang memicu kekhawatiran publik.

 Untuk menghadapi dampak negatif dari kebijakan pemanfaatan sedimen laut, langkah konservasi yang dapat dilakukan harus mencakup pendekatan komprehensif. Pemerintah perlu memprioritaskan pemulihan ekosistem melalui restorasi terumbu karang dan rehabilitasi mangrove di wilayah pesisir yang terdampak, guna mencegah kerusakan lebih lanjut pada lingkungan laut. Lalu, melibatkan masyarakat lokal, khususnya nelayan, perlu dilakukan dengan memberikan pelatihan dan dukungan bagi nelayan yang terdampak untuk mencari alternatif mata pencaharian, seperti budidaya laut serta melibatkan mereka dalam konsultasi terkait kebijakan lingkungan. 

 Pengambilan sedimen harus dilakukan dengan pengawasan ketat menggunakan teknologi modern seperti drone dan pemantauan satelit. Selain itu, kampanye edukasi yang masif perlu dilakukan untuk meningkatkan kesadaran publik tentang pentingnya pelestarian ekosistem laut, didukung oleh kajian ilmiah yang mendalam agar kebijakan berbasis data dapat diterapkan secara berkelanjutan. Kolaborasi antara pemerintah, masyarakat, dan organisasi lingkungan diharapkan mampu menciptakan solusi yang tidak hanya mencegah kerusakan lingkungan lebih jauh, tetapi juga menjaga kesejahteraan komunitas pesisir secara berkelanjutan.

Post a Comment

0 Comments


SELAMAT DATANG DI SEMOGA ANDA PUAS